Kampung Laweyan yang terletak di
Surakarta, Jawa Tengah ternyata tidak hanya dikenal sebagai desa penghasil
batik terbesar di Surakarta. Melalui kampung ini lahir juga benih-benih
pergerakan yang kemudian mengisi sejarah perjuangan Indonesia. Karena dari
kampung ini lahir organisasi Sarekat Islam yang dianggap sebagai organisasi
massa terbesar saat itu yang ada di Indonesia. Mengenal kampung Laweyan tentu
tidak terlepas dari sejarahnya sebagai kampung penghasil batik tebesar di kota
Surakarta. Tetapi sebelum menjadi sentra pembuatan dan penjualan batik, kampung
Laweyan merupakan sebuah kampung kecil yang didirikan oleh Kyai Ageng Henis
kakek dari Danang Sutowijoyo (pendiri kerajaan Mataram Islam).[1]
Ki Ageng Henis kemudian membangun Laweyan menjadi pusat industri batik. Jika
dapat dilihat nama Laweyan sendiri berasal dari nama pasar lawe (bahan baku
tenun). Seiring perkembangannya nama Laweyan dipakai menjadi nama kampung
tersebut. Hal ini dikarenakan letaknya tidak begitu jauh dari pasar lawe dan
sering dipakai untuk aktifitas perdagangan dari masyarakat Surakarta. Pada masa
perkembangannya Kampung Laweyan kemudian dijadikan wilayah perdikan (otonom)
yang terbebas dari pajak kerajaan. Selain itu pihak Keraton Surakarta
memberikan aturan untuk tidak memperbolehkan para pengerajin batik di Laweyan
membatik menggunakan motif keraton, para pengerajin ini hanya diperbolehkan
untuk membuat motif-motif sendiri.[2]
Batik yang berkembang di Laweyan ini
ternyata sudah berkembang dari abad ke 16 atau tepatnya 1555 M ketika Kerajaan Pajang menguasai wilayah
Surakarta dan sekitarnya. Letak Kampung Laweyan saat itu berada di sebelah timur
dari Keraton ini.Sehingga kampung ini banyak ditempati oleh para keluarga Kerajaan
Pajang maupun yang berasal dari Keraton Surakarta untuk meneruskan usaha turun
temurun yaitu memproduksi batik.
Munculnya Kelompok Ronda dan Berkembang Menjadi Sarekat Dagang Islam
Kampung Laweyan yang didirikan oleh Ki Ageng Henis ini semakin berkembang.
Pembuatan batik pun tetap berjalan dan mayoritas yang menjalankan usaha ini
adalah keturunan dari Keraton Surakarta. Saat itu batik menjadi komoditi yang
sangat diminati oleh kalangan keluarga kerajaan Surakarta, karena selain dipergunakan
untuk berpakaian sehari-hari, pakaian batik juga akan menandakan bahwa mereka
dari golongan bangsawan.[3]
Dari banyaknya saudagar batik yang memproduksi batik di Laweyan, muncul salah
seorang pedagang batik yang bernama Kiai Haji Samanhoedi. Beliau merupakan salah
satu saudagar batik Laweyan yang cukup ternama saat itu. Kiai Haji Samanhoedi
kelak akan menjadi pelopor berdirinya organisasi perdagangan Islam pertama di
Hindia Belanda pada masa pergerakan nasional. Organisasi ini di beri nama
Sarekat Dagang Islam (SDI) dan Kampung Laweyan menjadi tempat sejarah berdiri
dan berkembangnya organisasi ini.[4]
SDI sendiri digagas oleh Samanhoedi pada tahun 1911. Kelahiran Sarekat Dagang
Islam ini dipicu oleh persaingan perdagangan batik antara pedagang Cina dan
pedagang bumiputera di wilayah Laweyan. Orang Cina merasa lebih unggul daripada
orang pribumi, bahkan merasa setingkat dengan orang Belanda.
Pertikaian diantara pedagang Cina dan pribumi ini semakin terlihat dengan
munculnya perkelahian-perkelahian antara orang pribumi dan Cina karena sikap
saling merendahkan satu dengan lain. Selain itu langkah sabotase perdagangan
sering dilakukan oleh para pedagang Cina kepada para pedagang pribumi, yaitu
dengan menjarah kain batik yang tengah dijemur di halaman rumah. Kemudian
Samanhoedi bersama M. Asmodimejo dan M. Kertotaruno membentuk sebuah
perkumpulan ronda yang bernama Rekso
Roemekso. Awalnya perkumpulan ronda ini dibentuk untuk menjaga keamanan
wilayah Laweyan dari tindakan pencurian kain-kain batik yang sedang di produksi
oleh pedagang pribumi. Namun pada akhirnya perkumpulan ini memicu persaingan
tidak sehat antara orang Cina dan pribumi. Hal ini membuat orang Cina di
Laweyan membentuk perkumpulan baru. Perkumpulan tersebut bernama Kong Sing.
