Terbentuknya
pemerintahan mahasiswa dalam bentuk BEM/DPM pada saat ini membuka ruang politis
yang begitu besar bagi mahasiswa untuk menentukan arah sikap politis terhadap kebijakan
kampus maupun nasional. Namun apa jadinya ketika kita melihat pemerintahan
mahasiswa (Student Government) yang saat ini selalu dieluk- elukan sebagai
organisasi politis kampus justru hanya menjadi organisasi yang berjalan tunduk
serta mengekor pada petuah kampus. Realita ini yang kemudian harus bersama-
sama kita sadari bahwa lembaga sekelas BEM/DPM ataupun Senat pada saat ini
hanya menjadi boneka dari pihak kampus/rektorat untuk menjalankan berbagai
kepentingan- kepentingan yang tidak seluruhnya berpihak kepada mahasiswa.
Apakah kemudian mahasiswa harus diam? Atau seolah- olah menjadi opportunis
untuk mengambil kesempatan demi kepentingan pribadi mereka masing- masing.
Entahlah namun kini peranan politis dari pemerintahan mahasiswa hanya sebatas pada
perannya sebagai EO (Pembuat Acara) dibandingkan harus berjalan pada relnya
sebagai alat advokasi politis bagi teman- teman mahasiswa di lingkungan kampus
dan mengkritisi permasalahan- permasalahan nasional.
Kemandekan Intelektual Oleh Sistem Kampus
Mahasiswa sebagai pemikir, atau mahasiswa sebagai penggerak seharusnya
dapat menjadi tonggak perjuangan bagi masyarakat Indonesia. Namun hal ini
kemudian akan menjadi hambar melihat sikap- sikap mahasiswa pada masa kini yang
melupakan idealisme perjuangan dari para- para pendahulunya. Kita kemudian
dapat melihat sebuah realita yang terjadi di lingkungan kampus Universitas
Sanata Dharma. Bentuk perjuangan pemerintahan mahasiswa di kampus ini sudah
mengalami kemandulan intelektual. Dimana semua akses yang harusnya dapat di
mobilisasi oleh pemerintahan mahasiswa seperti BEM/DPM kini sudah mulai
tertutup oleh sistem kampus. Proses demokratisasi kampus tidak di jalankan dan
kemudian mahasiswa menjadi apatis bahkan oppurtunis. Jarang sekali terjadi
dialog antar mahasiswa yang aktif di dalam organisasi kemahasiswaan dengan
lembaga, apalagi mahasiswa awam. Pada akhirnya kampus ini sangat tenang dan
jarang sekali terjadi kritik yang kemudian dilontarkan kepada pihak Universitas
Sanata Dharma.
Mungkin
sekali lagi mahasiswa sudah jenuh dengan keadaan ini, pihak kampus salah
satunya Wakil Rektor 3 saja sudah tidak bisa menerima masukan ataupun kritikan
yang dilontarkan mahasiswa melalui media Persma apalagi mau menampung aspirasi
mahasiswa. Kini seolah- olah kebijakan di kampus Universitas Sanata Dharma
hanya bersifat satu arah. Tidak ada nilai tawar dari pemerintahan mahasiswa dan
mereka hanya diam, semakin membisu dan tetap membisu.
Coba
saja kita kritisi permasalahan- permasalahan yang terjadi di dalam kampus
Sanata Dharma, seperti permasalahan pemilihan rektor yang baru, masalah kinerja
dosen ketika mengajar ataupun absensi kehadirannya, Konstitusi Organisasi
Kemahasiswaan (KOK) dan permasalahan pemberian fasilitas yang kadang tidak
sesuai dengan yang dibayarkan mahasiswa kepada pihak kampus. Apa masih ada satu
pun mahasiswa yang mengatasnamakan dari pemerintahan mahasiswa di Universitas
Sanata Dharma yang berani mengangkat permasalahan ini? Saya yakin tidak ada
yang berani, mereka lebih nyaman dengan pekerjaannya di lingkungan kampus,
dengan kegiatan minat bakat yang tidak bermutu dan seolah- olah mereka menjadi
kelompok- kelompok yang kurang peka terhadap permasalahan sosialnya. Memang
kita tidak akan bisa mempermasalahkan perkembangan masa yang begitu cepat
sehingga menyebabkan degradasi sosial di dalam diri mahasiswa Sanata Dharma.
