Tim Pawai Kebudayaan Pendidikan Sejarah

Atas : Loppias, Yudi, Roy, Adit, Suryo, Brurry | Bawah : Ade, Nova, Dimas, Ignatius, Cahyo, Yoshi

widget

27 Mar 2015

KAMPUNG LAWEYAN DALAM SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA (1908-1912)



Kampung Laweyan yang terletak di Surakarta, Jawa Tengah ternyata tidak hanya dikenal sebagai desa penghasil batik terbesar di Surakarta. Melalui kampung ini lahir juga benih-benih pergerakan yang kemudian mengisi sejarah perjuangan Indonesia. Karena dari kampung ini lahir organisasi Sarekat Islam yang dianggap sebagai organisasi massa terbesar saat itu yang ada di Indonesia. Mengenal kampung Laweyan tentu tidak terlepas dari sejarahnya sebagai kampung penghasil batik tebesar di kota Surakarta. Tetapi sebelum menjadi sentra pembuatan dan penjualan batik, kampung Laweyan merupakan sebuah kampung kecil yang didirikan oleh Kyai Ageng Henis kakek dari Danang Sutowijoyo (pendiri kerajaan Mataram Islam).[1] Ki Ageng Henis kemudian membangun Laweyan menjadi pusat industri batik. Jika dapat dilihat nama Laweyan sendiri berasal dari nama pasar lawe (bahan baku tenun). Seiring perkembangannya nama Laweyan dipakai menjadi nama kampung tersebut. Hal ini dikarenakan letaknya tidak begitu jauh dari pasar lawe dan sering dipakai untuk aktifitas perdagangan dari masyarakat Surakarta. Pada masa perkembangannya Kampung Laweyan kemudian dijadikan wilayah perdikan (otonom) yang terbebas dari pajak kerajaan. Selain itu pihak Keraton Surakarta memberikan aturan untuk tidak memperbolehkan para pengerajin batik di Laweyan membatik menggunakan motif keraton, para pengerajin ini hanya diperbolehkan untuk membuat motif-motif sendiri.[2]
Batik yang berkembang di Laweyan ini ternyata sudah berkembang dari abad ke 16 atau tepatnya 1555 M  ketika Kerajaan Pajang menguasai wilayah Surakarta dan sekitarnya. Letak Kampung Laweyan saat itu berada di sebelah timur dari Keraton ini.Sehingga kampung ini banyak ditempati oleh para keluarga Kerajaan Pajang maupun yang berasal dari Keraton Surakarta untuk meneruskan usaha turun temurun yaitu memproduksi batik.