Kong Sing yang awalnya diharapkan
mampu meredam pertikaian antara pribumi dan Cina ternyata gagal, Kong Sing
justru terlibat di dalam pertikaian dan mengawali serangkaian perkelahian kecil
di jalanan kota Solo pada akhir tahun 1911. Karena pertikaian ini polisi
pemerintah Hindia Belanda mulai turun tangan untuk menyelidiki status hukum
dari Rekso Roemekso sebagai perkumpulan orang-orang pribumi. Pemerintah
kolonial Belanda saat itu memang memiliki peraturan kepada setiap perkumpulan
bagi kaum pribumi. Setiap perkumpulan pribumi yang belum memiliki status hukum
dapat dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Untuk mengantisipasi
pembubaran Rekso Roemekso Samanhoedi kemudian mengambil tindakan untuk mengubah
nama Rekso Roemekso menjadi Sarekat Dagang Islam. Namun Samanhoedi terkendala
dalam penyusunan anggaran dasar bagi Sarekat Dagang Islam. Kemudian beliau
meminta bantuan kepada beberapa rekannya seperti, Djojomargoso dan
Marthodarsono untuk menghubungi Tirto Adhi Soerjo yang saat itu memiliki koran Medan Prijaji untuk ikut serta dalam
penyusunan anggaran dasar Sarekat Dagang Islam.
Dalam penyusunan anggaran dasar
tersebut, Tirto yang saat itu berada di Bogor segera berangakat menuju Solo
untuk bertemu dengan Samanhoedi. Tirto tiba di Solo pada Januari tahun 1912.
Saat itu Tirto mulai menyusun anggaran dasar untuk Sarekat Dagang Islam lalu ia
menyerahkan hasil penyusunan anggaran dasar tersebut kepada onderafdeling Laweyan dan mengumumkan
pembentukan cabang Sarekat Dagang Islamijah Bogor di Surakarta dalam surat
kabar Medan Prijaji.[5]
Hal ini yang kemudian membuat para anggota Rekso
Roemekso saat itu menyamakan antara SDI bentukan Tirto yang ada di Bogor
dengan SDI yang akan dibentuk di Surakarta untuk menggantikan nama Rekso Roemekso.[6]
Semenjak saat itu nama Rekso Roemekso berganti menjadi lebih modern dengan nama
Sarekat Dagang Islam.
Pada perkembangannya Sarekat Dagang
Islam yang sudah resmi terbentuk pada tahun 1911 anggotanya di dominasi oleh orang-orang
Laweyan saja tetapi kemudian terus bertambah dan menyebar keluar Laweyan.[7] Di
tahap-tahap awal berdirinya organisasi ini Samanhoedi sebagai pendiri lebih
mengutamakan membentuk struktur organisasi dan kepengurusan. Setelah
kepengurusan terbentuk dan sudah berbadan hukum, SDI banyak melakukan kegiatan
boikot di wilayah Laweyan dan sekitarya. Aksi boikot dilakukan kepada
firma-firma Tionghoa yang berusaha menekan harga kain batik yang mereka beli
dari para pembuat batik di Laweyan. Para anggota SDI menganggap firma-firma
Tionghoa melakukan praktek-praktek dagang yang tidak jujur dan bertingkah
sombong. Hal ini terlihat seperti pemilik rumah gadai milik kelompok Tionghoa
yang memberi uang palsu dan berlaku kasar kepada pelanggannya. Memang setelah
SDI sudah berbadan hukum konflik antara kelompok Tionghoa belum dapat mereda
bahkan semakin melebar dengan terbentuknya perkelahian-perkelahian kecil
disekitar Mangkunegaran yang dilakukan oleh para anggota SDI dan orang-orang Tionghoa.
