Tim Pawai Kebudayaan Pendidikan Sejarah

Atas : Loppias, Yudi, Roy, Adit, Suryo, Brurry | Bawah : Ade, Nova, Dimas, Ignatius, Cahyo, Yoshi

widget

27 Mar 2015

KAMPUNG LAWEYAN DALAM SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA (1908-1912)



Kampung Laweyan yang terletak di Surakarta, Jawa Tengah ternyata tidak hanya dikenal sebagai desa penghasil batik terbesar di Surakarta. Melalui kampung ini lahir juga benih-benih pergerakan yang kemudian mengisi sejarah perjuangan Indonesia. Karena dari kampung ini lahir organisasi Sarekat Islam yang dianggap sebagai organisasi massa terbesar saat itu yang ada di Indonesia. Mengenal kampung Laweyan tentu tidak terlepas dari sejarahnya sebagai kampung penghasil batik tebesar di kota Surakarta. Tetapi sebelum menjadi sentra pembuatan dan penjualan batik, kampung Laweyan merupakan sebuah kampung kecil yang didirikan oleh Kyai Ageng Henis kakek dari Danang Sutowijoyo (pendiri kerajaan Mataram Islam).[1] Ki Ageng Henis kemudian membangun Laweyan menjadi pusat industri batik. Jika dapat dilihat nama Laweyan sendiri berasal dari nama pasar lawe (bahan baku tenun). Seiring perkembangannya nama Laweyan dipakai menjadi nama kampung tersebut. Hal ini dikarenakan letaknya tidak begitu jauh dari pasar lawe dan sering dipakai untuk aktifitas perdagangan dari masyarakat Surakarta. Pada masa perkembangannya Kampung Laweyan kemudian dijadikan wilayah perdikan (otonom) yang terbebas dari pajak kerajaan. Selain itu pihak Keraton Surakarta memberikan aturan untuk tidak memperbolehkan para pengerajin batik di Laweyan membatik menggunakan motif keraton, para pengerajin ini hanya diperbolehkan untuk membuat motif-motif sendiri.[2]
Batik yang berkembang di Laweyan ini ternyata sudah berkembang dari abad ke 16 atau tepatnya 1555 M  ketika Kerajaan Pajang menguasai wilayah Surakarta dan sekitarnya. Letak Kampung Laweyan saat itu berada di sebelah timur dari Keraton ini.Sehingga kampung ini banyak ditempati oleh para keluarga Kerajaan Pajang maupun yang berasal dari Keraton Surakarta untuk meneruskan usaha turun temurun yaitu memproduksi batik.