Munculnya Kelompok Ronda dan Berkembang Menjadi Sarekat Dagang Islam
Kampung Laweyan yang didirikan oleh Ki Ageng Henis ini semakin berkembang. Pembuatan batik pun tetap berjalan dan mayoritas yang menjalankan usaha ini adalah keturunan dari Keraton Surakarta. Saat itu batik menjadi komoditi yang sangat diminati oleh kalangan keluarga kerajaan Surakarta, karena selain dipergunakan untuk berpakaian sehari-hari, pakaian batik juga akan menandakan bahwa mereka dari golongan bangsawan.[3] Dari banyaknya saudagar batik yang memproduksi batik di Laweyan, muncul salah seorang pedagang batik yang bernama Kiai Haji Samanhoedi. Beliau merupakan salah satu saudagar batik Laweyan yang cukup ternama saat itu. Kiai Haji Samanhoedi kelak akan menjadi pelopor berdirinya organisasi perdagangan Islam pertama di Hindia Belanda pada masa pergerakan nasional. Organisasi ini di beri nama Sarekat Dagang Islam (SDI) dan Kampung Laweyan menjadi tempat sejarah berdiri dan berkembangnya organisasi ini.[4] SDI sendiri digagas oleh Samanhoedi pada tahun 1911. Kelahiran Sarekat Dagang Islam ini dipicu oleh persaingan perdagangan batik antara pedagang Cina dan pedagang bumiputera di wilayah Laweyan. Orang Cina merasa lebih unggul daripada orang pribumi, bahkan merasa setingkat dengan orang Belanda.
Pertikaian diantara pedagang Cina dan pribumi ini semakin terlihat dengan munculnya perkelahian-perkelahian antara orang pribumi dan Cina karena sikap saling merendahkan satu dengan lain. Selain itu langkah sabotase perdagangan sering dilakukan oleh para pedagang Cina kepada para pedagang pribumi, yaitu dengan menjarah kain batik yang tengah dijemur di halaman rumah. Kemudian Samanhoedi bersama M. Asmodimejo dan M. Kertotaruno membentuk sebuah perkumpulan ronda yang bernama Rekso Roemekso. Awalnya perkumpulan ronda ini dibentuk untuk menjaga keamanan wilayah Laweyan dari tindakan pencurian kain-kain batik yang sedang di produksi oleh pedagang pribumi. Namun pada akhirnya perkumpulan ini memicu persaingan tidak sehat antara orang Cina dan pribumi. Hal ini membuat orang Cina di Laweyan membentuk perkumpulan baru. Perkumpulan tersebut bernama Kong Sing.
            Kong Sing yang awalnya diharapkan mampu meredam pertikaian antara pribumi dan Cina ternyata gagal, Kong Sing justru terlibat di dalam pertikaian dan mengawali serangkaian perkelahian kecil di jalanan kota Solo pada akhir tahun 1911. Karena pertikaian ini polisi pemerintah Hindia Belanda mulai turun tangan untuk menyelidiki status hukum dari Rekso Roemekso sebagai perkumpulan orang-orang pribumi. Pemerintah kolonial Belanda saat itu memang memiliki peraturan kepada setiap perkumpulan bagi kaum pribumi. Setiap perkumpulan pribumi yang belum memiliki status hukum dapat dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Untuk mengantisipasi pembubaran Rekso Roemekso Samanhoedi kemudian mengambil tindakan untuk mengubah nama Rekso Roemekso menjadi Sarekat Dagang Islam. Namun Samanhoedi terkendala dalam penyusunan anggaran dasar bagi Sarekat Dagang Islam. Kemudian beliau meminta bantuan kepada beberapa rekannya seperti, Djojomargoso dan Marthodarsono untuk menghubungi Tirto Adhi Soerjo yang saat itu memiliki koran Medan Prijaji untuk ikut serta dalam penyusunan anggaran dasar Sarekat Dagang Islam.
            Dalam penyusunan anggaran dasar tersebut, Tirto yang saat itu berada di Bogor segera berangakat menuju Solo untuk bertemu dengan Samanhoedi. Tirto tiba di Solo pada Januari tahun 1912. Saat itu Tirto mulai menyusun anggaran dasar untuk Sarekat Dagang Islam lalu ia menyerahkan hasil penyusunan anggaran dasar tersebut kepada onderafdeling Laweyan dan mengumumkan pembentukan cabang Sarekat Dagang Islamijah Bogor di Surakarta dalam surat kabar Medan Prijaji.[5] Hal ini yang kemudian membuat para anggota Rekso Roemekso saat itu menyamakan antara SDI bentukan Tirto yang ada di Bogor dengan SDI yang akan dibentuk di Surakarta untuk menggantikan nama Rekso Roemekso.[6] Semenjak saat itu nama Rekso Roemekso berganti menjadi lebih modern dengan nama Sarekat Dagang Islam.