Sikap anti-Tionghoa ini juga dapat
dirasakan ketika SDI memberlakukan peraturan kepada setiap anggotanya untuk
menjalankan ajaran-ajaran Islam, bertindak benar, taat kepada hukum negara dan
pemerintah serta menjauhkan segala bentuk penyimpangan yang dilarang oleh agama
Islam. Sehingga saat itu SDI menjadi organisasi golongan Islam yang sangat
fanatik dengan kelompok yang berada diluar Islam, salah satunya adalah
kelompok-kelompok Tionghoa. Selain itu kebiasaan yang terbentuk semenjak masih
bernama Rekso Roemekso untuk menjalankan ronda secara rutin tidak begitu
ditinggalkan saja dari kegiatan SDI. Para anggotanya masih belum percaya dengan
kondisi keamanan wilayah Laweyan yang masih dipenuhi oleh kelompok orang
Tionghoa.
Aksi-aksi boikot dan pemogokan
menentang keberadaan kaum Tionghoa yang semula hanya terjadi di Laweyan kini
semakin merambah ke beberapa wilayah di sekitar Surakarta. Hal ini juga
didukung dengan meningkatnya keanggotaan SDI yang mencapai 35000 pada awal
Agustus.[8]Selain
SDI melakukan penyerangan kepada kaum Tionghoa yang ada di sekitar Laweyan,
kelompok ini juga melakukan penyerangan kepada residen Surakarta dengan
menghimpun pemogokan di perkebunan-perkebunan sekitar Surakarta dengan tuntutan
penolakan kerja paksa kepada para petani. Hal ini memunculkan keresahan kepada
pemerintah residen Surakarta. Pada tanggal 10 Agustus 1912, residen
memerintahkan semua kegiatan SDI dihentikan dan melarang SI melakukan pertemuan
serta menerima anggota baru. Polisi, di bawah perintah residen Surakarta,
menggerebek kantor SDI dan rumah para anggota hoofdbestuur.[9]Setelah
itu kegiatan pergerakan SDI di Laweyan benar-benar dihentikan hingga kemudian
dihidupkan kembali oleh Tjokroaminoto dan pusat pemerintahannya dipindahkan ke
Surabaya.
Pengerebekan yang dilakukan oleh
polisi kepada sejumlah tokoh SDI yang berada di Laweyan dan sekitar Surakarta
membuat kepanikan pada pimpinan SDI. Kemudian mereka mengundang Tjokroaminoto
dan R. Tjokrosoedarmo salah satu anggota SDI Surabaya untuk datang ke Laweyan.
Tjokroaminoto kemudian diberikan mandat oleh Samanhoedi untuk membuat kembali
anggaran dasar SDI yang baru dengan memperbanyak kembali afdeling SDI diluar Laweyan. Walaupun pada saat itu pusat SDI sudah
diserahkan wewenangnya kepada Tjokroaminoto sekaligus mempebanyak
kegiatan-kegiatan SDI diluar Keresidenan Surakarta. Langkah ini sebagai sebuah
strategi untuk tetap menghidupkan SDI meski selalu mendapatkan ancaman dan
pengawasan dari pihak residen maupun pemerintah kolonial Belanda.
Semenjak saat itu pusat kegiatan SDI
mulai menyebar kebeberapa wilayah di Hindia. Walaupun sudah banyak terbentuk
afdeling SDI dibeberapa kota diluar Laweyan, namun peran tokoh-tokoh pendiri
SDI di Laweyan tetap terlihat. Seperti pembentukan afdeling SDI di Bandung bentukan dari perkumpulan Darmo Loemekso
yang dibentuk Haji Amir, saudara kandung Samanhoedi. Sehingga pengaruh SDI dari
Laweyan dengan cepat menyebar keluar kota Surakarta. Semenjak terjadi perubahan
yang dipelopori kembali oleh Tjokroaminoto pada tahun 1912 berlahan nama SDI
mulai ditinggalkan dan berganti menjadi SI (Sarekat Islam). Hal ini dikarenakan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pimpinan dan anggotanya bukan hanya
mencakupi masalah perdagangan saja melainkan sudah merambah kepada pergerakan
Islam.