Munculnya Kelompok Ronda dan Berkembang Menjadi Sarekat Dagang Islam
Kampung Laweyan yang didirikan oleh Ki Ageng Henis ini semakin berkembang. Pembuatan batik pun tetap berjalan dan mayoritas yang menjalankan usaha ini adalah keturunan dari Keraton Surakarta. Saat itu batik menjadi komoditi yang sangat diminati oleh kalangan keluarga kerajaan Surakarta, karena selain dipergunakan untuk berpakaian sehari-hari, pakaian batik juga akan menandakan bahwa mereka dari golongan bangsawan.[3] Dari banyaknya saudagar batik yang memproduksi batik di Laweyan, muncul salah seorang pedagang batik yang bernama Kiai Haji Samanhoedi. Beliau merupakan salah satu saudagar batik Laweyan yang cukup ternama saat itu. Kiai Haji Samanhoedi kelak akan menjadi pelopor berdirinya organisasi perdagangan Islam pertama di Hindia Belanda pada masa pergerakan nasional. Organisasi ini di beri nama Sarekat Dagang Islam (SDI) dan Kampung Laweyan menjadi tempat sejarah berdiri dan berkembangnya organisasi ini.[4] SDI sendiri digagas oleh Samanhoedi pada tahun 1911. Kelahiran Sarekat Dagang Islam ini dipicu oleh persaingan perdagangan batik antara pedagang Cina dan pedagang bumiputera di wilayah Laweyan. Orang Cina merasa lebih unggul daripada orang pribumi, bahkan merasa setingkat dengan orang Belanda.
Pertikaian diantara pedagang Cina dan pribumi ini semakin terlihat dengan munculnya perkelahian-perkelahian antara orang pribumi dan Cina karena sikap saling merendahkan satu dengan lain. Selain itu langkah sabotase perdagangan sering dilakukan oleh para pedagang Cina kepada para pedagang pribumi, yaitu dengan menjarah kain batik yang tengah dijemur di halaman rumah. Kemudian Samanhoedi bersama M. Asmodimejo dan M. Kertotaruno membentuk sebuah perkumpulan ronda yang bernama Rekso Roemekso. Awalnya perkumpulan ronda ini dibentuk untuk menjaga keamanan wilayah Laweyan dari tindakan pencurian kain-kain batik yang sedang di produksi oleh pedagang pribumi. Namun pada akhirnya perkumpulan ini memicu persaingan tidak sehat antara orang Cina dan pribumi. Hal ini membuat orang Cina di Laweyan membentuk perkumpulan baru. Perkumpulan tersebut bernama Kong Sing.
            Kong Sing yang awalnya diharapkan mampu meredam pertikaian antara pribumi dan Cina ternyata gagal, Kong Sing justru terlibat di dalam pertikaian dan mengawali serangkaian perkelahian kecil di jalanan kota Solo pada akhir tahun 1911. Karena pertikaian ini polisi pemerintah Hindia Belanda mulai turun tangan untuk menyelidiki status hukum dari Rekso Roemekso sebagai perkumpulan orang-orang pribumi. Pemerintah kolonial Belanda saat itu memang memiliki peraturan kepada setiap perkumpulan bagi kaum pribumi. Setiap perkumpulan pribumi yang belum memiliki status hukum dapat dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Untuk mengantisipasi pembubaran Rekso Roemekso Samanhoedi kemudian mengambil tindakan untuk mengubah nama Rekso Roemekso menjadi Sarekat Dagang Islam. Namun Samanhoedi terkendala dalam penyusunan anggaran dasar bagi Sarekat Dagang Islam. Kemudian beliau meminta bantuan kepada beberapa rekannya seperti, Djojomargoso dan Marthodarsono untuk menghubungi Tirto Adhi Soerjo yang saat itu memiliki koran Medan Prijaji untuk ikut serta dalam penyusunan anggaran dasar Sarekat Dagang Islam.
            Dalam penyusunan anggaran dasar tersebut, Tirto yang saat itu berada di Bogor segera berangakat menuju Solo untuk bertemu dengan Samanhoedi. Tirto tiba di Solo pada Januari tahun 1912. Saat itu Tirto mulai menyusun anggaran dasar untuk Sarekat Dagang Islam lalu ia menyerahkan hasil penyusunan anggaran dasar tersebut kepada onderafdeling Laweyan dan mengumumkan pembentukan cabang Sarekat Dagang Islamijah Bogor di Surakarta dalam surat kabar Medan Prijaji.[5] Hal ini yang kemudian membuat para anggota Rekso Roemekso saat itu menyamakan antara SDI bentukan Tirto yang ada di Bogor dengan SDI yang akan dibentuk di Surakarta untuk menggantikan nama Rekso Roemekso.[6] Semenjak saat itu nama Rekso Roemekso berganti menjadi lebih modern dengan nama Sarekat Dagang Islam.
