BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Abu Bakar
lahir pada tahun 573 M di Mekkah. al-Shiddiq adalah gelar beliau, nama
sesungguhnya Abdullah ibn Abi Quhafah al-Tamimi. Di masa jahiliyah bernama
Abdul Ka’bah, lalu Nabi mengganti menjadi Abdullah. Julukannya Abu Bakar karena pagi-pagi atau orang yang paling awal
masuk Islam.
Abu Bakar
lahir dari sebuah keluarga terhormat di Mekkah, semenjak
anak-anak, ia adalah sosok pribadi yang terkenal jujur, halus, penyayang, dan
suka beramal, sehingga masyarakat Mekkah menaruh hormat kepadanya. Ia selalu
berusaha berbuat yang terbaik untuk menolong fakir miskin.
Beliau adalah
sahabat yang terpercaya dan dikagumi Nabi. Ia pemuda yang pertama menerima
seruan Nabi tanpa banyak pertimbangan. Seluruh kehidupannya dicurahkan untuk
membela dakwah Nabi Muhammad, sehingga ia lebih dicintai oleh Nabi daripada
sahabat lainnya. Kadangkala Nabi menunjuknya sebagai imam shalat
pengganti Nabi. Ketika Nabi hijrah ke Madinah ia menyertainya dan aktif dalam
perjuangan selama di Madinah.
Bahkan ketika
Nabi memerlukan dana pembangunan Masjid di Madinah dan untuk perlengkapan
ekspedisi ke Tabuk, Abu Bakar menyumbangkan seluruh harta kekayaannya. Dengan
demikian Abu Bakar dan Nabi dalam perjuangan Islam dapat dikatakan sebagai
mitra juang yang ideal. Namun demikian, Nabi tidak pernah memberi suatu wasiat
mengenai siapa pengganti beliau setelah wafat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
awal mula pembentukan Khalifah Abu Bakar ?
2. Apa
saja upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar ?
3. Bagaimana
dengan masa kemunduran Khalifahg Abu bakar ?
C.
Tujuan
1. Mendiskripsikan
awal mula pembentukan Khalifah Abu Bakar.
2. Mendiskripsikan
upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar.
3. Mendiskripsikan
masa kemunduran Khalifahg Abu bakar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal Mula
Pembentukan Khalifah
Wafatnya Nabi
Muhammad saw. membawa masyarakat muslim yang masih bayi itu kepada suasana yang
berwujud krisis konstitusional. Hal ini disebabkan karena Nabi tidak menunjuk
penggantinya bahkan tidak pula membentuk suatu dewan menurut garis-garis
majelis suku yang mungkin bisa melaksanakan kekuasaan hingga Nabi wafat.
Karena itu, golongan Muhajirin dan Anshar bersaing, masing-masing merasa diri
berhak menjadi khalifah pengganti Nabi. Fanatisme ini sempat mengancam kesatuan
Islam yang baru saja terbentuk.
Masalah
suksesi mengakibatkan suasana politik umat Islam menjadi tegang. Padahal semasa
hidupnya Nabi Muhammad bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan yang
kokoh di antara semua pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan Anshar.
Dilambatkannya pemakaman jenazah Nabi menggambarkan betapa gawatnya krisis
suksesi itu.
Pada saat
itu, masyarakat Anshar menyelenggarakan musyawarah di gedung pertemuan bani
Sa’idah untuk mengangkat khalifah dari kalangan mereka sendiri. Mereka semula
sepakat memilih Sa’id ibn Ubaidillah. Sedang Muhajirin mendesak Abu Bakar
sebagai calon mereka karena ia dipandang yang paling layak untuk menggantikan
Nabi.
Selain itu,
terdapat pula kelompok orang-orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib, karena
menurut mereka Nabi telah menunjuk secara terang-terangan sebagai penggantinya,
karena Ali adalah menantu dan kerabat Nabi. Namun demikian, kemungkinan
terpilihnya Ali sangat tipis karena berbagai macam pertimbangan, antara lain
bahwa setelah Rasulullah wafat banyak sahabat menghendaki supaya khalifah tidak
diserahkan kepada Ali karena umurnya yang masih muda.
Kondisi
tersebut membawa suasana politik umat Islam semakin runyam, karena
masing-masing golongan merasa diri paling berhak menjadi khalifah penerus Nabi.
Pada saat itu, umat nyaris di pinggir jurang perpecahan. Suasana politik
semacam itu masih logis, karena masing-masing pihak punya alasan. Kaum Anshar
menuntut, bahwa mereka adalah orang pertama memberi tempat dan posisi pada saat
krisis yang gawat. Oleh sebab itu, seorang khalifah pengganti Nabi haruslah
dipilih dari kalangan mereka. Demikian pula kaum Muhajirin menuntut bahwa Abu
Bakar adalah seorang yang terbaik untuk menggantikan Nabi, sebab sebelum
wafatnya Nabi sering menugaskan Abu Bakar untuk menggantikan beliau menjadi imam
shalat jama’ah dan tugas-tugas tertentu. Golongan yang menghendaki agar Ali
yang mengganti Nabi beralasan bahwa Ali adalah generasi muda yang pertama masuk
Islam, ia adalah sepupu dan menantu Nabi.