Perkembangan Pergerakan di Laweyan (1917-1920)
Meskipun pusat pergerakan Sarekat
Islam sudah tidak berada di Laweyan, namun pengaruh para pedagang batik Laweyan
yang tetap ikut aktif dalam Sarekat Islam tetap besar. Pengaruh besarnya SI
Surakarta yang di dominasi oleh para pedagang batik Laweyan baru dapat
dirasakan pada tahun 1917. Saat itu terjadi pergantian kepengurusan pada SI
Semarang yang menyebabkan pengaruh radikalisme terjadi di beberapa kota di
Hindia Belanda. Kota Surakarta terutama Laweyan juga mengalami dampak dari
pengaruh radikalisme Sarekat Islam Semarang ini. Perkembangan radikalisme ini
kemudian membuka kembali kegiatan SI Surakarta yang sempat terhenti karena
pelarangan pemerintah kolonial Belanda. Samanhoedi kembali mendominasi untuk
membangun SI Surakarta. Para pedagang batik kembali aktif menjadi anggota SI
Surakarta. Seiring semakin bertambahnya anggota SI Surakarta pusat kegiatan
afdeling kemudian dikembalikan ke Laweyan. Pada perkembangan pergerakan
tersebut para tokoh-tokoh SI yang berada di Laweyan mendapatkan pengaruh dari
organisasi pergerakan Insulinde yang saat itu juga dalam proses perintisan kembali
pada cabang Surakarta. Samanhoedi dapat merasakan hal tersebut. Saat itu
Insulinde sedang mendorong kekuatan pergerakan revolusioner di Laweyan.
Pendorong Insulinde wilayah
Surakarta dapat bergerak secara revolusioner tidak lain dan tidak bukan karena
pengaruh dari SI Semarang. Haji Misbach dan Tjipto Mangoenkoesoemo (1918-1920)
yang memimpin Insulinde berusaha mendekati SI Surakarta dan mendominasi setiap
kegiatan yang ada di dalamnya. Hal ini dapat terlihat saat CSI dibawah pimpinan
Tjokroaminoto di Surabaya berusaha mengaktifkan kembali SI Surakarta pada tahun
1919. Saat itu dibentuk vergaderingumum
yang diadakan pada 6 April 1919 di Sri Wedari. CSI mengharapkan Samanhoedi
dapat menjadi ketua kehormatan bagi SI Surakarta agar afdeling ini dapat bergabung kembali ke dalam CSI. Namun pada saat bersamaan
terjadi pemogokan petani di wilayah Kesunanan. Insulinde
dan PKBT dibawah pimpinan Misbach diduga memiliki peranan besar dalam
menciptakan pemogokan ini. Misbach memang sengaja menciptakan kondisi demikian
agar Samanhoedi tidak mengambilalih kembali kekuasaan di SI Surakarta. Karena
khawatir akan terjadi pengambilalihan kepemimpinan SI Surakarta oleh Misbach
dan Marco, Samanhoedi beserta para pedagang batik Laweyan ramai-ramai ke Sri
Wedari. Mereka berusaha mendominasi vergadering.
Pada akhirnya Samanhoedi menjadi ketua kehormatan SI Surakarta.[10]
Setelah dinyatakan Samanhoedi
memimpin kembali SI Surakarta kelompok yang pro dengan Tjokroaminoto dan para
pengusaha batik Laweyan kembali mendominasi SI Surakarta. Seperti,
Poerwodihardjo sekertaris TKNM (Tentara Kanjeng Nabi Muhammad) dan M.H.
Abdoelsalam yang merupakan pengusaha batik Laweyan yang menjadi tokoh-tokoh
kepercayaan dari Samanhoedi untuk membangkitkan kembali SI Surakarta.
Tahun-tahun tersebut menjadi masa dimana terjadi perebutan kekuasaan pada SI
Surakarta. Antara dominasi gerakan radikal yang dipengaruhi SI Semarang dengan
pengaruh yang diberikan oleh para pengusaha batik Laweyan yang pro dengan
kepemimpinan Tjokroaminoto. Sehingga keinginan untuk menjadikan SI Surakarta
menjadi SI radikal telah lenyap. Kepemimpinan kelompok Laweyan cukup
mendominasi sehingga membendung segala pengaruh baik yang diberikan oleh
Insulinde Surakarta maupun SI Semarang yang sudah lebih dulu radikal.
Eksistensi SI Surakarta dibawah pergerakan kelompok Laweyan akhirnya tidak
berlangsung lama. SI Surakarta terbengkalai dan kegiatannya di Laweyan lenyap
seiring pengaruh radikalisme yang tidak pernah tumbuh pada afdeling ini.
Tempat Persinggahan Para Pendiri Bangsa
Pada tahun 1920 kondisi pergerakan
di Laweyan berlahan menghilang seiring berkembangnya kekuatan dan pengaruh dari
PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berdiri di Semarang membuat pusat
pergerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial beralih pada kota ini.