            Pada perkembangannya Sarekat Dagang Islam yang sudah resmi terbentuk pada tahun 1911 anggotanya di dominasi oleh orang-orang Laweyan saja tetapi kemudian terus bertambah dan menyebar keluar Laweyan.[7] Di tahap-tahap awal berdirinya organisasi ini Samanhoedi sebagai pendiri lebih mengutamakan membentuk struktur organisasi dan kepengurusan. Setelah kepengurusan terbentuk dan sudah berbadan hukum, SDI banyak melakukan kegiatan boikot di wilayah Laweyan dan sekitarya. Aksi boikot dilakukan kepada firma-firma Tionghoa yang berusaha menekan harga kain batik yang mereka beli dari para pembuat batik di Laweyan. Para anggota SDI menganggap firma-firma Tionghoa melakukan praktek-praktek dagang yang tidak jujur dan bertingkah sombong. Hal ini terlihat seperti pemilik rumah gadai milik kelompok Tionghoa yang memberi uang palsu dan berlaku kasar kepada pelanggannya. Memang setelah SDI sudah berbadan hukum konflik antara kelompok Tionghoa belum dapat mereda bahkan semakin melebar dengan terbentuknya perkelahian-perkelahian kecil disekitar Mangkunegaran yang dilakukan oleh para anggota SDI dan orang-orang Tionghoa. 
            Sikap anti-Tionghoa ini juga dapat dirasakan ketika SDI memberlakukan peraturan kepada setiap anggotanya untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam, bertindak benar, taat kepada hukum negara dan pemerintah serta menjauhkan segala bentuk penyimpangan yang dilarang oleh agama Islam. Sehingga saat itu SDI menjadi organisasi golongan Islam yang sangat fanatik dengan kelompok yang berada diluar Islam, salah satunya adalah kelompok-kelompok Tionghoa. Selain itu kebiasaan yang terbentuk semenjak masih bernama Rekso Roemekso untuk menjalankan ronda secara rutin tidak begitu ditinggalkan saja dari kegiatan SDI. Para anggotanya masih belum percaya dengan kondisi keamanan wilayah Laweyan yang masih dipenuhi oleh kelompok orang Tionghoa.
            Aksi-aksi boikot dan pemogokan menentang keberadaan kaum Tionghoa yang semula hanya terjadi di Laweyan kini semakin merambah ke beberapa wilayah di sekitar Surakarta. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya keanggotaan SDI yang mencapai 35000 pada awal Agustus.[8]Selain SDI melakukan penyerangan kepada kaum Tionghoa yang ada di sekitar Laweyan, kelompok ini juga melakukan penyerangan kepada residen Surakarta dengan menghimpun pemogokan di perkebunan-perkebunan sekitar Surakarta dengan tuntutan penolakan kerja paksa kepada para petani. Hal ini memunculkan keresahan kepada pemerintah residen Surakarta. Pada tanggal 10 Agustus 1912, residen memerintahkan semua kegiatan SDI dihentikan dan melarang SI melakukan pertemuan serta menerima anggota baru. Polisi, di bawah perintah residen Surakarta, menggerebek kantor SDI dan rumah para anggota hoofdbestuur.[9]Setelah itu kegiatan pergerakan SDI di Laweyan benar-benar dihentikan hingga kemudian dihidupkan kembali oleh Tjokroaminoto dan pusat pemerintahannya dipindahkan ke Surabaya.
            Pengerebekan yang dilakukan oleh polisi kepada sejumlah tokoh SDI yang berada di Laweyan dan sekitar Surakarta membuat kepanikan pada pimpinan SDI. Kemudian mereka mengundang Tjokroaminoto dan R. Tjokrosoedarmo salah satu anggota SDI Surabaya untuk datang ke Laweyan. Tjokroaminoto kemudian diberikan mandat oleh Samanhoedi untuk membuat kembali anggaran dasar SDI yang baru dengan memperbanyak kembali afdeling SDI diluar Laweyan. Walaupun pada saat itu pusat SDI sudah diserahkan wewenangnya kepada Tjokroaminoto sekaligus mempebanyak kegiatan-kegiatan SDI diluar Keresidenan Surakarta. Langkah ini sebagai sebuah strategi untuk tetap menghidupkan SDI meski selalu mendapatkan ancaman dan pengawasan dari pihak residen maupun pemerintah kolonial Belanda.
            Semenjak saat itu pusat kegiatan SDI mulai menyebar kebeberapa wilayah di Hindia. Walaupun sudah banyak terbentuk afdeling SDI dibeberapa kota diluar Laweyan, namun peran tokoh-tokoh pendiri SDI di Laweyan tetap terlihat. Seperti pembentukan afdeling SDI di Bandung bentukan dari perkumpulan Darmo Loemekso yang dibentuk Haji Amir, saudara kandung Samanhoedi. Sehingga pengaruh SDI dari Laweyan dengan cepat menyebar keluar kota Surakarta. Semenjak terjadi perubahan yang dipelopori kembali oleh Tjokroaminoto pada tahun 1912 berlahan nama SDI mulai ditinggalkan dan berganti menjadi SI (Sarekat Islam). Hal ini dikarenakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pimpinan dan anggotanya bukan hanya mencakupi masalah perdagangan saja melainkan sudah merambah kepada pergerakan Islam.