Pada saat ini pun sangat mustahil bisa mengkordinir dan menggerakan mahasiswa
Sanata Dharma untuk bisa turun ke jalan melakukan demonstrasi mengkritik
pemerintahan Indonesia atau minimal kebijakan kampus. Tapi yang diharapkan
mahasiswa tetap mengerti arah perjuangannya sebagai penggerak dan batu tapal
pergerakan masyarakat. Di dalam buku yang ditulis Edy Budiyarso tentang Aksi
Mahasiswa ‘77/78 menceritakan tentang peranan DM (Dewan Mahasiswa) sebagai
lembaga pemerintahan mahasiswa yang mengkritik pemerintahan di masa Soeharto.
Walaupun lebih banyak dikhususkan di dalam lingkungan kampus ITB, namun hal ini
sudah mewakilkan gambaran pergerakan pemerintahan mahasiswa saat itu. Dimana
akibat dari pergerakan tersebut kampus ITB di jaga oleh tentara dan beberapa
pemimpin pemerintahan mahasiswa di tangkap.
Sanata
Dharma pun memiliki roh yang sama di era tahun 1998 ketika krisis moneter
terjadi di Indonesia, Sanata Dharma yang menjadi salah satu Universitas Swasta
di Yogyakarta yang menghimpun aksi mahasiswa di sekitaran Jalan Gejayan, yang
kemudian memuncak pada Peristiwa Gejayan 1998. Pada saat ini mahasiswa sudah lebih
nyaman dengan keadaannya, semuanya berkat para pendahulunya yang aktif dalam
gerakan mahasiswa. Namun yang di minta pada mahasiswa saat ini bukan harus
turun ke jalan, berdemonstrasi dan berpanas-panasan. Sekarang sudah berbeda
masanya, segala bentuk perjuangan memang harus menyesuaikan dengan waktu dan zaman.
Pada saat ini yang terpenting bagaimana mahasiswa Sanata Dharma mampu
mengkritisi kebijakan kampus tanpa harus berdemonstrasi, melalui cara- cara yang disenangi oleh
mahasiswa pada saat ini. Hal tersebut berlahan akan mengembalikan roh pergerakan
mahasiswa serta dapat mengkritisi pemerintah Indonesia jika lapisan bawah
mahasiswa sudah mampu mengkritisi permasalahan kebijakan kampus.
Kemudian
bagaimana merangkaikan media dialogal, diskusi dan konsolidasi antar
pemerintahan mahasiswa di lingkungan kampus Sanata Dharma dengan baik dan tidak
membosankan mahasiswa saat ini. Baik dengan media film, pembacaan analisis
sosial, maupun musik menjadi jalan yang sangat untuk mengkritisi kebijakan
kampus Universitas Sanata Dharma saat ini. Menjadi solusi yang kemudian dapat
dibiasakan pada pemerintahan mahasiswa di Sanata Dharma. Menjadi sebuah alasan
yang tepat bagi pemerintahan mahasiswa karena suara- suara mahasiswa tidak di
dengar, dan demokratisasi kampus tidak berjalan. Dengan mengadakan kegiatan
yang sifatnya santai di dalamnya ada sebuah kritikan yang kemudian disampaikan
kepada pihak kampus yang semena- mena.
Peranan Pemerintahan Mahasiswa di Lingkungan Kampus
Pembahasan
ini saya angkat berdasarkan pertemuan saya dengan beberapa mahasiswa Sanata
Dharma baik yang terlibat aktif dalam pemerintahan mahasiswa yang kemudian
memberikan pandangannya tentang kegiatan- kegiatan BEM/DPM. Salah satu
mahasiswa Pendidikan Sejarah ada yang berkomentar terkait keberadaan BEM/DPM di
lingkungan kampus, baginya adanya BEM atau DPM dilingkungan kampus tidak
berpengaruh bagi mahasiswa, bahkan tidak memberikan efek kinerja apa pun bagi
mahasiswa.