Dalam proses
selanjutnya, setelah Abu Bakar mendengar informasi bahwa golongan Anshar
mengadakan musyawarah untuk mengangkat Sa’id bin Ubâdah menjadi khalifah
pengganti Nabi, lalu Abu Bakar bersama Umar berangkat ke tempat tersebut. Dalam
pertemuan itu, seorang dari golongan Anshar berdiri berpidato: “Kami adalah Anshârullah
dan pasukan Islam, dan kalian dari kalangan Muhâjirin sekelompok kecil
dari kami. Ternyata kalian mau menggabungkan kami dan mengambil hak kami serta
mau memaksa kami”.
Mendengarkan
perkataan itu, dengan bijaksana Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya perjuangan
kaum Anshar dalam perjuangan Islam tidak ada bandingannya. Tetapi sungguhpun
demikian seluruh masyarakat Arabiyah mengetahui bahwa tidak ada penguasa Arab
yang paling disegani melainkan dari kalangan Quraisy.” Lalu orang Anshar itu
berkata: “Kalau begitu pilihlah seorang pemimpin dari golongan kamu, dan kami
akan menetapkan pemimpin dari golongan kami sendiri.” Menanggapi usulan
tersebut, Umar segera berkata tegas: “Ingatlah bahwa dua pimpinan tidak akan
dapat berkuasa dalam waktu yang bersamaan. Karena itu hendaklah kamu sekalian
memilih di antara Umar dan Abu Ubaidah sebagai khalifah.” Namun kedua tokoh
yang diusulkan tersebut menolak sambil berkata: “Tidak! Kami tidak mempunyai
kelebihan dari kamu sekalian dalam urusan ini”.
Dalam situasi
musyawarah yang semakin kritis, Umar memegang tangan Abu Bakar dan
mengangkatnya, seraya menyampaikan sumpah setia kepadanya dan membaiatnya
sebagai khalifah. Sikap Umar tersebut diikuti oleh Abu Ubaidah dan tokoh-tokoh
Anshar yang hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka semua menyatakan kerelaanya
membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, yakni sebagai pemegang tampuk kepemimpinan
umat Islam yang semula dijabat oleh Nabi. Dengan demikian, krisis kesatuan dan
solidaritas Islam terselesaikan.
B.
Upaya
yang dilakukan Abu bakar
1. Memerangi kaum Murtad .
Peristiwa kaum Murtad ini biasa dikenal dengan istilah “al-riddah”,
yang berarti kemurtadan, atau beralih agama dari Islam kepada kepercayaan
semula. Secara politis merupakan pembangkangan terhadap lembaga kekhalifahan.
Gerakan ini muncul sebagai salah satu akibat dari kewafatan Nabi. Mereka
melepaskan kesetiaan kepada khalifah, bahkan menentang agama Islam, karena
mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat bersama Muhammad dengan
sendirinya batal disebabkan kewafatannya. Gerakan mereka itu dianggap sangat
mengancam stabilitas keamanan wilayah dan kekuasaan Islam. Karena itu, khalifah
dengan tegas melancarkan operasi pembersihan gerakan tersebut.
Semula hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak
mereka kembali kepada jalan yang benar, lalu berkembang menjadi perang merebut
kemenangan. Gerakan penumpasan orang-orang murtad dan para pembangkang ternyata
banyak menyita konsentrasi khalifah, baik secara moral maupun secara politis. Stabilitas
keamanan Madinah pada saat itu terganggu. Namun berkat kesucian tekad khalifah
dan segenap kaum Muslimin, akhirnya hal tersebut dapat teratasi.
2. Gerakan penumpasan nabi-nabi palsu.
Rupanya gerakan Nabi-nabi palsu telah ada disaat Nabi masih
hidup, yaitu muncul di wilayah Arab bagian selatan. Yang pertama mengaku diri
memegang peranan kenabian muncul di Yaman, yaitu Aswad al-Ansi. Kemudian
menyusul Musailamah al-Kazzab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad telah
mengangkatnya sebagai mitra di dalam kenabian. Selain itu adalah Tulaihah dan
Sijjah ibn Haris, seorang wanita dari Arabiyah tengah. Semua gerakan tersebut
adalah merupakan ancaman bagi umat Islam dan sekaligus bertentangan dengan
keyakinan Islam bahwa tidak ada lagi Nabi sesudah Muhammad saw.
3. Gerakan terhadap orang-orang yang
enggan membayar zakat.
