Tim Pawai Kebudayaan Pendidikan Sejarah

Atas : Loppias, Yudi, Roy, Adit, Suryo, Brurry | Bawah : Ade, Nova, Dimas, Ignatius, Cahyo, Yoshi

widget

18 Nov 2013

“Membisunya Pemerintahan Mahasiswa Universitas Sanata Dharma”




Terbentuknya pemerintahan mahasiswa dalam bentuk BEM/DPM pada saat ini membuka ruang politis yang begitu besar bagi mahasiswa untuk menentukan arah sikap politis terhadap kebijakan kampus maupun nasional. Namun apa jadinya ketika kita melihat pemerintahan mahasiswa (Student Government) yang saat ini selalu dieluk- elukan sebagai organisasi politis kampus justru hanya menjadi organisasi yang berjalan tunduk serta mengekor pada petuah kampus. Realita ini yang kemudian harus bersama- sama kita sadari bahwa lembaga sekelas BEM/DPM ataupun Senat pada saat ini hanya menjadi boneka dari pihak kampus/rektorat untuk menjalankan berbagai kepentingan- kepentingan yang tidak seluruhnya berpihak kepada mahasiswa. Apakah kemudian mahasiswa harus diam? Atau seolah- olah menjadi opportunis untuk mengambil kesempatan demi kepentingan pribadi mereka masing- masing. Entahlah namun kini peranan politis dari pemerintahan mahasiswa hanya sebatas pada perannya sebagai EO (Pembuat Acara) dibandingkan harus berjalan pada relnya sebagai alat advokasi politis bagi teman- teman mahasiswa di lingkungan kampus dan mengkritisi permasalahan- permasalahan nasional.

Kemandekan Intelektual Oleh Sistem Kampus
            Mahasiswa sebagai pemikir, atau mahasiswa sebagai penggerak seharusnya dapat menjadi tonggak perjuangan bagi masyarakat Indonesia. Namun hal ini kemudian akan menjadi hambar melihat sikap- sikap mahasiswa pada masa kini yang melupakan idealisme perjuangan dari para- para pendahulunya. Kita kemudian dapat melihat sebuah realita yang terjadi di lingkungan kampus Universitas Sanata Dharma. Bentuk perjuangan pemerintahan mahasiswa di kampus ini sudah mengalami kemandulan intelektual. Dimana semua akses yang harusnya dapat di mobilisasi oleh pemerintahan mahasiswa seperti BEM/DPM kini sudah mulai tertutup oleh sistem kampus. Proses demokratisasi kampus tidak di jalankan dan kemudian mahasiswa menjadi apatis bahkan oppurtunis. Jarang sekali terjadi dialog antar mahasiswa yang aktif di dalam organisasi kemahasiswaan dengan lembaga, apalagi mahasiswa awam. Pada akhirnya kampus ini sangat tenang dan jarang sekali terjadi kritik yang kemudian dilontarkan kepada pihak Universitas Sanata Dharma.
            Mungkin sekali lagi mahasiswa sudah jenuh dengan keadaan ini, pihak kampus salah satunya Wakil Rektor 3 saja sudah tidak bisa menerima masukan ataupun kritikan yang dilontarkan mahasiswa melalui media Persma apalagi mau menampung aspirasi mahasiswa. Kini seolah- olah kebijakan di kampus Universitas Sanata Dharma hanya bersifat satu arah. Tidak ada nilai tawar dari pemerintahan mahasiswa dan mereka hanya diam, semakin membisu dan tetap membisu.
            Coba saja kita kritisi permasalahan- permasalahan yang terjadi di dalam kampus Sanata Dharma, seperti permasalahan pemilihan rektor yang baru, masalah kinerja dosen ketika mengajar ataupun absensi kehadirannya, Konstitusi Organisasi Kemahasiswaan (KOK) dan permasalahan pemberian fasilitas yang kadang tidak sesuai dengan yang dibayarkan mahasiswa kepada pihak kampus. Apa masih ada satu pun mahasiswa yang mengatasnamakan dari pemerintahan mahasiswa di Universitas Sanata Dharma yang berani mengangkat permasalahan ini? Saya yakin tidak ada yang berani, mereka lebih nyaman dengan pekerjaannya di lingkungan kampus, dengan kegiatan minat bakat yang tidak bermutu dan seolah- olah mereka menjadi kelompok- kelompok yang kurang peka terhadap permasalahan sosialnya. Memang kita tidak akan bisa mempermasalahkan perkembangan masa yang begitu cepat sehingga menyebabkan degradasi sosial di dalam diri mahasiswa Sanata Dharma. Pada saat ini pun sangat mustahil bisa mengkordinir dan menggerakan mahasiswa Sanata Dharma untuk bisa turun ke jalan melakukan demonstrasi mengkritik pemerintahan Indonesia atau minimal kebijakan kampus. Tapi yang diharapkan mahasiswa tetap mengerti arah perjuangannya sebagai penggerak dan batu tapal pergerakan masyarakat. Di dalam buku yang ditulis Edy Budiyarso tentang Aksi Mahasiswa ‘77/78 menceritakan tentang peranan DM (Dewan Mahasiswa) sebagai lembaga pemerintahan mahasiswa yang mengkritik pemerintahan di masa Soeharto. Walaupun lebih banyak dikhususkan di dalam lingkungan kampus ITB, namun hal ini sudah mewakilkan gambaran pergerakan pemerintahan mahasiswa saat itu. Dimana akibat dari pergerakan tersebut kampus ITB di jaga oleh tentara dan beberapa pemimpin pemerintahan mahasiswa di tangkap.
            Sanata Dharma pun memiliki roh yang sama di era tahun 1998 ketika krisis moneter terjadi di Indonesia, Sanata Dharma yang menjadi salah satu Universitas Swasta di Yogyakarta yang menghimpun aksi mahasiswa di sekitaran Jalan Gejayan, yang kemudian memuncak pada Peristiwa Gejayan 1998. Pada saat ini mahasiswa sudah lebih nyaman dengan keadaannya, semuanya berkat para pendahulunya yang aktif dalam gerakan mahasiswa. Namun yang di minta pada mahasiswa saat ini bukan harus turun ke jalan, berdemonstrasi dan berpanas-panasan. Sekarang sudah berbeda masanya, segala bentuk perjuangan memang harus menyesuaikan dengan waktu dan zaman. Pada saat ini yang terpenting bagaimana mahasiswa Sanata Dharma mampu mengkritisi kebijakan kampus tanpa harus berdemonstrasi,  melalui cara- cara yang disenangi oleh mahasiswa pada saat ini. Hal tersebut  berlahan akan mengembalikan roh pergerakan mahasiswa serta dapat mengkritisi pemerintah Indonesia jika lapisan bawah mahasiswa sudah mampu mengkritisi permasalahan kebijakan kampus.
            Kemudian bagaimana merangkaikan media dialogal, diskusi dan konsolidasi antar pemerintahan mahasiswa di lingkungan kampus Sanata Dharma dengan baik dan tidak membosankan mahasiswa saat ini. Baik dengan media film, pembacaan analisis sosial, maupun musik menjadi jalan yang sangat untuk mengkritisi kebijakan kampus Universitas Sanata Dharma saat ini. Menjadi solusi yang kemudian dapat dibiasakan pada pemerintahan mahasiswa di Sanata Dharma. Menjadi sebuah alasan yang tepat bagi pemerintahan mahasiswa karena suara- suara mahasiswa tidak di dengar, dan demokratisasi kampus tidak berjalan. Dengan mengadakan kegiatan yang sifatnya santai di dalamnya ada sebuah kritikan yang kemudian disampaikan kepada pihak kampus yang semena- mena.