Kemudian
saya juga bertemu dengan salah satu mahasiswa Akutansi yang masuk di dalam
kepengurusan DPM USD yang mengatakan bahwa antara DPM U sebagai lembaga
legislatif dan BEM USD sebagai lembaga eksekutif di dalam pemerintahan satu
sama lain tidak bisa bekerjasama atau bahkan saling menjatuhkan demi eksistensi
masing- masing, apalagi dengan melihat pengurus- pengurus BEM USD yang ada saat
ini tidak memiliki mental sama sekali untuk siap bekerja di dalam kepengurusan
BEM USD. Kemudian lebih mempertegas lagi kelambanan pemerintahan mahasiswa di
dalam kegiatan berpolitik ketika salah satu pengurus HMPS Pendidikan Sejarah
berpendapat bahwa BEM USD sama sekali tidak memberikan tanggapan ketika dari
KPU Pusat memberikan wewenang bagi BEM USD untuk mendata para mahasiswa untuk
kepentingan Pemilu 2014 mendatang. Hal ini kemudian memunculkan pragmatisme dan
pesimisme terhadap organisasi kemahasiswaan sekaliber BEM USD yang kurang yakin
membawa perubahan bagi mahasiswa USD.
Kemudian pada
akhirnya antara lembaga pemerintahan mahasiswa di Sanata Dharma terpecah dan
mereka berjalan pada lingkarannya masing- masing. Dalam segi kegiatan pun
peranan antara BEM USD dan DPM U juga mulai keluar dari jalur relnya sebagai
lembaga eksekutif dan legislatif. Lihat saja dengan agenda kegiatan DPM U yang
mengadakan DPM U Cup untuk mahasiswa, atau BEM U yang mengadakan kegiatan Dies
Natalis Universitas dengan rangkaian gelar budaya. Semua kegiatannya berbau EO
dan bahkan mengikuti agenda Universitas, apa bedanya mereka- mereka ini dengan
bawahan dari rektorat. Karena mungkin statusnya masih mahasiswa seolah- olah
mereka hanya perpanjangan tangan dari kekuasaan rektorat kepada mahasiswa bukan
wakil mahasiswa yang menyuarakan aspirasi dan advokasi kepada rektorat
Universitas Sanata Dharma.
Kemudian
ada satu hal yang menarik yang saya dapatkan dari pemerintahan BEM USD kali
ini, di kala saya hanya melihat sederetan ruang UKM, BEM U dan DPM U di Student
Center yang ruangannya saling berdekatan satu sama lain namun sangat eksklusif
tanpa ada sosialisasi satu sama lain, yaitu dari BEM U/DPM U kepada UKM, bahkan
sampai ada disaat Ketua UKM Mapasadha yang ingin menanyakan tentang RKA kepada
BEM U Presiden BEM U yaitu Carol tidak mengenal orang yang bertanya tentang RKA
tersebut, yang sebenarnya adalah ketua dari UKM Mapasadha. Sungguh miris ya,
Presiden ndak kenal sama rakyatnya, bahkan bukan rakyat ini semacam anggota
DPRnya di dalam pemerintahan. Lalu apa kerjanya Presiden BEM U/DPM U ketika
berada di ruangan bersama anggota- anggota? Hanya ndekem di ruangan, rapat,
pulang. Padahal ruangan yang mereka pakai tersebut dari uang para mahasiswa
Sanata Dharma yang kemudian di investasikan untuk pemerintahan mahasiswa. Kalau
memang tidak ada manfaatnya buat keberadaan pemerintahan mahasiswa kenapa tidak
ditiadakan saja, karena hanya menghabis- habiskan uang tanpa mahasiswa tanpa
ada progres yang dikerjakan. Bahkan untuk blusukan kepada UKM saja tidak
pernah, bagaimana mau mengenal mahasiswa yang ada ditingkatan Prodi, Jurusan
maupun Fakultas. Dari permasalahan terkecil ini mengenai kultur saja Presiden
BEM/DPM USD saja sudah merasa eksklusif dan mengandalkan eksistensi ketika
memerintah, lalu bagaimana mahasiswa dapat merasakan peranan dari pemerintahan
mahasiswa? Sekali lagi pemerintahan mahasiswa bukan ajang eksistensi untuk
mencari muka bagi para mahasiswa di mata kampus melainkan sebuah batu tapal
pergerakan politis mahasiswa di lingkungan kampus, seharusnya mereka berbicara.