Setelah Nabi wafat, banyak orang yang enggan membayar zakat,
karena mereka mengira bahwa zakat adalah serupa pajak yang penyerahannya kepada
perbendaharaan pusat di Madinah, sama artinya dengan penurunan kekuasaan. Suatu
sikap yang tidak disukai oleh suku-suku Arab, karena bertentangan dengan
karakter mereka yang independen. Alasan lain, karena kesalahan memahami ayat
QS. 9:103. Mereka menduga bahwa hanya Nabi saja yang berhak memungut zakat,
karena itu kesalahan seseorang dapat dihapuskan dan dibersihkan.
Jadi gerakan ini sebenarnya bertujuan untuk mengembalikan
seseorang kepada kesucian dan kebenaran. Semua gerakan tersebut di atas
merupakan program utama khalifah Abu Bakar karena beliau sadari bahwa gerakan
mereka itu adalah ancaman dan sekaligus merupakan hambatan terhadap eksisnya
Islam di Jazirah Arab masa itu.
4. Upaya ekspansi wilayah
Setelah Abu Bakar mengadakan pembersihan pemberontakan dalam
negeri, maka beliau mengarahkan perhatiannya kepada ekspansi ke luar sebagai lanjutan
perjuangan masa Rasulullah. Ekspansi yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar
dimulai dengan pengiriman ekspedisi di bawah pimpinan Usamah bin Zaid ke
perbatasan Suriah untuk membalas pembunuhan Zaid, ayah Usamah, dan kerugian
yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mu’tah. Pengiriman ekspedisi ini
dianggap oleh khalifah suatu hal yang sangat penting artinya, namun banyak
anggota majlis syura’ yang setuju untuk menunda pengiriman ekspedisi itu.
Tetapi Abu Bakar dengan tegas menolak kehendak menunda pengiriman itu.
Keberanian Abu Bakar untuk melanjutkan ekspedisi berhasil meyakinkan
orang-orang Badui mengenai keadaan kekuatan Islam dalam negeri.
Setelah ekspansi tersebut, Abu Bakar mengirim lagi kekuatan
perangnya ke luar Arabiah, yaitu Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat
menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Ke Suriah dikirim tentara di bawah pimpinan
tiga panglima, yaitu Amr bin al-Ash, Yazid bin Abi Sufyan, dan Syurahbil ibn
Hasan. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid kemudian diperintahkan
meninggalkan Iraq menuju ke Suriah.
Semua pasukan yang dikirim ke luar berhasil membawa
kemenangan dengan gemilang. Keberhasilan itu tidak terlepas dari system yang
digunakan khalifah. Nampaknya kekuasaan yang digunakan oleh khalifah Abu Bakar,
seperti kekuasaan pada masa Rasulullah saw. bersifat sentral. Kekuasaan
legislative, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain
menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hokum. Namun
demikian, seperti juga di masa Nabi Muhammad saw. Abu Bakar selalu mengajak
sahabat-sahabatnya bermusyawarah.
Suatu hal yang perlu diperhatikan terhadap keberhasilan Abu
Bakar dalam memperjuangkan Islam yaitu selain tekad niat suci dan
kesungguhannya, juga adalah berkat kearifan beliau dalam menangani suatu kasus.
C. Masa
kemunduran Khalifahg Abu bakar
Khalifah
Abubakar bin Abi Quhafah dengan gelaran Abubakar Assiddiq, telah memerintah
selama 2 tahun 3 bulan, dengan pemerintah pusatnya di Madinah. Dalam usia
63 tahun, disebabkan mengidap demam panas selama 15 hari. Dikebumikan
berhampiran dengan tanah perkubuaran Nabi s.a.w. di Madinah.
Faktor
yang mendorong kemunduran Khalifah ali yang tragis :
1. Momok pembunuhan Utsman yang terus
membayanginya hingga wafat
2. Keterlibatan Ali dalam perang
saudara pertama dalam sejarah Muslim yang mengakibatkan kaum muslim yang tulus
mulai menjahuinya.
3. Sebagaimana yang telah ditunjukkan,
kejujuran Abu bakara yang tak kenal kompromi mengenai urusan Negara dan
pemerataanya yang tegas dalam pembagian kekuasaan menjadikan dirinya suri
teladan. Hal ini mencerabutnya dari dukungan dan loyalitas masyarakat Arab,
terutama orang orang Quraisy.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selama masa
sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk
untuk menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai
indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Segera setelah
kematiannya (632), dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan
Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai
pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.
Apa yang
terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu
Bakar sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi
sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni
dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi
Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah
keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa
Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa
Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin.sementara muslim
syi'ah berpendapat kalau Rasulullah saw dalam hal-hal terkecil seperti sebelum
dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah meninggal umatnya tanpa
hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir.dan juga banyak
hadits di Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah
saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan
kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal
menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah
setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan
pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia
Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali melakukan
baiat tersebut secara pro forma,
mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang
berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup
diri dari kehidupan publik.
DAFTAR PUSTAKA
M
. Ayoub, Mahmoud. The Crisis Of Muslim
History. Penerbit Mizan