Peranan Pemerintahan Mahasiswa di Lingkungan Kampus
            Pembahasan ini saya angkat berdasarkan pertemuan saya dengan beberapa mahasiswa Sanata Dharma baik yang terlibat aktif dalam pemerintahan mahasiswa yang kemudian memberikan pandangannya tentang kegiatan- kegiatan BEM/DPM. Salah satu mahasiswa Pendidikan Sejarah ada yang berkomentar terkait keberadaan BEM/DPM di lingkungan kampus, baginya adanya BEM atau DPM dilingkungan kampus tidak berpengaruh bagi mahasiswa, bahkan tidak memberikan efek kinerja apa pun bagi mahasiswa.
            Kemudian saya juga bertemu dengan salah satu mahasiswa Akutansi yang masuk di dalam kepengurusan DPM USD yang mengatakan bahwa antara DPM U sebagai lembaga legislatif dan BEM USD sebagai lembaga eksekutif di dalam pemerintahan satu sama lain tidak bisa bekerjasama atau bahkan saling menjatuhkan demi eksistensi masing- masing, apalagi dengan melihat pengurus- pengurus BEM USD yang ada saat ini tidak memiliki mental sama sekali untuk siap bekerja di dalam kepengurusan BEM USD. Kemudian lebih mempertegas lagi kelambanan pemerintahan mahasiswa di dalam kegiatan berpolitik ketika salah satu pengurus HMPS Pendidikan Sejarah berpendapat bahwa BEM USD sama sekali tidak memberikan tanggapan ketika dari KPU Pusat memberikan wewenang bagi BEM USD untuk mendata para mahasiswa untuk kepentingan Pemilu 2014 mendatang. Hal ini kemudian memunculkan pragmatisme dan pesimisme terhadap organisasi kemahasiswaan sekaliber BEM USD yang kurang yakin membawa perubahan bagi mahasiswa USD.
Kemudian pada akhirnya antara lembaga pemerintahan mahasiswa di Sanata Dharma terpecah dan mereka berjalan pada lingkarannya masing- masing. Dalam segi kegiatan pun peranan antara BEM USD dan DPM U juga mulai keluar dari jalur relnya sebagai lembaga eksekutif dan legislatif. Lihat saja dengan agenda kegiatan DPM U yang mengadakan DPM U Cup untuk mahasiswa, atau BEM U yang mengadakan kegiatan Dies Natalis Universitas dengan rangkaian gelar budaya. Semua kegiatannya berbau EO dan bahkan mengikuti agenda Universitas, apa bedanya mereka- mereka ini dengan bawahan dari rektorat. Karena mungkin statusnya masih mahasiswa seolah- olah mereka hanya perpanjangan tangan dari kekuasaan rektorat kepada mahasiswa bukan wakil mahasiswa yang menyuarakan aspirasi dan advokasi kepada rektorat Universitas Sanata Dharma.
            Kemudian ada satu hal yang menarik yang saya dapatkan dari pemerintahan BEM USD kali ini, di kala saya hanya melihat sederetan ruang UKM, BEM U dan DPM U di Student Center yang ruangannya saling berdekatan satu sama lain namun sangat eksklusif tanpa ada sosialisasi satu sama lain, yaitu dari BEM U/DPM U kepada UKM, bahkan sampai ada disaat Ketua UKM Mapasadha yang ingin menanyakan tentang RKA kepada BEM U Presiden BEM U yaitu Carol tidak mengenal orang yang bertanya tentang RKA tersebut, yang sebenarnya adalah ketua dari UKM Mapasadha. Sungguh miris ya, Presiden ndak kenal sama rakyatnya, bahkan bukan rakyat ini semacam anggota DPRnya di dalam pemerintahan. Lalu apa kerjanya Presiden BEM U/DPM U ketika berada di ruangan bersama anggota- anggota? Hanya ndekem di ruangan, rapat, pulang. Padahal ruangan yang mereka pakai tersebut dari uang para mahasiswa Sanata Dharma yang kemudian di investasikan untuk pemerintahan mahasiswa. Kalau memang tidak ada manfaatnya buat keberadaan pemerintahan mahasiswa kenapa tidak ditiadakan saja, karena hanya menghabis- habiskan uang tanpa mahasiswa tanpa ada progres yang dikerjakan. Bahkan untuk blusukan kepada UKM saja tidak pernah, bagaimana mau mengenal mahasiswa yang ada ditingkatan Prodi, Jurusan maupun Fakultas. Dari permasalahan terkecil ini mengenai kultur saja Presiden BEM/DPM USD saja sudah merasa eksklusif dan mengandalkan eksistensi ketika memerintah, lalu bagaimana mahasiswa dapat merasakan peranan dari pemerintahan mahasiswa? Sekali lagi pemerintahan mahasiswa bukan ajang eksistensi untuk mencari muka bagi para mahasiswa di mata kampus melainkan sebuah batu tapal pergerakan politis mahasiswa di lingkungan kampus, seharusnya mereka berbicara. Tidak membisu apalagi harus menjadi golongan- golongan yang apatis dan oppurtunis terhadap kebijakan.  