Pengaruh Samanhoedi sebagai salah satu pemimpin Sarekat Islam juga tidak
seperti dahulu saat mempelopori berdirinya organisasi ini. Pencitraannya
sebagai seorang pemimpin mulai tergantikan oleh Tjokroaminoto yang berlahan
membentuk CSI menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Namun peranan
Laweyan sebagai pusat industri batik yang ikut melahirkan serta mendidik
tokoh-tokoh pendiri bangsa juga sangat besar. Hal ini dapat terlihat dengan
keluar masuknya para tokoh-tokoh organisasi pergerakan nasional Indonesia
seperti Tirtoadisoerjo, Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkoesoemo, Misbach, Marco
dan Semaoen di wilayah Laweyan. Baik kepentingan mereka hanya sebatas untuk
menjalin silaturahmi dengan para tokoh-tokoh SI Surakarta maupun membicarakan
yang bersifat mendesak, seperti pembahasan AD/ART , rapat-rapat, dan pemberian
pengaruh radikal telah menjadi bagian dari sejarah pergerakan di Laweyan.
Tanpa sengaja tokoh-tokoh tersebut
bertumbuh menjadi pemikir-pemikir bangsa karena pengaruh dari lingkungan
Laweyan dan sekitarnya. Walaupun pada saat ini Laweyan hanya dianggap sebagai
sentra batik terkenal di kota Surakarta tapi peranan-peranan Laweyan dalam
menghimpun kekuatan pergerakan nasional sangatlah besar. Laweyan juga tidak
akan terpisahkan dari sejarah berdirinya Sarekat Islam dan menjadi saksi bisu
perlawanan umat Islam terhadap kaum feodal yang menjajah Hindia Belanda. Sampai
pada masa kemerdekaan Laweyan tetap menjadi jantung perekonomian bagi
masyarakat Surakarta yang akan selalu identik dengan pergerakan, Islam dan
tentunya kemerdekaan. Meskipun pusat kepemimpinan organisasi Sarekat Islam
sudah tidak berada di Laweyan namun Haji Samanhoedi tetap tinggal di kampung
ini. Beliau hanya berharap kejayaan Sarekat Islam saat berada di Laweyan dapat
kembali terulang. Nasib organisasi ini juga mengalami perubahan dari tahun ke
tahun. Dari terpecah menjadi golongan putih dan merah hingga masing-masing
melebur menjadi partai politik di masa pra-kemerdekaan Indonesia.
Pada saat ini selain dibuka menjadi
pusat industri batik, Laweyan juga meninggalkan beberapa bukti-bukti sejarah
pada masa pergerakan nasional. Peninggalan-peninggalan tersebut seperti, museum
Samanhoedi yang menempati bekas rumah Haji Samanhoedi selama berada di Laweyan,
Masjid Laweyan yang menjadi tempat pusat berkumpulnya para anggota-anggota
Sarekat Islam dan beberapa bangunan yang saat itu digunakan sebagai tempat
memproduksi dan menjual batik dari Laweyan.[11]
Semuanya masih tetap terjaga sampai saat ini dengan gaya arsitektur bangunan
yang tak pernah berubah dan masih sama seperti masanya terdahulu. (Angga Riyon Nugroho - P.Sejarah 2009)
Sumber:
Buku
Gamal
Komandoko.2010.Panembahan Senopati Geger
Ramalan Sunan Giri.Jakarta: Diva Press.
________________.2010.Jaka Tingkir
Jalan Berliku Menjemput Wahyu.Jakarta: Diva Press.
KRT.DR.(HC) Kalinggo Honggopuro.2002.Batik sebagai busana
dalam tatanan dan tutunan.
Yayasan
Peduli Keraton Surakarta Hadiningrat.Surakarta
Mlayadipura.1950.Desa Laweyan
Sartono, Kartodirdjo.1975.Sarekat Islam Lokal.penerbitan Sumber-Sumber Sejarah no.7.
Jakarta: Arsip
Nasional Republik Indonesia.
Shiraisi, Takashi.1990.Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.Jakarta:
Grafiti
Pers.
Majalah
dan Jurnal
Engelenberg.1913.“Voorlopig
Opmerking over de Sarekat Islam Beweging”.No.B13
Majalah Tempo.
“Bermula dariPerkumpulan Ronda”.Edisi 15-21 Agustus 2011
Sejarahituperlu…
Meskipun terkadang memakan banyak korban...