            Pada perkembangannya Sarekat Dagang Islam yang sudah resmi terbentuk pada tahun 1911 anggotanya di dominasi oleh orang-orang Laweyan saja tetapi kemudian terus bertambah dan menyebar keluar Laweyan.[7] Di tahap-tahap awal berdirinya organisasi ini Samanhoedi sebagai pendiri lebih mengutamakan membentuk struktur organisasi dan kepengurusan. Setelah kepengurusan terbentuk dan sudah berbadan hukum, SDI banyak melakukan kegiatan boikot di wilayah Laweyan dan sekitarya. Aksi boikot dilakukan kepada firma-firma Tionghoa yang berusaha menekan harga kain batik yang mereka beli dari para pembuat batik di Laweyan. Para anggota SDI menganggap firma-firma Tionghoa melakukan praktek-praktek dagang yang tidak jujur dan bertingkah sombong. Hal ini terlihat seperti pemilik rumah gadai milik kelompok Tionghoa yang memberi uang palsu dan berlaku kasar kepada pelanggannya. Memang setelah SDI sudah berbadan hukum konflik antara kelompok Tionghoa belum dapat mereda bahkan semakin melebar dengan terbentuknya perkelahian-perkelahian kecil disekitar Mangkunegaran yang dilakukan oleh para anggota SDI dan orang-orang Tionghoa. 
            Sikap anti-Tionghoa ini juga dapat dirasakan ketika SDI memberlakukan peraturan kepada setiap anggotanya untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam, bertindak benar, taat kepada hukum negara dan pemerintah serta menjauhkan segala bentuk penyimpangan yang dilarang oleh agama Islam. Sehingga saat itu SDI menjadi organisasi golongan Islam yang sangat fanatik dengan kelompok yang berada diluar Islam, salah satunya adalah kelompok-kelompok Tionghoa. Selain itu kebiasaan yang terbentuk semenjak masih bernama Rekso Roemekso untuk menjalankan ronda secara rutin tidak begitu ditinggalkan saja dari kegiatan SDI. Para anggotanya masih belum percaya dengan kondisi keamanan wilayah Laweyan yang masih dipenuhi oleh kelompok orang Tionghoa.
            Aksi-aksi boikot dan pemogokan menentang keberadaan kaum Tionghoa yang semula hanya terjadi di Laweyan kini semakin merambah ke beberapa wilayah di sekitar Surakarta. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya keanggotaan SDI yang mencapai 35000 pada awal Agustus.[8]Selain SDI melakukan penyerangan kepada kaum Tionghoa yang ada di sekitar Laweyan, kelompok ini juga melakukan penyerangan kepada residen Surakarta dengan menghimpun pemogokan di perkebunan-perkebunan sekitar Surakarta dengan tuntutan penolakan kerja paksa kepada para petani. Hal ini memunculkan keresahan kepada pemerintah residen Surakarta. Pada tanggal 10 Agustus 1912, residen memerintahkan semua kegiatan SDI dihentikan dan melarang SI melakukan pertemuan serta menerima anggota baru. Polisi, di bawah perintah residen Surakarta, menggerebek kantor SDI dan rumah para anggota hoofdbestuur.[9]Setelah itu kegiatan pergerakan SDI di Laweyan benar-benar dihentikan hingga kemudian dihidupkan kembali oleh Tjokroaminoto dan pusat pemerintahannya dipindahkan ke Surabaya.
            Pengerebekan yang dilakukan oleh polisi kepada sejumlah tokoh SDI yang berada di Laweyan dan sekitar Surakarta membuat kepanikan pada pimpinan SDI. Kemudian mereka mengundang Tjokroaminoto dan R. Tjokrosoedarmo salah satu anggota SDI Surabaya untuk datang ke Laweyan. Tjokroaminoto kemudian diberikan mandat oleh Samanhoedi untuk membuat kembali anggaran dasar SDI yang baru dengan memperbanyak kembali afdeling SDI diluar Laweyan. Walaupun pada saat itu pusat SDI sudah diserahkan wewenangnya kepada Tjokroaminoto sekaligus mempebanyak kegiatan-kegiatan SDI diluar Keresidenan Surakarta. Langkah ini sebagai sebuah strategi untuk tetap menghidupkan SDI meski selalu mendapatkan ancaman dan pengawasan dari pihak residen maupun pemerintah kolonial Belanda.
            Semenjak saat itu pusat kegiatan SDI mulai menyebar kebeberapa wilayah di Hindia. Walaupun sudah banyak terbentuk afdeling SDI dibeberapa kota diluar Laweyan, namun peran tokoh-tokoh pendiri SDI di Laweyan tetap terlihat. Seperti pembentukan afdeling SDI di Bandung bentukan dari perkumpulan Darmo Loemekso yang dibentuk Haji Amir, saudara kandung Samanhoedi. Sehingga pengaruh SDI dari Laweyan dengan cepat menyebar keluar kota Surakarta. Semenjak terjadi perubahan yang dipelopori kembali oleh Tjokroaminoto pada tahun 1912 berlahan nama SDI mulai ditinggalkan dan berganti menjadi SI (Sarekat Islam). Hal ini dikarenakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pimpinan dan anggotanya bukan hanya mencakupi masalah perdagangan saja melainkan sudah merambah kepada pergerakan Islam.