Sumber:
Budiyarso, Edy.2000.Menentang Tirani “Aksi Mahasiswa ‘77/78”.Jakarta: PT. Grasindo


Penulis : Angga Riyon Nugroho (Pendidikan Sejarah 2009)

6 Nov 2013

“Militerisme Dalam Panggung Sejarah Indonesia”
Oleh: Angga 


Militer atau ABRI mungkin tidak pernah asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, dimana profesi ini selalu berkaitan dengan keamanan dan kegagahan. Namun siapa sangka di dalam sejarah Indonesia golongan- golongan ini dianggap menjadi golongan paling kejam, bahkan lebih kejam dari pemerintah kolonial Hindia- Belanda ketika menjajah Indonesia. Sosok tokoh- tokoh ABRI atau militer selalu mendominasi dari bingkai- bingkai foto para pahlawan nasional di Indonesia. Apakah ini yang kemudian menjadikan sejarah Nasional Indonesia merupakan juga sebagai sejarah militer? Entahlah, belum ada yang dapat memecahkan anggapan ini yang kemudian semata- mata hanya bertolak dari dominasi militer di dalam sejarah dan hampir disetiap masanya militer selalu dieluk-elukan sebagai “Hero” yang memberi pengamanan bahkan memerdekakan bagi Indonesia dari penjajahan. Namun masihkah kini militer/ABRI memiliki peran untuk mengayomi dan melindungi masyarakat terkait berbagai kontroversinya di dalam sejarah yang dianggap penjagal dan pembunuh masyarakat Indonesia sendiri? Kita sudah melihat tokoh- tokoh militer seperti Jenderal Sudirman, Urip Sumoharjo, A.H. Nasution, Jenderal Soeharto mungkin sedikit dari tokoh- tokoh militer yang selalu dieluk-elukan di dalam sejarah sebagai pahlawan nasional, namun apakah murni gelar kepahlawanan pantas disandang oleh tokoh- tokoh ini terkait kontroversi yang mengikat tokoh- tokoh ini yang menggunakan militer sebagai alat kekuasaan.

Militer di Era Kemerdekaan 1945-1959
            Di era sesudah tahun 1945 militer sebelumnya yang bernama tentara rakyat lahir beberapa bulan setelah dikumandangkannya Proklamasi 1945 di Jakarta, dari yang awal bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat), berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang kemudian beralih menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) kemudian memiliki peran menjaga kestabilan negara Indonesia yang baru berdiri dari pengaruh- pengaruh kolonial yang akan segera masuk setelah masa Jepang selesai di Indonesia. Tentu saja hal ini kemudian menempatkan posisi TNI sebagai garda terdepan dari perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia.
            Tentara NICA datang yang kemudian pasukan- pasukan ini mulai menguasai wilayah- wilayah terpenting di pulau Jawa dengan memperkuat pasukan yang dinamai KNIL. Tapi kemudian hingga tahun 1949 dan berpuncak pada Serangan Umum 1 Maret yang terjadi di Yogyakarta memaksa TNI harus ekstra keras menyelematkan ibukota republik Indonesia yang saat itu berpindah ke Yogyakarta. Soeharto menjadi tokoh terdepan sebagai komandan utama yang memimpin serangan balik dari berbagai penjuru kota Yogyakarta. Keberhasilan TNI di dalam melaksanakan Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap beberapa gempuran musuh dari beberapa arah kemudian menaikkan citra militer sebagai pahlawan kemerdekaan. Beberapa tokoh terpenting yang berperan di dalam Serangan Umum 1 Maret ini kemudian mendapatkan gelar pahlawan dan tugu penghormatan bagi yang gugur di Monumen Jogja Kembali.
            Masa- masa diplomasi kemerdekaan kemudian berujung pada KMB di Den Haag Belanda yang mewakili Indonesia saat itu adalah Mohammad Hatta. Lobby- lobby politik pun dilakukan untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia di mata dunia. Hasil dari perundingan KMB ini kemudian membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat). Dalam perjalanannya RIS kemudian kembali pada NKRI di tahun 1950. Kemudian pusat pemerintahan Indonesia kembali ke Jakarta. NKRI kemudian berjalan sebagai sebuah negara kesatuan yang bernama Indonesia, namun seiring berjalannya waktu, perkembangan NKRI tidak selamanya berjalan mulus, terjadi pemberontakan- pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik dalam golongan sipil maupun golongan militer. Sebut saja pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Raymond Westerling, Pemberontakan DI/TII yang terjadi di beberapa wilayah di NKRI, RMS, dan yang paling besar melibatkan pihak militer adalah PRRI/Permesta yang terjadi di Sumatera, sebuah pemberontakan militer yang dipersenjatai oleh CIA untuk memecah negara republik yang baru saja berdiri.
            Di dalam berbagai peristiwa pemberontakan dan perlawanan masyarakat Indonesia di awal masa pemerintahan Soekarno kemudian muncul nama- nama jenderal- jenderal yang memiliki peran di dalam penumpasan dari pemberontakan yang berlangsung dari tahun 1948- 1950an. Sebut saja seperti Kolonel A.H. Nasution di sebagai KSAD yang memimpin langsung penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera. Selain itu ada sosok Kolonel Bambang Supeno yang menggantikan peran A.H. Nasution sebagai KSAD. Hal ini membuktikan bahwa semenjak NKRI terbentuk militer telah mendominasi pada pemerintahan dan A.H. Nasution dianggap menjadi tokoh inti di dalam kemiliteran Indonesia, dikarenakan Nasution berhasil meloloskan diri dari kup besar di tahun 1965, bahkan disinyalir Nasutionlah yang akan menggantikan Soekarno sebagai Presiden Indonesia. Kemudian memunculkan persepsi betapa dekatnya dunia kemiliteran terhadap panggung politik dan ini terjadi pada sejarah Indonesia.
            Di tahun 1959 pemberlakuan sistem Demokrasi Terpimpin dikumandangkan oleh Presiden Soekarno, konfrontasi ganyang Malayasia kemudian digencar-gencarkan sebagai kekuatan politik Soekarno, hingga yang kemudian berujung pada konsepsi Nasakom oleh Soekarno menjadi bagian terpenting dalam sejarah. Apalagi militer juga memiliki peranan penting dalam aksi penganyangan Malayasia dan kekuatan pengamanan Presiden Soekarno yang  sempat terancam nyawanya akibat dari aksi oknum yang tidak bertanggung jawab yang tidak suka dengan segala kebijakan Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi dan Presiden Indonesia.  