Perkembangan Pergerakan di Laweyan (1917-1920)
            Meskipun pusat pergerakan Sarekat Islam sudah tidak berada di Laweyan, namun pengaruh para pedagang batik Laweyan yang tetap ikut aktif dalam Sarekat Islam tetap besar. Pengaruh besarnya SI Surakarta yang di dominasi oleh para pedagang batik Laweyan baru dapat dirasakan pada tahun 1917. Saat itu terjadi pergantian kepengurusan pada SI Semarang yang menyebabkan pengaruh radikalisme terjadi di beberapa kota di Hindia Belanda. Kota Surakarta terutama Laweyan juga mengalami dampak dari pengaruh radikalisme Sarekat Islam Semarang ini. Perkembangan radikalisme ini kemudian membuka kembali kegiatan SI Surakarta yang sempat terhenti karena pelarangan pemerintah kolonial Belanda. Samanhoedi kembali mendominasi untuk membangun SI Surakarta. Para pedagang batik kembali aktif menjadi anggota SI Surakarta. Seiring semakin bertambahnya anggota SI Surakarta pusat kegiatan afdeling kemudian dikembalikan ke Laweyan. Pada perkembangan pergerakan tersebut para tokoh-tokoh SI yang berada di Laweyan mendapatkan pengaruh dari organisasi pergerakan Insulinde yang saat itu juga dalam proses perintisan kembali pada cabang Surakarta. Samanhoedi dapat merasakan hal tersebut. Saat itu Insulinde sedang mendorong kekuatan pergerakan revolusioner di Laweyan.
            Pendorong Insulinde wilayah Surakarta dapat bergerak secara revolusioner tidak lain dan tidak bukan karena pengaruh dari SI Semarang. Haji Misbach dan Tjipto Mangoenkoesoemo (1918-1920) yang memimpin Insulinde berusaha mendekati SI Surakarta dan mendominasi setiap kegiatan yang ada di dalamnya. Hal ini dapat terlihat saat CSI dibawah pimpinan Tjokroaminoto di Surabaya berusaha mengaktifkan kembali SI Surakarta pada tahun 1919. Saat itu dibentuk vergaderingumum yang diadakan pada 6 April 1919 di Sri Wedari. CSI mengharapkan Samanhoedi dapat menjadi ketua kehormatan bagi SI Surakarta agar afdeling ini dapat bergabung kembali ke dalam CSI. Namun pada saat bersamaan terjadi pemogokan petani di wilayah Kesunanan. Insulinde dan PKBT dibawah pimpinan Misbach diduga memiliki peranan besar dalam menciptakan pemogokan ini. Misbach memang sengaja menciptakan kondisi demikian agar Samanhoedi tidak mengambilalih kembali kekuasaan di SI Surakarta. Karena khawatir akan terjadi pengambilalihan kepemimpinan SI Surakarta oleh Misbach dan Marco, Samanhoedi beserta para pedagang batik Laweyan ramai-ramai ke Sri Wedari. Mereka berusaha mendominasi vergadering. Pada akhirnya Samanhoedi menjadi ketua kehormatan SI Surakarta.[10]
            Setelah dinyatakan Samanhoedi memimpin kembali SI Surakarta kelompok yang pro dengan Tjokroaminoto dan para pengusaha batik Laweyan kembali mendominasi SI Surakarta. Seperti, Poerwodihardjo sekertaris TKNM (Tentara Kanjeng Nabi Muhammad) dan M.H. Abdoelsalam yang merupakan pengusaha batik Laweyan yang menjadi tokoh-tokoh kepercayaan dari Samanhoedi untuk membangkitkan kembali SI Surakarta. Tahun-tahun tersebut menjadi masa dimana terjadi perebutan kekuasaan pada SI Surakarta. Antara dominasi gerakan radikal yang dipengaruhi SI Semarang dengan pengaruh yang diberikan oleh para pengusaha batik Laweyan yang pro dengan kepemimpinan Tjokroaminoto. Sehingga keinginan untuk menjadikan SI Surakarta menjadi SI radikal telah lenyap. Kepemimpinan kelompok Laweyan cukup mendominasi sehingga membendung segala pengaruh baik yang diberikan oleh Insulinde Surakarta maupun SI Semarang yang sudah lebih dulu radikal. Eksistensi SI Surakarta dibawah pergerakan kelompok Laweyan akhirnya tidak berlangsung lama. SI Surakarta terbengkalai dan kegiatannya di Laweyan lenyap seiring pengaruh radikalisme yang tidak pernah tumbuh pada afdeling ini.
Tempat Persinggahan Para Pendiri Bangsa
            Pada tahun 1920 kondisi pergerakan di Laweyan berlahan menghilang seiring berkembangnya kekuatan dan pengaruh dari PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berdiri di Semarang membuat pusat pergerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial beralih pada kota ini. Pengaruh Samanhoedi sebagai salah satu pemimpin Sarekat Islam juga tidak seperti dahulu saat mempelopori berdirinya organisasi ini. Pencitraannya sebagai seorang pemimpin mulai tergantikan oleh Tjokroaminoto yang berlahan membentuk CSI menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Namun peranan Laweyan sebagai pusat industri batik yang ikut melahirkan serta mendidik tokoh-tokoh pendiri bangsa juga sangat besar. Hal ini dapat terlihat dengan keluar masuknya para tokoh-tokoh organisasi pergerakan nasional Indonesia seperti Tirtoadisoerjo, Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkoesoemo, Misbach, Marco dan Semaoen di wilayah Laweyan. Baik kepentingan mereka hanya sebatas untuk menjalin silaturahmi dengan para tokoh-tokoh SI Surakarta maupun membicarakan yang bersifat mendesak, seperti pembahasan AD/ART , rapat-rapat, dan pemberian pengaruh radikal telah menjadi bagian dari sejarah pergerakan di Laweyan.
            Tanpa sengaja tokoh-tokoh tersebut bertumbuh menjadi pemikir-pemikir bangsa karena pengaruh dari lingkungan Laweyan dan sekitarnya. Walaupun pada saat ini Laweyan hanya dianggap sebagai sentra batik terkenal di kota Surakarta tapi peranan-peranan Laweyan dalam menghimpun kekuatan pergerakan nasional sangatlah besar. Laweyan juga tidak akan terpisahkan dari sejarah berdirinya Sarekat Islam dan menjadi saksi bisu perlawanan umat Islam terhadap kaum feodal yang menjajah Hindia Belanda. Sampai pada masa kemerdekaan Laweyan tetap menjadi jantung perekonomian bagi masyarakat Surakarta yang akan selalu identik dengan pergerakan, Islam dan tentunya kemerdekaan. Meskipun pusat kepemimpinan organisasi Sarekat Islam sudah tidak berada di Laweyan namun Haji Samanhoedi tetap tinggal di kampung ini. Beliau hanya berharap kejayaan Sarekat Islam saat berada di Laweyan dapat kembali terulang. Nasib organisasi ini juga mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Dari terpecah menjadi golongan putih dan merah hingga masing-masing melebur menjadi partai politik di masa pra-kemerdekaan Indonesia.
            Pada saat ini selain dibuka menjadi pusat industri batik, Laweyan juga meninggalkan beberapa bukti-bukti sejarah pada masa pergerakan nasional. Peninggalan-peninggalan tersebut seperti, museum Samanhoedi yang menempati bekas rumah Haji Samanhoedi selama berada di Laweyan, Masjid Laweyan yang menjadi tempat pusat berkumpulnya para anggota-anggota Sarekat Islam dan beberapa bangunan yang saat itu digunakan sebagai tempat memproduksi dan menjual batik dari Laweyan.[11] Semuanya masih tetap terjaga sampai saat ini dengan gaya arsitektur bangunan yang tak pernah berubah dan masih sama seperti masanya terdahulu. (Angga Riyon Nugroho - P.Sejarah 2009)