Perkembangan Pergerakan di Laweyan (1917-1920)
            Meskipun pusat pergerakan Sarekat Islam sudah tidak berada di Laweyan, namun pengaruh para pedagang batik Laweyan yang tetap ikut aktif dalam Sarekat Islam tetap besar. Pengaruh besarnya SI Surakarta yang di dominasi oleh para pedagang batik Laweyan baru dapat dirasakan pada tahun 1917. Saat itu terjadi pergantian kepengurusan pada SI Semarang yang menyebabkan pengaruh radikalisme terjadi di beberapa kota di Hindia Belanda. Kota Surakarta terutama Laweyan juga mengalami dampak dari pengaruh radikalisme Sarekat Islam Semarang ini. Perkembangan radikalisme ini kemudian membuka kembali kegiatan SI Surakarta yang sempat terhenti karena pelarangan pemerintah kolonial Belanda. Samanhoedi kembali mendominasi untuk membangun SI Surakarta. Para pedagang batik kembali aktif menjadi anggota SI Surakarta. Seiring semakin bertambahnya anggota SI Surakarta pusat kegiatan afdeling kemudian dikembalikan ke Laweyan. Pada perkembangan pergerakan tersebut para tokoh-tokoh SI yang berada di Laweyan mendapatkan pengaruh dari organisasi pergerakan Insulinde yang saat itu juga dalam proses perintisan kembali pada cabang Surakarta. Samanhoedi dapat merasakan hal tersebut. Saat itu Insulinde sedang mendorong kekuatan pergerakan revolusioner di Laweyan.
            Pendorong Insulinde wilayah Surakarta dapat bergerak secara revolusioner tidak lain dan tidak bukan karena pengaruh dari SI Semarang. Haji Misbach dan Tjipto Mangoenkoesoemo (1918-1920) yang memimpin Insulinde berusaha mendekati SI Surakarta dan mendominasi setiap kegiatan yang ada di dalamnya. Hal ini dapat terlihat saat CSI dibawah pimpinan Tjokroaminoto di Surabaya berusaha mengaktifkan kembali SI Surakarta pada tahun 1919. Saat itu dibentuk vergaderingumum yang diadakan pada 6 April 1919 di Sri Wedari. CSI mengharapkan Samanhoedi dapat menjadi ketua kehormatan bagi SI Surakarta agar afdeling ini dapat bergabung kembali ke dalam CSI. Namun pada saat bersamaan terjadi pemogokan petani di wilayah Kesunanan. Insulinde dan PKBT dibawah pimpinan Misbach diduga memiliki peranan besar dalam menciptakan pemogokan ini. Misbach memang sengaja menciptakan kondisi demikian agar Samanhoedi tidak mengambilalih kembali kekuasaan di SI Surakarta. Karena khawatir akan terjadi pengambilalihan kepemimpinan SI Surakarta oleh Misbach dan Marco, Samanhoedi beserta para pedagang batik Laweyan ramai-ramai ke Sri Wedari. Mereka berusaha mendominasi vergadering. Pada akhirnya Samanhoedi menjadi ketua kehormatan SI Surakarta.[10]
            Setelah dinyatakan Samanhoedi memimpin kembali SI Surakarta kelompok yang pro dengan Tjokroaminoto dan para pengusaha batik Laweyan kembali mendominasi SI Surakarta. Seperti, Poerwodihardjo sekertaris TKNM (Tentara Kanjeng Nabi Muhammad) dan M.H. Abdoelsalam yang merupakan pengusaha batik Laweyan yang menjadi tokoh-tokoh kepercayaan dari Samanhoedi untuk membangkitkan kembali SI Surakarta. Tahun-tahun tersebut menjadi masa dimana terjadi perebutan kekuasaan pada SI Surakarta. Antara dominasi gerakan radikal yang dipengaruhi SI Semarang dengan pengaruh yang diberikan oleh para pengusaha batik Laweyan yang pro dengan kepemimpinan Tjokroaminoto. Sehingga keinginan untuk menjadikan SI Surakarta menjadi SI radikal telah lenyap. Kepemimpinan kelompok Laweyan cukup mendominasi sehingga membendung segala pengaruh baik yang diberikan oleh Insulinde Surakarta maupun SI Semarang yang sudah lebih dulu radikal. Eksistensi SI Surakarta dibawah pergerakan kelompok Laweyan akhirnya tidak berlangsung lama. SI Surakarta terbengkalai dan kegiatannya di Laweyan lenyap seiring pengaruh radikalisme yang tidak pernah tumbuh pada afdeling ini.