Militer di Era Tahun 1965-1977
            Pasca tahun 1959 kondisi perekonomian Indonesia mengalami defisit, nilai rupiah semakin turun dan diperparah dengan kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Militer kemudian memiliki andil untuk mengambil alih kekuasaan secara berlahan, dengan menyebarkan berbagai propaganda terkait isu Dewan Jenderal hingga terjadi pembunuhan para Jenderal yang kemudian lebih terkenal dengan Gerakan 30 September 1965 (G30S). Kondisi chaos terjadi di beberapa daerah di Jawa, demontrasi besar- besaran terjadi pada beberapa organisasi mahaiswa yang menyebutnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menuntut pembubaran PKI di dalam parlemen pemerintahan Indonesia. ABRI ataupun militer memiliki peran cukup besar di dalam mendukung aksi mahasiswa ini dalam menumbangkan rezim Soekarno. Sehingga bukan hanya melakukan pengamanan demonstrasi melainkan pihak militer juga memberikan ruang gerak bagi para mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi damainya kepada Presiden Soekarno dan beberapa menteri di kabinetnya.
            Keberpihakan militer kepada para mahasiswa akhirnya benar- benarkan melemahkan posisi Soekarno pada pemerintahan Orde Lama. Konspirasi terselubbung yang terjadi antara militer dan gerakan mahasiswa kemudian membawa Soekarno pada tuduhan sebagai otak dari pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Militer pun berkuasa untuk mengamankan wilayah Indonesia yang sudah terkena pengaruh Komunisme, setelah ditemukannya jenazah para Jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya dua hari kemudian aksi pembersihan besar- besaran terhadap komponen yang ikut terlibat dengan PKI dilakukan. Militer menunjukan eksistensinya untuk mengambil alih kekuasaan Orde Lama yang mulai koyah. Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno mengeluarkan Supersemar yang memberi perintah kepada militer untuk mengambil alih keadaan dan menjaga stabilitas keamanan. Pertanyaanya apakah surat ini benar- benar pernah dikeluarkan oleh Soekarno, atau hanya rekayasa militer yang dipimpin oleh Pangkostrad Jenderal Soeharto untuk berlahan melakukan kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno? Entahlah namun di era tahun 1965-1966 pembunuhan massal terjadi di beberapa daerah di Indonesia khususnya Jawa dan Bali. Lebih dari 20.000 jiwa masyarakat Indonesia yang dituduh PKI melayang oleh pembantaian massal yang dilakukan oleh militer.
            Bayangan yang terlintas pada masa ini, sekeji itukah militer, tentara maupun pasukan pengamanan yang seharusnya melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara, namun justru membantai orang- orang yang belum tentu terlibat dalam peristiwa G30S. Bukan hanya itu dari buku yang mengkisahkan tentang wanita- wanita Gerwani dikisahkan bahwa tentara/militer yang melakukan tindakan pemerkosaan dan penyiksaan kepada wanita- wanita yang dituduh sebagai Gerwani, serta memberikan cap jelek pada wanita ini sebagai bekas tapol PKI tahun 1965. Mengenaskan memang ketika menelisik seberapa kebusukan militer di dalam sejarah Indonesia. Merasa paling kuat kemudian menindas bahkan membantai secara keji tanpa memandang hukum yang harusnya menjadi sebuah patokan bagi militer sebagai penegak hukum di negeri ini.  
            Di tahun 1967 Orde Baru berkuasa, militer mendominasi pemerintahan Orde Baru, Soeharto kemudian dilantik menjadi Presiden Indonesia yang kedua menggantikan Soekarno. Kondisi baru pada Indonesia kemudian semakin diperparah dengan adanya Dwi Fungsi ABRI di dalam pemerintahan. Beberapa menteri- menteri di masa pemerintahan Soeharto merupakan orang- orang yang membanting setir dari militer kemudian mulai berkecimpung ke dalam ranah politik. Meskipun sebagian ada menteri- menteri yang merupakan wakil dari organisasi gerakan mahasiswa yang berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama, dan mereka ini merupakan golongan- golongan Oppurtunis yang menjilat ludah sendiri yang kemudian  mulai kehilangan idealismenya demi sebuah kekuasaan.
            Di Era tahun 1970an, gerakan militer mulai masuk kampus sebagai program pengamanan kampus dari aktifitas politik mahasiswa baik di dalam senat maupun dewan mahasiswa. Kemudian muncul peristiwa Malari di tahun 1974 yang menjadi puncak dari kekesalan mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi daripada kesejahteraan rakyat Indonesia, lagi- lagi kediktatoran militer diperlihatkan disini. Hariman Siregar Ketua DMUI yang memimpin aksi Malari ini ditangkap dan diadili karena dari peristiwa ini dianggap telah menganggu keamanan serta stabilitas pemerintahan. Ujung dari peristiwa Malari 1974 ini kemudian beralih ke beberapa kampus- kampus yang ada di Jakarta maupun Bandung dengan melakukan pemeriksaan terhadap masing- masing kampus yang masih membandel melakukan kegiatan politik untuk melawan pemerintah Orde Baru. Seolah- olah kini militer menjadi musuh mahasiswa, hingga seolah- olah mahasiswa hanya dijadikan alat oleh militer untuk menjatuhkan orde baru dan kini terbuang, bahkan aksesnya untuk menyampaikan aspirasi secara demokratis di dalam kelembagaan mahasiswa dicap sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah.
 Kemudian dikeluarkanlah kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Keamanan Kampus)  oleh menteri Pendidikan saat itu Daoed Jusuf pada tahun 1978 yang kemudian di dalamnya berisi tentang kewajiban mahasiswa dalam memenuhi  targetan berada di kelas sebanyak 75%, mengganti seluruh kegiatan kemahasiswaan yang bersifat politis dengan kegiatan yang bersifat minat bakat ataupun Dies Natalis Universitas, diberlakukan jam malam dan pengamanan oleh Resimen Mahasiswa hampir terjadi di setiap kampus besar, seperti UI, ITB dan UGM. Kemudian mahasiswa yang berada dalam garis pergerakan tetap membangun pergerakan untuk melawan pemerintah militer Orde Baru dengan mengadakan seminar- seminar yang selalu diisi oleh beberapa tokoh yang memang kontra terhadap pemerintahan Orde Baru. Seperti yang disebutkan di dalam buku Edy Budiyarso “Menentang Tirani” yang menyebutkan A.H. Nasution sebagai tokoh milter di era tahun 1965 selalu diundang oleh para mahasiswa dalam kegiatan- kegiatan diskusi terselubung untuk mengungkap kebusukan- kebusukan yang terjadi pada pemerintahan Soeharto.  