Tidak membisu apalagi harus menjadi golongan- golongan yang apatis dan
oppurtunis terhadap kebijakan.
Sumber:
Budiyarso, Edy.2000.Menentang Tirani “Aksi Mahasiswa ‘77/78”.Jakarta:
PT. Grasindo
Penulis : Angga Riyon Nugroho (Pendidikan Sejarah 2009)
Ini adalah tulisan yang baik dan sangat bagus untuk diwacanakan di mahasiswa. Jelas, Saya mewakili teman-teman DPM merasa bersyukur ketika kritikan ini ada. Mengapa bersyukur? Karena dalam kritikan ini, yang diberikan bukan hanya kritik kosong yang tidak bergerak sesuai fakta. Ini adalah salah satu fakta yang dilihat mahasiswa. Proses ini akan lebih lanjut mengungkit permasalahan kaderisasi yang kurang baik dari setiap organisasi kemahasiswaan yang ada di kampus USD. Proses kaderisasi yang kurang baik setiap tahunnya, membuat semakin membisunya pemerintahan di USD. Wacana keluarnya jalur kerja dan pemerintahan yang tidak dirasakan mahasiswa ini adalah akibat kaderisasi yang tidak baik akhirnya muncul pada kritikan-kritikan mahasiswa terhadap pemerintahan kampus. Kader yang tidak memiliki kaasitas jelas akan menjadi penghambat bagi perkembangan pemerintahan kampus. Saya setuju dengan Bung Angga yang mengkritisi ini dan memberikan solusi kepada organisasi sekelas BEM dan DPM yang seharusnya bisa menjadi wadah bagi mahasiswa. Salut dengan tulisan ini. Semoga semakin banyak mahasiswa yang semakin terbangun kekritisannya. Kritik dan solusi ini saya terima sebagai evaluasi yang membangun. Sekali lagi terimakasih Bung. Forum diskusi mungkin adalah sarana yang baik untuk permasalahan ini. Selain itu juga, kesadaran bahwa setiap UKM dan organisasi kemahasiswaan lain seperti DPMF, BMF. HMPS, dan HMJ juga harus sadar akan kritikan ini. Kader yang dikirimkan untuk membawa suara mahasiswa mohon juga dipersiapkan dengan baik sehingga, kapasitas sebagai seorang perwakilan suara mahasiswa benar-benar terpenuhi. Keterbukaan dan evaluasi serta refleksi akan membantu agar organisasi kemahasiswaan semakan bersatu. Butuh kerjasama yang lebih konkret untuk pelaksanaan hal ini. Persiapan kaderisasi ini juga tidak bisa hanya mengandalkan ketika mahasiswa tersebut ada dalam tahap atas, namun juga perlu didorong dengan kader-kader berkualitas yang sudah dipersiapkan dari tahap bawah, sehingga dengan kerjasama seperti ini akan membangun pemerintahan mahasiswa yang semakin berkulitas. Proses pendampingan yang berkualitas jelas penting dimilki setiap pengurus yang ada di tingkat Fakultas, jurusan maupun prodi. Dengan pendampingan yang berkualitas, calon kandidat yang diharapkan bisa membawa suara mahasiswa akan mampu memberikan diri secaa profesional dan berkomitmen. Pollitik kampus yang hidup seperti ini akan semakin membantu setiap mahasiswa dalam perkembangan diri secara softskill. Sehingga akan melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih berkualitas untuk bangsa dan negra. Sekali lagi terimakasih bung
ReplyDelete