Tempat Persinggahan Para Pendiri Bangsa
            Pada tahun 1920 kondisi pergerakan di Laweyan berlahan menghilang seiring berkembangnya kekuatan dan pengaruh dari PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berdiri di Semarang membuat pusat pergerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial beralih pada kota ini. Pengaruh Samanhoedi sebagai salah satu pemimpin Sarekat Islam juga tidak seperti dahulu saat mempelopori berdirinya organisasi ini. Pencitraannya sebagai seorang pemimpin mulai tergantikan oleh Tjokroaminoto yang berlahan membentuk CSI menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Namun peranan Laweyan sebagai pusat industri batik yang ikut melahirkan serta mendidik tokoh-tokoh pendiri bangsa juga sangat besar. Hal ini dapat terlihat dengan keluar masuknya para tokoh-tokoh organisasi pergerakan nasional Indonesia seperti Tirtoadisoerjo, Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkoesoemo, Misbach, Marco dan Semaoen di wilayah Laweyan. Baik kepentingan mereka hanya sebatas untuk menjalin silaturahmi dengan para tokoh-tokoh SI Surakarta maupun membicarakan yang bersifat mendesak, seperti pembahasan AD/ART , rapat-rapat, dan pemberian pengaruh radikal telah menjadi bagian dari sejarah pergerakan di Laweyan.
            Tanpa sengaja tokoh-tokoh tersebut bertumbuh menjadi pemikir-pemikir bangsa karena pengaruh dari lingkungan Laweyan dan sekitarnya. Walaupun pada saat ini Laweyan hanya dianggap sebagai sentra batik terkenal di kota Surakarta tapi peranan-peranan Laweyan dalam menghimpun kekuatan pergerakan nasional sangatlah besar. Laweyan juga tidak akan terpisahkan dari sejarah berdirinya Sarekat Islam dan menjadi saksi bisu perlawanan umat Islam terhadap kaum feodal yang menjajah Hindia Belanda. Sampai pada masa kemerdekaan Laweyan tetap menjadi jantung perekonomian bagi masyarakat Surakarta yang akan selalu identik dengan pergerakan, Islam dan tentunya kemerdekaan. Meskipun pusat kepemimpinan organisasi Sarekat Islam sudah tidak berada di Laweyan namun Haji Samanhoedi tetap tinggal di kampung ini. Beliau hanya berharap kejayaan Sarekat Islam saat berada di Laweyan dapat kembali terulang. Nasib organisasi ini juga mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Dari terpecah menjadi golongan putih dan merah hingga masing-masing melebur menjadi partai politik di masa pra-kemerdekaan Indonesia.
            Pada saat ini selain dibuka menjadi pusat industri batik, Laweyan juga meninggalkan beberapa bukti-bukti sejarah pada masa pergerakan nasional. Peninggalan-peninggalan tersebut seperti, museum Samanhoedi yang menempati bekas rumah Haji Samanhoedi selama berada di Laweyan, Masjid Laweyan yang menjadi tempat pusat berkumpulnya para anggota-anggota Sarekat Islam dan beberapa bangunan yang saat itu digunakan sebagai tempat memproduksi dan menjual batik dari Laweyan.[11] Semuanya masih tetap terjaga sampai saat ini dengan gaya arsitektur bangunan yang tak pernah berubah dan masih sama seperti masanya terdahulu. (Angga Riyon Nugroho - P.Sejarah 2009)












Sumber:
Buku
Gamal Komandoko.2010.Panembahan Senopati Geger Ramalan Sunan Giri.Jakarta: Diva Press.
________________.2010.Jaka Tingkir Jalan Berliku Menjemput Wahyu.Jakarta: Diva Press.
KRT.DR.(HC) Kalinggo Honggopuro.2002.Batik sebagai busana dalam tatanan dan tutunan.
            Yayasan Peduli Keraton Surakarta Hadiningrat.Surakarta 
Mlayadipura.1950.Desa Laweyan
Sartono, Kartodirdjo.1975.Sarekat Islam Lokal.penerbitan Sumber-Sumber Sejarah no.7.
Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Shiraisi, Takashi.1990.Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.Jakarta:
            Grafiti Pers.

Majalah dan Jurnal
Engelenberg.1913.“Voorlopig Opmerking over de Sarekat Islam Beweging”.No.B13
Majalah Tempo. “Bermula dariPerkumpulan Ronda”.Edisi 15-21 Agustus 2011




Sejarahituperlu…
Meskipun terkadang memakan banyak korban...
Karena sejarah adalah petunjuk...


[1]Danang Sutawijaya merupakan anak angkat dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari Kerajaan Pajang yang telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang dan kelak akan mendirikan Kerajaan Islam baru di barat Surakarta yang dinamakan Kerajaan Mataram Islam. Lihat, Gamal Komandoko, Panembahan Senopati Geger Ramalan Sunan Giri, 2010, Diva Press, hlm.16.
[2]Wilayah Surakarta sendiri saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Pajang setelah Kerajaan Demak runtuh. Antara Pajang dan Surakarta memiliki kedekatan yang sangat erat termasuk wilayah Laweyan yang menjadi tempat lahirnya anak angkat dari Sultan Hadiwijaya. Kedekatan Sultan Pajang dengan Laweyan dapat terlihat juga ketika Sultan Hadiwijaya memberikan sebidang tanah perdikan di Laweyan dan mengangkat Ki Ageng Henis sebagai priyayi Pajang di wilayah tersebut. Lihat, Gamal Komandoko, Jaka Tingkir Jalan Berliku Menjemput Wahyu,2010, Diva Press, hlm.230.
[3]Perihal pemakaian batik bagi golongan bangsawan, Sudharmono, sejarawan Surakarta mengatakan bahwa batik motif Kawung hanya boleh dikenakan raja dan keluarganya. Kaum bangsawan, selain raja dan keluarganya kemudian ikut melarang-larang rakyat biasa untuk memakai batik Kawung. Mereka melakukan itu agar simbol kebangsawanan tetap terjaga, dalam Tempo, Edisi Khusus Tjokroaminoto 15-21 Agustus, 2011, hlm.33.
[4]Pengamat-pengamat Eropa menetapkan SI atau SDI didirikan pada awal 1912. Rinkes menyebut bahwa tanggal didirikannya tidak lama sesudah Februari 1912, lihatVan der Wal, De Opkomst van de Nationalistische Beweging, hlm.86-87. Residen Surakarta dalam laporan pertamanya tentang Sarekat Islam pada 11 Agustus 1912, menulis bahwa gerakan ini didirikan beberapa bulan sebelum itu. Penulis-penulis yang meneliti tentang Sarekat Islam menyebut tahun 1911.
[5]Merupakan media pers yang dibentuk oleh Tirtoadisoerjo dengan pelanggan sebanyak 2000 orang pada awal 1911. Meskipun menggunakan nama Medan Prijaji, surat kabar ini tidak lagi menjadi forum bagi priyayi seperti Pewarta Prijaji dari Koesoemo Oetojo. Kesempatan Tirtoadisoerjo untuk membuat anggaran dasar Sarekat Dagang Islam dimanfaatkannya untuk menaikan pengaruh Medan Prijaji sekaligus membiayai segala proses penerbitan media pers ini. Lihat, Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Grafiti Pers,1997,hlm.44
[6]Rekso Roemekso sebuah perkumpulan yang menjadi cikal bakal berdirinya Sarekat Islam di Laweyan. Terbentuk karena inisiatif Samanhoedi untuk memerangi pengaruh pedagang Cina yang memonopoli perdagangan batik di wilayah Laweyan dan Surakarta tahun 1911.
[7]Engelenberg, “Voorlopig Opmerking over de Sarekat Islam Beweging”,  13 Agustus 1913, No.B13
[8]Sartono, Sarekat Islam Lokal, hlm.333.
[9]Takashi Shiraisi, op.cit, hlm.64
[10]Ibid, hlm.193
[11]Keunikan Laweyan selain digunakan sebagai sentra industri batik dari zaman dahulu hingga sampai saat ini, yaitu dengan keberadaan masyarakat Laweyan yang saat dahulu mempertahankan model rumah. Masyarakat Laweyan saat itu tinggal pada rumah yang satu sama lain saling terhubung dengan rumah tetangganya dengan menggunakan pintu yang disebut pintu butulan. Dengan keberadaan pintu ini masyarakat Laweyan semakin dipermudah untuk berkomunikasi dan menjaga keamanan antara satu warga dengan warga yang lainnya. Dengan bentuk rumah yang saling berhubungan berdampak pada rasa persaudaraan dan persatuan antara penduduk Laweyan.