Militer dalam Tragedi Semanggi 1998
            “Militer tak ada bedanya dengan fasis, tak ada bedanya dengan Nazi di Jerman”, “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Tidak Berguna, Bubarkan Saja” demikian yang dinyanyikan dan diorasikan oleh para mahasiswa  saat berdemonstrasi  menentang pemerintahan Orde Baru. Memang selayaknya militer atau ABRI  dapat disepadankan seperti nazi, mereka selayaknya digambarkan seperti geng- geng bajingan yang bisa berbuat apa saja disana- sini. Miris memang dari ke tahun citra militer semakin buruk, bahkan saat  marak- maraknya terjadi peristiwa penjarahan di Jakarta militer menjadi bagian dari pemerintahan Indonesia yang dimusuhi oleh sebagian mahasiswa dan masyarakat saat itu. Memang tak ubahnya militer hanya dijadikan mesin pembunuh oleh pemerintah, yang seakan- akan membantai aksi demonstrasi damai mahasiswa yang dianggap sudah melebihi batas kewajaran. Berbekal tameng, senjata lengkap dengan senapan dan amunisinya, menggunakan topi rimba ataupun helm sebagai pengaman pada akhirnya bersiap menghadang mahasiswa diseputaran jalan semanggi ataupun di depan gedung MPR/DPR.
            Sehingga ada satu teori yang kemudian muncul bahwa musuh mahasiswa di gerakan 1998 bukan sajalah pemerintahan Orde Baru, melainkan juga ABRI/militer, sehingga mahasiswa harus siap menghadapinya dengan cara apapun meski harus mempertaruhkan jiwa raganya sekalipun harus bertempur habis- habisan dengan bangsanya sendiri.
            Malam sebelum terjadinya tragedi semanggi 1998 terjadi penembakan besar- besaran terhadap para mahasiswa Trisakti dan Atmajaya Jakarta. Beberapa mahasiswa yang ikut turun berdemonstrasi jadi sasaran bulan- bulanan dari militer saat itu, sama halnya dengan Soeharto kala mengambil tindakan militer menumpas gerakan September 1965, dalam era ini muncul sosok Wiranto dan Prabowo sebagai bagian dari militer yang siap memusnahkan mahasiswa Trisakti dan Atmajaya yang melakukan demonstrasi. Dengan gagahnya menggunakan kendaraan pansernya Wiranto seolah- olah menjadi pahlawan yang dieluk-elukan masyarakat. Padahal situasi yang sebenarnya Wiranto menjadi penjagal bagi para mahasiswa- mahasiswa yang berdemonstrasi demi kepentingan masyarakat dan masa depan bangsa Indonesia. Namun propaganda yang diciptakan oleh militer berbeda, menyudutkan pihak mahasiswa sebagai biang keladi dari pecahnya tragedi Semanggi 1998. Banyak kesaksian- kesaksian dari organisasi- organisasi yang tergabung dalam Forkot (Forum Kota) yang mengungkapkan demikian, tentang keganasan dari aksi militer terhadap para mahasiswa. Sehingga Wiranto patut dipersalahkan dalam pecahnya peristiwa Semanggi 1998 serta bertanggung jawab atas penembakan yang terjadi pada mahasiswa saat itu.
            Kondisi Jakarta saat itu benar- benar mencekam, memuncak dengan penangkapan beberapa mahasiswa- mahasiswa yang mencoba melarikan diri ke area kampus mereka masing- masing, dan suara tembakan masih saja terus berdentuman hingga ke beberapa titik di wilayah Jakarta. Kematian 4 mahasiswa Trisakti yang tertembak menjadi puncak dari Tragedi Trisakti,  kemudian menjadi awal dari kegeraman mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang semakin tidak berperikemanusiaan, serta menyalagunakan wewenang militer demi kepentingan kekuasaan. Dalam aksi- aksi demonstrasi yang berikutnya hingga sampai pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai titik tolak reformasi di Indonesia, perlawanan mahasiswa berubah menjadi kerusuhan massal, dengan menembus barikade penjagaan ABRI dan Polisi yang berlangsung hingga masa pemerintahan BJ. Habibie yang hanya berselang beberapa bulan saja setelah Soeharto turun dalam tahta kediktaktorannya.  
            Kita memang tidak langsung akan melihat bahwa ABRI, TNI ataupun Militer menjadi bagian yang patut dipersalahkan dan dipojokkan dalam rekonstruksi sejarah Indonesia. Melainkan bagaimana sebagai bangsa Indonesia kita menyadari bahwa sejarah Indonesia diciptakan untuk kepentingan, sejarah Indonesia diciptakan untuk kekuasaan, dan militerisme akan terus mewarnai perjalanan panggung sejarah Indonesia dari masa ke masa. Tinggal bagaimana cara mengambil semangat yang terbangun dari militerisme, tidak selamanya militer akan berkonotasi pada hal yang sifatnya menyeramkan ataupun penjagalan. Tapi jadikanlah kesalahan yang terjadi pada militer  sebagai sebuah pelajaran agar bagaimana kedepannya peristiwa yang serupa tidak terulang kembali. Pembatasan dominasi militer di dalam pemerintahan Indonesia menjadi jalan keluar agar bidang militer tetap pada jalannya, tidak lagi dipolitisir oleh beberapa pihak, walaupun pada saat ini  Indonesia masih memiliki Presiden yang berlatar belakang militer yaitu SBY  namun besar  harapan suatu saat nanti  militer tetap pada bidangnya fokus dalam bidang pertahanan, keamanan dan penegakan hukum. Sehingga tidak selamanya melibatkan militer untuk terjun dalam dunia politik praksis yang membawa militer pada tirani yang menindas dan banyak disokongi oleh berbagai kepentingan kekuasaan. 