Karena sejarah adalah petunjuk...
[1]Danang
Sutawijaya merupakan anak angkat dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari
Kerajaan Pajang yang telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang dan kelak akan
mendirikan Kerajaan Islam baru di barat Surakarta yang dinamakan Kerajaan
Mataram Islam. Lihat, Gamal Komandoko, Panembahan
Senopati Geger Ramalan Sunan Giri, 2010, Diva Press, hlm.16.
[2]Wilayah
Surakarta sendiri saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang setelah
Kerajaan Demak runtuh. Antara Pajang dan Surakarta memiliki kedekatan yang sangat
erat termasuk wilayah Laweyan yang menjadi tempat lahirnya anak angkat dari
Sultan Hadiwijaya. Kedekatan Sultan Pajang dengan Laweyan dapat terlihat juga
ketika Sultan Hadiwijaya memberikan sebidang tanah perdikan di Laweyan dan
mengangkat Ki Ageng Henis sebagai priyayi Pajang di wilayah tersebut. Lihat,
Gamal Komandoko, Jaka Tingkir Jalan
Berliku Menjemput Wahyu,2010, Diva Press, hlm.230.
[3]Perihal
pemakaian batik bagi golongan bangsawan, Sudharmono, sejarawan Surakarta mengatakan
bahwa batik motif Kawung hanya boleh dikenakan raja dan keluarganya. Kaum
bangsawan, selain raja dan keluarganya kemudian ikut melarang-larang rakyat
biasa untuk memakai batik Kawung. Mereka melakukan itu agar simbol kebangsawanan
tetap terjaga, dalam Tempo, Edisi Khusus
Tjokroaminoto 15-21 Agustus, 2011, hlm.33.
[4]Pengamat-pengamat
Eropa menetapkan SI atau SDI didirikan pada awal 1912. Rinkes menyebut bahwa
tanggal didirikannya tidak lama sesudah Februari 1912, lihatVan der Wal, De Opkomst van de Nationalistische Beweging,
hlm.86-87. Residen Surakarta dalam laporan pertamanya tentang Sarekat Islam
pada 11 Agustus 1912, menulis bahwa gerakan ini didirikan beberapa bulan
sebelum itu. Penulis-penulis yang meneliti tentang Sarekat Islam menyebut tahun
1911.
[5]Merupakan
media pers yang dibentuk oleh Tirtoadisoerjo dengan pelanggan sebanyak 2000
orang pada awal 1911. Meskipun menggunakan nama Medan Prijaji, surat kabar ini tidak lagi menjadi forum bagi
priyayi seperti Pewarta Prijaji dari Koesoemo Oetojo. Kesempatan Tirtoadisoerjo
untuk membuat anggaran dasar Sarekat Dagang Islam dimanfaatkannya untuk
menaikan pengaruh Medan Prijaji
sekaligus membiayai segala proses penerbitan media pers ini. Lihat, Takashi
Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme
Rakyat di Jawa 1912-1926, Grafiti Pers,1997,hlm.44
[6]Rekso
Roemekso sebuah perkumpulan yang menjadi cikal bakal berdirinya Sarekat Islam
di Laweyan. Terbentuk karena inisiatif Samanhoedi untuk memerangi pengaruh
pedagang Cina yang memonopoli perdagangan batik di wilayah Laweyan dan
Surakarta tahun 1911.
[7]Engelenberg,
“Voorlopig Opmerking over de Sarekat
Islam Beweging”, 13 Agustus 1913,
No.B13
[8]Sartono,
Sarekat Islam Lokal, hlm.333.
[9]Takashi
Shiraisi, op.cit, hlm.64
[11]Keunikan
Laweyan selain digunakan sebagai sentra industri batik dari zaman dahulu hingga
sampai saat ini, yaitu dengan keberadaan masyarakat Laweyan yang saat dahulu
mempertahankan model rumah. Masyarakat Laweyan saat itu tinggal pada rumah yang
satu sama lain saling terhubung dengan rumah tetangganya dengan menggunakan
pintu yang disebut pintu butulan. Dengan keberadaan pintu ini masyarakat
Laweyan semakin dipermudah untuk berkomunikasi dan menjaga keamanan antara satu
warga dengan warga yang lainnya. Dengan bentuk rumah yang saling berhubungan
berdampak pada rasa persaudaraan dan persatuan antara penduduk Laweyan.