Sumber:
Buku
Gamal Komandoko.2010.Panembahan Senopati Geger Ramalan Sunan Giri.Jakarta: Diva Press.
________________.2010.Jaka Tingkir Jalan Berliku Menjemput Wahyu.Jakarta: Diva Press.
KRT.DR.(HC) Kalinggo Honggopuro.2002.Batik sebagai busana dalam tatanan dan tutunan.
            Yayasan Peduli Keraton Surakarta Hadiningrat.Surakarta 
Mlayadipura.1950.Desa Laweyan
Sartono, Kartodirdjo.1975.Sarekat Islam Lokal.penerbitan Sumber-Sumber Sejarah no.7.
Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Shiraisi, Takashi.1990.Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.Jakarta:
            Grafiti Pers.

Majalah dan Jurnal
Engelenberg.1913.“Voorlopig Opmerking over de Sarekat Islam Beweging”.No.B13
Majalah Tempo. “Bermula dariPerkumpulan Ronda”.Edisi 15-21 Agustus 2011




Sejarahituperlu…
Meskipun terkadang memakan banyak korban...
Karena sejarah adalah petunjuk...


[1]Danang Sutawijaya merupakan anak angkat dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari Kerajaan Pajang yang telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang dan kelak akan mendirikan Kerajaan Islam baru di barat Surakarta yang dinamakan Kerajaan Mataram Islam. Lihat, Gamal Komandoko, Panembahan Senopati Geger Ramalan Sunan Giri, 2010, Diva Press, hlm.16.
[2]Wilayah Surakarta sendiri saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang setelah Kerajaan Demak runtuh. Antara Pajang dan Surakarta memiliki kedekatan yang sangat erat termasuk wilayah Laweyan yang menjadi tempat lahirnya anak angkat dari Sultan Hadiwijaya. Kedekatan Sultan Pajang dengan Laweyan dapat terlihat juga ketika Sultan Hadiwijaya memberikan sebidang tanah perdikan di Laweyan dan mengangkat Ki Ageng Henis sebagai priyayi Pajang di wilayah tersebut. Lihat, Gamal Komandoko, Jaka Tingkir Jalan Berliku Menjemput Wahyu,2010, Diva Press, hlm.230.
[3]Perihal pemakaian batik bagi golongan bangsawan, Sudharmono, sejarawan Surakarta mengatakan bahwa batik motif Kawung hanya boleh dikenakan raja dan keluarganya. Kaum bangsawan, selain raja dan keluarganya kemudian ikut melarang-larang rakyat biasa untuk memakai batik Kawung. Mereka melakukan itu agar simbol kebangsawanan tetap terjaga, dalam Tempo, Edisi Khusus Tjokroaminoto 15-21 Agustus, 2011, hlm.33.
[4]Pengamat-pengamat Eropa menetapkan SI atau SDI didirikan pada awal 1912. Rinkes menyebut bahwa tanggal didirikannya tidak lama sesudah Februari 1912, lihatVan der Wal, De Opkomst van de Nationalistische Beweging, hlm.86-87. Residen Surakarta dalam laporan pertamanya tentang Sarekat Islam pada 11 Agustus 1912, menulis bahwa gerakan ini didirikan beberapa bulan sebelum itu. Penulis-penulis yang meneliti tentang Sarekat Islam menyebut tahun 1911.
[5]Merupakan media pers yang dibentuk oleh Tirtoadisoerjo dengan pelanggan sebanyak 2000 orang pada awal 1911. Meskipun menggunakan nama Medan Prijaji, surat kabar ini tidak lagi menjadi forum bagi priyayi seperti Pewarta Prijaji dari Koesoemo Oetojo. Kesempatan Tirtoadisoerjo untuk membuat anggaran dasar Sarekat Dagang Islam dimanfaatkannya untuk menaikan pengaruh Medan Prijaji sekaligus membiayai segala proses penerbitan media pers ini. Lihat, Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Grafiti Pers,1997,hlm.44
[6]Rekso Roemekso sebuah perkumpulan yang menjadi cikal bakal berdirinya Sarekat Islam di Laweyan. Terbentuk karena inisiatif Samanhoedi untuk memerangi pengaruh pedagang Cina yang memonopoli perdagangan batik di wilayah Laweyan dan Surakarta tahun 1911.
[7]Engelenberg, “Voorlopig Opmerking over de Sarekat Islam Beweging”,  13 Agustus 1913, No.B13
[8]Sartono, Sarekat Islam Lokal, hlm.333.
[9]Takashi Shiraisi, op.cit, hlm.64
[10]Ibid, hlm.193
[11]Keunikan Laweyan selain digunakan sebagai sentra industri batik dari zaman dahulu hingga sampai saat ini, yaitu dengan keberadaan masyarakat Laweyan yang saat dahulu mempertahankan model rumah. Masyarakat Laweyan saat itu tinggal pada rumah yang satu sama lain saling terhubung dengan rumah tetangganya dengan menggunakan pintu yang disebut pintu butulan. Dengan keberadaan pintu ini masyarakat Laweyan semakin dipermudah untuk berkomunikasi dan menjaga keamanan antara satu warga dengan warga yang lainnya. Dengan bentuk rumah yang saling berhubungan berdampak pada rasa persaudaraan dan persatuan antara penduduk Laweyan.

17 Dec 2013

Pelacuran Masa Pendudukan Jepang: “Mengenal Jugun Ianfu Sebagai Korban Kebijakan Politik Jepang”




A. Sejarah Pelacuran di Indonesia