Penulis : Angga Riyon Nugroho "Pendidikan Sejarah 2009"

Sumber:
Budiyarso, Edy.2000.Menentang Tirani “Aksi Mahasiswa ‘77/78”.Jakarta: PT. Grasindo

Kardiyat, A. Wiharyanto. 2011.Sejarah Indonesia “Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009”.Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma

Militerisme Dalam Panggung Sejarah Indonesia


Militer atau ABRI mungkin tidak pernah asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, dimana profesi ini selalu berkaitan dengan keamanan dan kegagahan. Namun siapa sangka di dalam sejarah Indonesia golongan- golongan ini dianggap menjadi golongan paling kejam, bahkan lebih kejam dari pemerintah kolonial Hindia- Belanda ketika menjajah Indonesia. Sosok tokoh- tokoh ABRI atau militer selalu mendominasi dari bingkai- bingkai foto para pahlawan nasional di Indonesia. Apakah ini yang kemudian menjadikan sejarah Nasional Indonesia merupakan juga sebagai sejarah militer? Entahlah, belum ada yang dapat memecahkan anggapan ini yang kemudian semata- mata hanya bertolak dari dominasi militer di dalam sejarah dan hampir disetiap masanya militer selalu dieluk-elukan sebagai “Hero” yang memberi pengamanan bahkan memerdekakan bagi Indonesia dari penjajahan. Namun masihkah kini militer/ABRI memiliki peran untuk mengayomi dan melindungi masyarakat terkait berbagai kontroversinya di dalam sejarah yang dianggap penjagal dan pembunuh masyarakat Indonesia sendiri? Kita sudah melihat tokoh- tokoh militer seperti Jenderal Sudirman, Urip Sumoharjo, A.H. Nasution, Jenderal Soeharto mungkin sedikit dari tokoh- tokoh militer yang selalu dieluk-elukan di dalam sejarah sebagai pahlawan nasional, namun apakah murni gelar kepahlawanan pantas disandang oleh tokoh- tokoh ini terkait kontroversi yang mengikat tokoh- tokoh ini yang menggunakan militer sebagai alat kekuasaan.

Militer di Era Kemerdekaan 1945-1959
            Di era sesudah tahun 1945 militer sebelumnya yang bernama tentara rakyat lahir beberapa bulan setelah dikumandangkannya Proklamasi 1945 di Jakarta, dari yang awal bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat), berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang kemudian beralih menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) kemudian memiliki peran menjaga kestabilan negara Indonesia yang baru berdiri dari pengaruh- pengaruh kolonial yang akan segera masuk setelah masa Jepang selesai di Indonesia. Tentu saja hal ini kemudian menempatkan posisi TNI sebagai garda terdepan dari perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia.
            Tentara NICA datang yang kemudian pasukan- pasukan ini mulai menguasai wilayah- wilayah terpenting di pulau Jawa dengan memperkuat pasukan yang dinamai KNIL. Tapi kemudian hingga tahun 1949 dan berpuncak pada Serangan Umum 1 Maret yang terjadi di Yogyakarta memaksa TNI harus ekstra keras menyelematkan ibukota republik Indonesia yang saat itu berpindah ke Yogyakarta. Soeharto menjadi tokoh terdepan sebagai komandan utama yang memimpin serangan balik dari berbagai penjuru kota Yogyakarta. Keberhasilan TNI di dalam melaksanakan Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap beberapa gempuran musuh dari beberapa arah kemudian menaikkan citra militer sebagai pahlawan kemerdekaan. Beberapa tokoh terpenting yang berperan di dalam Serangan Umum 1 Maret ini kemudian mendapatkan gelar pahlawan dan tugu penghormatan bagi yang gugur di Monumen Jogja Kembali.
            Masa- masa diplomasi kemerdekaan kemudian berujung pada KMB di Den Haag Belanda yang mewakili Indonesia saat itu adalah Mohammad Hatta. Lobby- lobby politik pun dilakukan untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia di mata dunia. Hasil dari perundingan KMB ini kemudian membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat). Dalam perjalanannya RIS kemudian kembali pada NKRI di tahun 1950. Kemudian pusat pemerintahan Indonesia kembali ke Jakarta. NKRI kemudian berjalan sebagai sebuah negara kesatuan yang bernama Indonesia, namun seiring berjalannya waktu, perkembangan NKRI tidak selamanya berjalan mulus, terjadi pemberontakan- pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik dalam golongan sipil maupun golongan militer. Sebut saja pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Raymond Westerling, Pemberontakan DI/TII yang terjadi di beberapa wilayah di NKRI, RMS, dan yang paling besar melibatkan pihak militer adalah PRRI/Permesta yang terjadi di Sumatera, sebuah pemberontakan militer yang dipersenjatai oleh CIA untuk memecah negara republik yang baru saja berdiri.
            Di dalam berbagai peristiwa pemberontakan dan perlawanan masyarakat Indonesia di awal masa pemerintahan Soekarno kemudian muncul nama- nama jenderal- jenderal yang memiliki peran di dalam penumpasan dari pemberontakan yang berlangsung dari tahun 1948- 1950an. Sebut saja seperti Kolonel A.H. Nasution di sebagai KSAD yang memimpin langsung penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera. Selain itu ada sosok Kolonel Bambang Supeno yang menggantikan peran A.H. Nasution sebagai KSAD. Hal ini membuktikan bahwa semenjak NKRI terbentuk militer telah mendominasi pada pemerintahan dan A.H. Nasution dianggap menjadi tokoh inti di dalam kemiliteran Indonesia, dikarenakan Nasution berhasil meloloskan diri dari kup besar di tahun 1965, bahkan disinyalir Nasutionlah yang akan menggantikan Soekarno sebagai Presiden Indonesia. Kemudian memunculkan persepsi betapa dekatnya dunia kemiliteran terhadap panggung politik dan ini terjadi pada sejarah Indonesia.
            Di tahun 1959 pemberlakuan sistem Demokrasi Terpimpin dikumandangkan oleh Presiden Soekarno, konfrontasi ganyang Malayasia kemudian digencar-gencarkan sebagai kekuatan politik Soekarno, hingga yang kemudian berujung pada konsepsi Nasakom oleh Soekarno menjadi bagian terpenting dalam sejarah. Apalagi militer juga memiliki peranan penting dalam aksi penganyangan Malayasia dan kekuatan pengamanan Presiden Soekarno yang  sempat terancam nyawanya akibat dari aksi oknum yang tidak bertanggung jawab yang tidak suka dengan segala kebijakan Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi dan Presiden Indonesia.  

Militer di Era Tahun 1965-1977
            Pasca tahun 1959 kondisi perekonomian Indonesia mengalami defisit, nilai rupiah semakin turun dan diperparah dengan kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Militer kemudian memiliki andil untuk mengambil alih kekuasaan secara berlahan, dengan menyebarkan berbagai propaganda terkait isu Dewan Jenderal hingga terjadi pembunuhan para Jenderal yang kemudian lebih terkenal dengan Gerakan 30 September 1965 (G30S). Kondisi chaos terjadi di beberapa daerah di Jawa, demontrasi besar- besaran terjadi pada beberapa organisasi mahaiswa yang menyebutnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menuntut pembubaran PKI di dalam parlemen pemerintahan Indonesia. ABRI ataupun militer memiliki peran cukup besar di dalam mendukung aksi mahasiswa ini dalam menumbangkan rezim Soekarno. Sehingga bukan hanya melakukan pengamanan demonstrasi melainkan pihak militer juga memberikan ruang gerak bagi para mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi damainya kepada Presiden Soekarno dan beberapa menteri di kabinetnya.
            Keberpihakan militer kepada para mahasiswa akhirnya benar- benarkan melemahkan posisi Soekarno pada pemerintahan Orde Lama. Konspirasi terselubbung yang terjadi antara militer dan gerakan mahasiswa kemudian membawa Soekarno pada tuduhan sebagai otak dari pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Militer pun berkuasa untuk mengamankan wilayah Indonesia yang sudah terkena pengaruh Komunisme, setelah ditemukannya jenazah para Jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya dua hari kemudian aksi pembersihan besar- besaran terhadap komponen yang ikut terlibat dengan PKI dilakukan. Militer menunjukan eksistensinya untuk mengambil alih kekuasaan Orde Lama yang mulai koyah. Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno mengeluarkan Supersemar yang memberi perintah kepada militer untuk mengambil alih keadaan dan menjaga stabilitas keamanan. Pertanyaanya apakah surat ini benar- benar pernah dikeluarkan oleh Soekarno, atau hanya rekayasa militer yang dipimpin oleh Pangkostrad Jenderal Soeharto untuk berlahan melakukan kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno? Entahlah namun di era tahun 1965-1966 pembunuhan massal terjadi di beberapa daerah di Indonesia khususnya Jawa dan Bali. Lebih dari 20.000 jiwa masyarakat Indonesia yang dituduh PKI melayang oleh pembantaian massal yang dilakukan oleh militer.
            Bayangan yang terlintas pada masa ini, sekeji itukah militer, tentara maupun pasukan pengamanan yang seharusnya melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara, namun justru membantai orang- orang yang belum tentu terlibat dalam peristiwa G30S. Bukan hanya itu dari buku yang mengkisahkan tentang wanita- wanita Gerwani dikisahkan bahwa tentara/militer yang melakukan tindakan pemerkosaan dan penyiksaan kepada wanita- wanita yang dituduh sebagai Gerwani, serta memberikan cap jelek pada wanita ini sebagai bekas tapol PKI tahun 1965. Mengenaskan memang ketika menelisik seberapa kebusukan militer di dalam sejarah Indonesia. Merasa paling kuat kemudian menindas bahkan membantai secara keji tanpa memandang hukum yang harusnya menjadi sebuah patokan bagi militer sebagai penegak hukum di negeri ini.  
            Di tahun 1967 Orde Baru berkuasa, militer mendominasi pemerintahan Orde Baru, Soeharto kemudian dilantik menjadi Presiden Indonesia yang kedua menggantikan Soekarno. Kondisi baru pada Indonesia kemudian semakin diperparah dengan adanya Dwi Fungsi ABRI di dalam pemerintahan. Beberapa menteri- menteri di masa pemerintahan Soeharto merupakan orang- orang yang membanting setir dari militer kemudian mulai berkecimpung ke dalam ranah politik. Meskipun sebagian ada menteri- menteri yang merupakan wakil dari organisasi gerakan mahasiswa yang berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama, dan mereka ini merupakan golongan- golongan Oppurtunis yang menjilat ludah sendiri yang kemudian  mulai kehilangan idealismenya demi sebuah kekuasaan.
            Di Era tahun 1970an, gerakan militer mulai masuk kampus sebagai program pengamanan kampus dari aktifitas politik mahasiswa baik di dalam senat maupun dewan mahasiswa. Kemudian muncul peristiwa Malari di tahun 1974 yang menjadi puncak dari kekesalan mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi daripada kesejahteraan rakyat Indonesia, lagi- lagi kediktatoran militer diperlihatkan disini. Hariman Siregar Ketua DMUI yang memimpin aksi Malari ini ditangkap dan diadili karena dari peristiwa ini dianggap telah menganggu keamanan serta stabilitas pemerintahan. Ujung dari peristiwa Malari 1974 ini kemudian beralih ke beberapa kampus- kampus yang ada di Jakarta maupun Bandung dengan melakukan pemeriksaan terhadap masing- masing kampus yang masih membandel melakukan kegiatan politik untuk melawan pemerintah Orde Baru. Seolah- olah kini militer menjadi musuh mahasiswa, hingga seolah- olah mahasiswa hanya dijadikan alat oleh militer untuk menjatuhkan orde baru dan kini terbuang, bahkan aksesnya untuk menyampaikan aspirasi secara demokratis di dalam kelembagaan mahasiswa dicap sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah.
 Kemudian dikeluarkanlah kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Keamanan Kampus)  oleh menteri Pendidikan saat itu Daoed Jusuf pada tahun 1978 yang kemudian di dalamnya berisi tentang kewajiban mahasiswa dalam memenuhi  targetan berada di kelas sebanyak 75%, mengganti seluruh kegiatan kemahasiswaan yang bersifat politis dengan kegiatan yang bersifat minat bakat ataupun Dies Natalis Universitas, diberlakukan jam malam dan pengamanan oleh Resimen Mahasiswa hampir terjadi di setiap kampus besar, seperti UI, ITB dan UGM. Kemudian mahasiswa yang berada dalam garis pergerakan tetap membangun pergerakan untuk melawan pemerintah militer Orde Baru dengan mengadakan seminar- seminar yang selalu diisi oleh beberapa tokoh yang memang kontra terhadap pemerintahan Orde Baru. Seperti yang disebutkan di dalam buku Edy Budiyarso “Menentang Tirani” yang menyebutkan A.H. Nasution sebagai tokoh milter di era tahun 1965 selalu diundang oleh para mahasiswa dalam kegiatan- kegiatan diskusi terselubung untuk mengungkap kebusukan- kebusukan yang terjadi pada pemerintahan Soeharto.  