Pelacuran atau tempat para wanita penghibur menjual diri tentu sudah banyak di dengar oleh banyak masyarakat di beberapa kota besar pada saat ini. Sebut saja dengan keberadaan Pasar Kembang di kota Yogyakarta, area prostitusi Dolly di Surabaya, maupun area Simpang Lima di Semarang, itu semua merupakan area- area para pelacur menjajakan diri kepada banyaknya pria- pria kesepian. Munculnya tempat- tempat prostitusi tadi di masa kini mungkin menjadi hal yang sangat biasa di mata masyarakat. Namun apakah banyak yang mengetahui tentang keberadaan sejarah prostitusi atau pelacuran di Indonesia. Lalu apa yang menjadi alasan para wanita- wanita penghibur ini lebih memilih pekerjaan ini? Apakah faktor himpitan ekonomi menjadi sebuah alasan kuat yang membuat para wanita- wanita ini menjadi pelacur?
Ketika berbicara tentang masalah pelacuran tentu erat kaitannya dengan wanita, dunia malam maupun para lelaki hidung belang. Tapi taukah jika pelacuran sejak zaman dahulu sudah berkembang begitu pesat di dalam kehidupan manusia. Hal tersebut kemudian diungkapkan oleh oleh Hull (1997) yang menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran di Indonesia dari masa ke masa yang dimulai dari masa kerajaan- kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang dan setelah kemerdekaan. Pada masa kerajaan di Jawa, perdagangan wanita yang kemudian dimasukan kedalam dunia pelacuran terkait dalam sebuah sistem pemerintahan feodal. Hal tersebut tidak akan terlepaskan dengan keberadaan raja yang bersifat agung, tak terbatas, sehingga mendapatkan banyak selir. Kemudian sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti yang dirasakan oleh masyarakat modern saat ini, meskipun apa yang terjadi pada masa kerajaan- kerajaan di Jawa tentang pelacuran dapat membentuk landasan dalam perkembangan industri seks/pelacuran di masa sekarang.
Setelah masa kerajaan- kerajaan di Jawa berakhir, fenomena pelacuran kembali muncul dengan wajah baru di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda ini bentuk pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat. Didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dan pemuasan seks masyarakat Eropa yang ada di Indonesia. Disebutkan di dalam buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karangan Reggie Bay bahwa pada masa pendudukan VOC di Hindia Belanda sekitar tahun 1650-1653 Gubernur Jenderal Carel Reynierz menudukung kuat dengan adanya perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia.[1] Hal tersebut menjadi bukti yang cukup menguatkan dimana fenomena pelacuran di zaman kolonial Belanda memiliki ciri khas dengan melegalitaskan pelacuran dengan cara perkawinan campur antara orang- orang Belanda dengan wanita- wanita pribumi (asia). Dengan cara seperti itu keberadaan pelacuran di masa kolonial Belanda lebih dianggap terorganisir serta rapi, karena pegawai- pegawai VOC yang rata- rata adalah orang Belanda yang memiliki bawahan para wanita- wanita pribumi dengan terpaksanya mau melakukan perkawinan campur yang dalam hal ekonomi lebih menguntungkan bagi para lelaki Belanda. Dalam masa ini kemudian muncul istilah gundik dan para nyai yang dianggap sebagai istri- istri para lelaki Belanda, hingga melahirkan anak- anak keturunan Indo- Belanda yang semakin memperkuat status sosial orang- orang Belanda ketika berada di Indonesia.   
Kemudian komersialisasi seks di Indonesia berkembang pada masa pendudukan Jepang (antara tahun 1941-1945), setelah mungkin melihat sedikit dari aktifitas prostitusi pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dengan menjadikan area- area perkebunan di bawah monopoli VOC dijadikan sebagai ajang prostitusi bahkan dapat melegalkannya dalam bentuk perkawinan campur antara lelaki Eropa dengan wanita pribumi. Di masa pendudukan Jepang semua perempuan yang dijadikan budak sebagai wanita penghibur dikumpulkan menjadi satu di dalam rumah- rumah bordir. Bukan hanya wanita yang tadinya menjadi wanita penghibur saja yang dibawa ke rumah bordir, namun banyak juga wanita yang tertipu atau terpaksa melakukan hal tersebut (Hull,1997:3). Betapa semakin tidak manusiawinya penjajahan pada masa pemerintahan Jepang ini yang kemudian merendahkan status sosial wanita- wanita pribumi yang tadinya bukan merupakan pelacur hingga membuatnya rendah sehingga dicap sebagai wanita penghibur atau Jugun Ianfu pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia. Hingga saat ini kisah tentang para mantan- mantan Jugun Ianfu teramat menyedihkan, terkadang belum ada yang mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai permasalahan sejarah wanita pribumi ditengah perbudakan dan penjajahan masa pendudukan Jepang. Kita akan mencoba mengangkat sisi kemanusiaan dari sejarah Jugun Ianfu ini, benarkah Jugun Ianfu adalah korban kebijakan politik kolonialisme Jepang di Indonesia, atau semata- mata hanya digunakan sebagai budak nafsu para tentara Jepang ditengah- tengah kesibukan berperangnya di wilayah Asia Pasifik? Kita akan mencoba melihat hal tersebut dalam frame yang berbeda, yang tetap mengungkap nilai politis serta nilai manusiawi di dalam sejarah yang telah tercatat tentang Jugun Ianfu.

B. Jugun Ianfu[2]: Pelacur Yang Terpaksa Melacur  
                Pada masa pendudukan Jepang kisah pelacuran di Indonesia menggapai masa emasnya, dimana banyak dikenal oleh masyarakat saat itu dengan istilah Jugun Ianfu. Jugun Ianfu merupakan bentuk penjajahan yang secara nyata dialami oleh kaum perempuan di Indonesia. Sebelumnya praktek Jugun Ianfu memang ada di Indonesia, ternyata praktek tersebut tidak hanya berlaku di Indonesia sebagai negara jajahan Jepang, melainkan negara- negara lain yang dijadikan negara koloni oleh Jepang. Menurut riset dari Dr. Hirofumi Hayashi seorang profesor dari Universitas Kanto Gaukin ketika melihat fenomena Jugun Ianfu di Indonesia ini, ia mengatakan bahwa Jugun Ianfu pada saat itu terdiri dari wanita- wanita Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya, Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, dan Indo Belanda. Jumlah perkiraan Jugun Ianfu pada saat perang bekisar antara 20.000 dan 30.000, jumlah ini tentu sangat mencenangkan karena ternyata bukan hanya wanita- wanita Indonesia saja yang dijadikan Jugun Ianfu oleh para tentara Jepang melainkan beberapa wanita di wilayah kepulauan Asia Pasifik juga menjadi korban dari penindasan dan penjajahan Jepang di masa Perang Dunia II.
                Keberadaan Jugun Ianfu sendiri juga tidak akan pernah terlepas dari keberadaan para tentara- tentara Jepang, yang dimana disela- sela kejenuhan berperang mereka akan membutuhkan hiburan dari para Jugun Ianfu baik hanya sekedar pergi berkencan ataupun meniduri para Jugun Ianfu di kamar- kamar di rumah bordil. Sehingga banyak rumah bordil yang dibangun oleh pemerintah Jepang diwilayah- wilayah militer tentara Jepang. Dengan kondisi seperti teramat sungguh menyedihkan karena di dalam prakterk Jugun Ianfu para wanita Indonesia justru terpaksa dan dipaksa untuk melacurkan diri kepada para tentara Jepang. Hal ini terbukti dengan perekrutan Jugun Ianfu di Indonesia yang dilakukan secara paksa, bahkan ada pula yang diiming-imingi dengan janji hidup yang enak, pendidikan yang layak dan dijadikan pemain sandiwara. Namun pada kenyataannya para wanita- wanita ini ditempatkan dirumah- rumah bordil untuk melayani para tentara Jepang yang sedang lelah berperang. Bahkan tidak hanya itu ada pula tentara- tentara Jepang yang tak segan- segan menculik dan memperkosa para gadis Jugun Ianfu ini di depan keluarganya jika mereka menolak dibawa ke rumah bordil. Hal ini sungguh ironis memang dimana masa peralihan dari pendudukan Belanda menuju pendudukan Jepang, justru nasib para wanita pribumi bukan hanya dijadikan gundik- gundik[3] oleh pemerintah kolonial melainkan budak seks yang tidak berperikemanusiaan.
                Persoalan praktek Jugun Ianfu ini sebenarnya adalah suatu kesengajaan atau bagian dalam rencana menjaga keefektifan dan kinerja para tentara Jepang dalam bertugas. Dimana kepuasaan seks para tentara akan mempengaruhi kinerja para tentara dan apabila hal tersebut tidak dituruti maka para tentara Jepang akan mengalami kemunduran. Selain itu peran dari para pejabat (lurah, camat, kepala desa) di beberapa daerah di Indonesia dalam membantu pemerintah Jepang untuk menyalurkan Jugun Ianfu sangatlah penting, dimana semua penyaluran Jugun Ianfu dilakukan secara tertutup dibawah tangan, sehingga tidak pernah diberitahukan secara resmi terkait rekrutmen para Jugun Ianfu dibeberapa wilayah di Indonesia pada saat itu. Namun selain faktor- faktor ini yang menjadi latar belakang dari keberadaan Jugun Ianfu sebagai budak seks para tentara Jepang, faktor masa peralihan kekuasaan dan Perang Dunia II membawa pengaruh cukup besar terkait munculnya para Jugun Ianfu yang terpaksa memperoleh profesi yang tidak mereka inginkan sebelumnya. Walaupun nanti akan coba kita lihat tentang faktor kondisi ekonomi, pendidikan dan budaya di wilayah Indonesia saat itu sebagai pembanding dari faktor- faktor yang dimunculkan oleh keberadaan pemerintah Jepang di Indonesia.  
                Perang Dunia II atau biasa disebut sebagai Perang Asia Pasifik dapat dikatakan menjadi faktor utama dari terbentuknya penjajahan di wilayah Indonesia. Termasuk pula penjajahan dalam hal pelacuran di Indonesia, dimana para tentara Jepang hampir ribuan yang memasuki wilayah Indonesia, melucuti para tentara kolonial Belanda, dan melakukan persiapan pergantian masa transisi pemerintahan kolonial di Indonesia. Kemudian pembentukan PETA dan beberapa organisasi kepemudaan yang bersifat militer di tahun 1943-1945 membuat peran militer Jepang di dalam penjajahan semakin besar, hal ini membuat para tentara- tentara Jepang di sela- sela melaksanakan tugas di negara jajahan membutuhkan para wanita- wanita penghibur sebagai sarana melepaskan kerinduan seks mereka pada pasangan- pasangan mereka di Jepang. Di jadikanlah wanita- wanita Indonesia yang memang bukan seluruhnya pelacur untuk melayani nafsu seks para tentara Jepang. Masa peralihan kekuasaan inilah yang menjadi masa- masa gelap bagi para wanita- wanita Indonesia yang secara tidak sengaja menjadi korban dan kebiadaban para tentara- tentara Jepang. Karena berbagai ancaman untuk diasingkan, dibuang bahkan dibunuh menjadi sebuah alat yang sangat menakuti para wanita Jugun Ianfu ini jika tidak ingin melayani hasrat seks para tentara Jepang.
                Disisi lain faktor ekonomi di Indonesia menjadi persoalan mendasar dari berkembangnya Jugun Ianfu, dimana kemelaratan pada masa pemerintah kolonial Belanda yang berganti kepada pemerintahan Jepang menjadi permasalahan yang utama. Sedangkan wanita- wanita Jugun Ianfu rata- rata berasal dari lingkungan desa yang sangat miskin, himpitan perekonomian inilah yang membawa mereka pada janji- janji tentara Jepang yang akan menyekolahkan dan mempekerjakan mereka secara layak. Namun bukan pekerjaan atau pendidikan yang di dapat melainkan penyiksaan, perkosaan dan perbudakan secara tidak manusiawi yang di dapatkan oleh para wanita Jugun Ianfu ini. Hal ini dapat terlihat dengan rutinitas yang dijalankan oleh para Jugun Ianfu sebelum melayani nafsu bejat para tentara Jepang, yaitu dengan menjalani pemeriksaan kesehatan yang merendahkan martabat. Para wanita Jugun Ianfu tidak bisa berbuat apa ketika petugas medis mengerayangi tubuh mereka, hingga sampai mereka telanjang bulat dan satu persatu vagina mereka diperiksa dengan menggunakan alat yang terbuat dari besi panjang. Jika ditekan ujung alat ini akan membesar dan dapat membuka vagina para wanita Jugun Ianfu ini menjadi lebih lebar. Dengan menggunakan alat ini maka akan diketahui apakah kemaluan calon Jugun Ianfu sudah terserang penyakit atau masih sehat. Betapa sakitnya ketika membayang satu persatu para wanita Jugun Ianfu diperlakukan demikian, tidak begitu manusiawi, dan bahkan sesekali jika ada para wanita Jugun Ianfu tidak melayani para tentara hingga puas, maka perlakuan seperti binatang yang akan didapatkan oleh para wanita yang tak berdosa ini.
                Hal tersebut diakui dan dialami oleh Mardiyem salah seorang Jugun Ianfu yang sejak usia 13 tahun sudah mulai diperkosa untuk pertama kalinya oleh seorang Jepang yang berambut brewok. Siksaan berupa pukulan, tamparan dan tendangan sudah sering dirasakan oleh Mardiyem, apalagi ia masih termasuk dibilang sangat kecil ketika diperkosa dan dijadikan Jugun Ianfu oleh para tentara Jepang. Bahkan jika merasa kurang puas kepada Mardiyem tentara- tentara Jepang ini tidak segan- segan melakukan cara- cara diluar batas kemanusiaan untuk mencapai kepuasaannya terhadap Mardiyem. Para wanita Jugun Ianfu mengalami penderitaan yang begitu sangat karena memang tidak ada pilihan lain, yang terpaksa melacur dan tidur bersama para tentara Jepang karena siksaan berat jika sesekali berani menentang atau melawan terhadap perintah tentara Jepang. Seolah- olah para wanita Jugun Ianfu ini dianggap seperti budak yang bekerja tanpa henti, bahkan pandangan buruk selalu ditorehkan dibalik raut wajah penyesalan para wanita ini yang masuk pada lembah hitam penjajahan Jepang. 

C. Mereka Korban Kebijakan Politik Jepang
                Keberadaan Jugun Ianfu di Indonesia tidak akan terlepas dengan munculnya berbagai kebijakan politik kolonial yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang di beberapa negara koloni, salah satunya adalah Indonesia. Hal ini dapat terlihat ketika pemerintah Jepang menyetujui dengan pendirian rumah- rumah bordil. Ada beberapa asumsi yang dapat memperkuat perihal kebijakan ini. Pertama, dengan pemerintah Jepang menyediakan akses mudah kepada para budak- budak seks, moral dan kefektifan para tentara Jepang akan meningkat. Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka dibawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Ketiga, pengadaan rumah bordil di garis depan peperangan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat kepada para tentara Jepang. Ketiga asumsi tersebut sangat menguatkan mengapa Jugun Ianfu diadakan oleh pemerintah Jepang di beberapa negara- negara jajahan di wilayah Asia Pasifik. Kemudian banyak yang menguatkannya erat dengan kebijakan politik pemerintah Jepang dimana sebagai strategi dalam mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan. Dimana peran para tentara Jepang untuk mempertahankan keamanan negara- negara jajahan dari serangan pasukan sekutu sangatlah penting, sehingga kebijakan tentang Jugun Ianfu ini memberikan torehan politis di dalam mempertahankan wilayah kekuasaan Jepang di Asia Pasifik. Walaupun pada intinya kebijakan ini terkait dengan kebijakan militer, namun nilai- nilai politis untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan sekutu sangatlah kuat, dan Jugun Ianfu adalah korban dari segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang terhadap negara jajahan.
                Kemudian kita akan mencoba melihat tentang persaingan politik Jepang dengan negara Amerika Serikat dari blok sekutu. Dimana Jepang terlibat permusuhan yang sangat panjang dengan negara adi kuasa ini. Dapat dikatakan juga Jepang saat itu sedang merintis sebagai negara adi kuasa di wilayah Asia Pasifik. Kemudian Indonesia menjadi salah satu wilayah yang diperebutkan antara Amerika Serikat dan Jepang. Kedua negara ini tidak akan melepaskan kepentingan ideologi politiknya masing- masing, Jepang dengan paham fasismenya yang selalu disokong oleh Jerman sedangkan Amerika Serikat sebagai negara Kapitalis/Liberalis disokong oleh Inggris dan Prancis di dalam Perang Dunia II menjadi faktor utama perebutan kekuasaan serta terjadinya kekacauan di wilayah Pasifik era tahun 1942-1945. Entah sejauh mana kemudian persaingan politik ini semakin membesar hingga di tahun 1945 Jepang mengaku kalah kepada sekutu, namun tetap saja dalam kondisi perang seperti ini akan banyak memunculkan korban- korban, baik dari pihak bangsa yang terjajah sendiri maupun dari pihak para penjajah. Tetapi hal yang paling menyedihkan dimana korban- korban yang muncul bukan hanya korban jiwa melainkan korban- korban penyiksaan secara fisik maupun mental, dan Jugun Ianfu menjadi suatu bukti betapa kejamnya kebijakan politik Jepang, yang menyudutkan para wanita tak berdosa ini jatuh pada jurang hitam peperangan Jepang dan sekutu tanpa melihat dampak- dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut pada saat ini. Stigma- stigma negatif yang kemudian dimunculkan oleh masyarakat pada para wanita ex. Jugun Ianfu yang masih hidup di masa senjanya saat ini, dan yang diharapkan adanya pembenaran sejarah tentang keberadaan para wanita- wanita ex. Jugun Ianfu ini agar stigma- stigma negatif tersebut perlahan dapat dihilangkan, karena mereka tidak menginginkan menjadi seorang pelacur melainkan karena dampak penjajahan dan mereka menjadi korban kekuasaan pemerintah Jepang, sehingga dengan terpaksa mereka menjadi budak- budak seks para tentara Jepang. Apa pun alasan yang muncul kepermukaan terkait keberadaan para ex. Jugun Ianfu ini, pemerintah Jepang menjadi satu- satunya pihak yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi kemanusiaan ini, terutama terhadap para wanita di Indonesia dan di wilayah Asia Pasifik. Sehingga tentunya hal ini menjadi sebuah pembelajaran bagi kita semua, untuk tetap melihat sejarah, sebagaimana buruknya sejarah tersebut, tetapi sejarah adalah sebuah pembelajaran.  
Kemudian saya teringat tentang kata- kata kutipan dari Pramodeya Ananta Toer yang mengambarkan perjuangan ex. Jugun Ianfu yang hingga saat ini masih mencari keadilan pada pemerintah tentang kondisi dan nasib mereka sebagai korban penjajahan tentara Jepang. Demikian yang dikatakan Pram: “kalian para perawan remaja telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang akan menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu...... surat kepada kalian ini juga semacam protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun yang lewat”. Kata- kata Pram ini menjadi penutup dimana masih tetap ada harapan bagi para wanita ex. Jugun Ianfu yang kini akan tetap terus memperjuangkan keadilan atas apa yang mereka alami puluhan tahun yang lalu.

Oleh: Angga Riyon Nugroho (Pendidikan Sejarah USD '09)


Sumber Pustaka:
Buku
Baay, Reggie.2010.”Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”. Jakarta: Komunitas Bambu

Web/Blog
Coretan Pariyem, Senin, 7 Januari 2013, “Jugun Ianfu: Aku Bukan Pelacur! Potret Kelam Wanita Indonesia Atas Kekejaman Tentara Jepang” diunduh tanggal 14 Desember 2013
Yang Berjejak, 6 April 2007, “Luka Lama 62 Tahun Lalu” diunduh tanggal 14 Desember 2013




[1] Reggie Baay, “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”, Komunitas Bambu, 2010, hlm.4
[2] Merupakan wanita penghibur atau biasa dikenal sebagai pelacur pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ada sebagian beberapa wanita yang menjadi Jugun Ianfu karena terpaksa dan memang sengaja dipaksa oleh para tentara Jepang dengan iming- iming disekolahkan ke luar negeri atau menjadi pemain sandiwara
[3] Para wanita simpanan yang hidup bersama para serdadu kolonial dalam tangsi atau barak militer