Militer dalam Tragedi Semanggi 1998
            “Militer tak ada bedanya dengan fasis, tak ada bedanya dengan Nazi di Jerman”, “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Tidak Berguna, Bubarkan Saja” demikian yang dinyanyikan dan diorasikan oleh para mahasiswa  saat berdemonstrasi  menentang pemerintahan Orde Baru. Memang selayaknya militer atau ABRI  dapat disepadankan seperti nazi, mereka selayaknya digambarkan seperti geng- geng bajingan yang bisa berbuat apa saja disana- sini. Miris memang dari ke tahun citra militer semakin buruk, bahkan saat  marak- maraknya terjadi peristiwa penjarahan di Jakarta militer menjadi bagian dari pemerintahan Indonesia yang dimusuhi oleh sebagian mahasiswa dan masyarakat saat itu. Memang tak ubahnya militer hanya dijadikan mesin pembunuh oleh pemerintah, yang seakan- akan membantai aksi demonstrasi damai mahasiswa yang dianggap sudah melebihi batas kewajaran. Berbekal tameng, senjata lengkap dengan senapan dan amunisinya, menggunakan topi rimba ataupun helm sebagai pengaman pada akhirnya bersiap menghadang mahasiswa diseputaran jalan semanggi ataupun di depan gedung MPR/DPR.
            Sehingga ada satu teori yang kemudian muncul bahwa musuh mahasiswa di gerakan 1998 bukan sajalah pemerintahan Orde Baru, melainkan juga ABRI/militer, sehingga mahasiswa harus siap menghadapinya dengan cara apapun meski harus mempertaruhkan jiwa raganya sekalipun harus bertempur habis- habisan dengan bangsanya sendiri.
            Malam sebelum terjadinya tragedi semanggi 1998 terjadi penembakan besar- besaran terhadap para mahasiswa Trisakti dan Atmajaya Jakarta. Beberapa mahasiswa yang ikut turun berdemonstrasi jadi sasaran bulan- bulanan dari militer saat itu, sama halnya dengan Soeharto kala mengambil tindakan militer menumpas gerakan September 1965, dalam era ini muncul sosok Wiranto dan Prabowo sebagai bagian dari militer yang siap memusnahkan mahasiswa Trisakti dan Atmajaya yang melakukan demonstrasi. Dengan gagahnya menggunakan kendaraan pansernya Wiranto seolah- olah menjadi pahlawan yang dieluk-elukan masyarakat. Padahal situasi yang sebenarnya Wiranto menjadi penjagal bagi para mahasiswa- mahasiswa yang berdemonstrasi demi kepentingan masyarakat dan masa depan bangsa Indonesia. Namun propaganda yang diciptakan oleh militer berbeda, menyudutkan pihak mahasiswa sebagai biang keladi dari pecahnya tragedi Semanggi 1998. Banyak kesaksian- kesaksian dari organisasi- organisasi yang tergabung dalam Forkot (Forum Kota) yang mengungkapkan demikian, tentang keganasan dari aksi militer terhadap para mahasiswa. Sehingga Wiranto patut dipersalahkan dalam pecahnya peristiwa Semanggi 1998 serta bertanggung jawab atas penembakan yang terjadi pada mahasiswa saat itu.
            Kondisi Jakarta saat itu benar- benar mencekam, memuncak dengan penangkapan beberapa mahasiswa- mahasiswa yang mencoba melarikan diri ke area kampus mereka masing- masing, dan suara tembakan masih saja terus berdentuman hingga ke beberapa titik di wilayah Jakarta. Kematian 4 mahasiswa Trisakti yang tertembak menjadi puncak dari Tragedi Trisakti,  kemudian menjadi awal dari kegeraman mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang semakin tidak berperikemanusiaan, serta menyalagunakan wewenang militer demi kepentingan kekuasaan. Dalam aksi- aksi demonstrasi yang berikutnya hingga sampai pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai titik tolak reformasi di Indonesia, perlawanan mahasiswa berubah menjadi kerusuhan massal, dengan menembus barikade penjagaan ABRI dan Polisi yang berlangsung hingga masa pemerintahan BJ. Habibie yang hanya berselang beberapa bulan saja setelah Soeharto turun dalam tahta kediktaktorannya.  
            Kita memang tidak langsung akan melihat bahwa ABRI, TNI ataupun Militer menjadi bagian yang patut dipersalahkan dan dipojokkan dalam rekonstruksi sejarah Indonesia. Melainkan bagaimana sebagai bangsa Indonesia kita menyadari bahwa sejarah Indonesia diciptakan untuk kepentingan, sejarah Indonesia diciptakan untuk kekuasaan, dan militerisme akan terus mewarnai perjalanan panggung sejarah Indonesia dari masa ke masa. Tinggal bagaimana cara mengambil semangat yang terbangun dari militerisme, tidak selamanya militer akan berkonotasi pada hal yang sifatnya menyeramkan ataupun penjagalan. Tapi jadikanlah kesalahan yang terjadi pada militer  sebagai sebuah pelajaran agar bagaimana kedepannya peristiwa yang serupa tidak terulang kembali. Pembatasan dominasi militer di dalam pemerintahan Indonesia menjadi jalan keluar agar bidang militer tetap pada jalannya, tidak lagi dipolitisir oleh beberapa pihak, walaupun pada saat ini  Indonesia masih memiliki Presiden yang berlatar belakang militer yaitu SBY  namun besar  harapan suatu saat nanti  militer tetap pada bidangnya fokus dalam bidang pertahanan, keamanan dan penegakan hukum. Sehingga tidak selamanya melibatkan militer untuk terjun dalam dunia politik praksis yang membawa militer pada tirani yang menindas dan banyak disokongi oleh berbagai kepentingan kekuasaan.  
(Angga Riyon Nugroho)

Sumber: 
Budiyarso, Edy.2000.Menentang Tirani “Aksi Mahasiswa ‘77/78”.Jakarta: PT. Grasindo

Kardiyat, A. Wiharyanto. 2011.Sejarah Indonesia “Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009”.Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma