Militer atau
ABRI mungkin tidak pernah asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, dimana
profesi ini selalu berkaitan dengan keamanan dan kegagahan. Namun siapa sangka
di dalam sejarah Indonesia golongan- golongan ini dianggap menjadi golongan
paling kejam, bahkan lebih kejam dari pemerintah kolonial Hindia- Belanda
ketika menjajah Indonesia. Sosok tokoh- tokoh ABRI atau militer selalu
mendominasi dari bingkai- bingkai foto para pahlawan nasional di Indonesia.
Apakah ini yang kemudian menjadikan sejarah Nasional Indonesia merupakan juga
sebagai sejarah militer? Entahlah, belum ada yang dapat memecahkan anggapan ini
yang kemudian semata- mata hanya bertolak dari dominasi militer di dalam sejarah
dan hampir disetiap masanya militer selalu dieluk-elukan sebagai “Hero” yang memberi pengamanan bahkan
memerdekakan bagi Indonesia dari penjajahan. Namun masihkah kini militer/ABRI
memiliki peran untuk mengayomi dan melindungi masyarakat terkait berbagai
kontroversinya di dalam sejarah yang dianggap penjagal dan pembunuh masyarakat
Indonesia sendiri? Kita sudah melihat tokoh- tokoh militer seperti Jenderal
Sudirman, Urip Sumoharjo, A.H. Nasution, Jenderal Soeharto mungkin sedikit dari
tokoh- tokoh militer yang selalu dieluk-elukan di dalam sejarah sebagai
pahlawan nasional, namun apakah murni gelar kepahlawanan pantas disandang oleh
tokoh- tokoh ini terkait kontroversi yang mengikat tokoh- tokoh ini yang
menggunakan militer sebagai alat kekuasaan.
Militer di Era Kemerdekaan 1945-1959
Di era sesudah tahun 1945 militer sebelumnya yang bernama tentara rakyat
lahir beberapa bulan setelah dikumandangkannya Proklamasi 1945 di Jakarta, dari
yang awal bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat), berubah menjadi TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) yang kemudian beralih menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia)
kemudian memiliki peran menjaga kestabilan negara Indonesia yang baru berdiri
dari pengaruh- pengaruh kolonial yang akan segera masuk setelah masa Jepang
selesai di Indonesia. Tentu saja hal ini kemudian menempatkan posisi TNI
sebagai garda terdepan dari perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Tentara
NICA datang yang kemudian pasukan- pasukan ini mulai menguasai wilayah- wilayah
terpenting di pulau Jawa dengan memperkuat pasukan yang dinamai KNIL. Tapi
kemudian hingga tahun 1949 dan berpuncak pada Serangan Umum 1 Maret yang
terjadi di Yogyakarta memaksa TNI harus ekstra keras menyelematkan ibukota
republik Indonesia yang saat itu berpindah ke Yogyakarta. Soeharto menjadi
tokoh terdepan sebagai komandan utama yang memimpin serangan balik dari
berbagai penjuru kota Yogyakarta. Keberhasilan TNI di dalam melaksanakan
Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap beberapa gempuran musuh dari beberapa arah
kemudian menaikkan citra militer sebagai pahlawan kemerdekaan. Beberapa tokoh
terpenting yang berperan di dalam Serangan Umum 1 Maret ini kemudian
mendapatkan gelar pahlawan dan tugu penghormatan bagi yang gugur di Monumen
Jogja Kembali.
Masa-
masa diplomasi kemerdekaan kemudian berujung pada KMB di Den Haag Belanda yang
mewakili Indonesia saat itu adalah Mohammad Hatta. Lobby- lobby politik pun
dilakukan untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia di mata dunia. Hasil dari
perundingan KMB ini kemudian membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat). Dalam
perjalanannya RIS kemudian kembali pada NKRI di tahun 1950. Kemudian pusat
pemerintahan Indonesia kembali ke Jakarta. NKRI kemudian berjalan sebagai
sebuah negara kesatuan yang bernama Indonesia, namun seiring berjalannya waktu,
perkembangan NKRI tidak selamanya berjalan mulus, terjadi pemberontakan-
pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik dalam golongan
sipil maupun golongan militer. Sebut saja pemberontakan APRA (Angkatan Perang
Ratu Adil) yang dipimpin oleh Raymond Westerling, Pemberontakan DI/TII yang
terjadi di beberapa wilayah di NKRI, RMS, dan yang paling besar melibatkan
pihak militer adalah PRRI/Permesta yang terjadi di Sumatera, sebuah pemberontakan
militer yang dipersenjatai oleh CIA untuk memecah negara republik yang baru
saja berdiri.
Di
dalam berbagai peristiwa pemberontakan dan perlawanan masyarakat Indonesia di
awal masa pemerintahan Soekarno kemudian muncul nama- nama jenderal- jenderal
yang memiliki peran di dalam penumpasan dari pemberontakan yang berlangsung
dari tahun 1948- 1950an. Sebut saja seperti Kolonel A.H. Nasution di sebagai
KSAD yang memimpin langsung penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera.
Selain itu ada sosok Kolonel Bambang Supeno yang menggantikan peran A.H.
Nasution sebagai KSAD. Hal ini membuktikan bahwa semenjak NKRI terbentuk
militer telah mendominasi pada pemerintahan dan A.H. Nasution dianggap menjadi
tokoh inti di dalam kemiliteran Indonesia, dikarenakan Nasution berhasil
meloloskan diri dari kup besar di tahun 1965, bahkan disinyalir Nasutionlah
yang akan menggantikan Soekarno sebagai Presiden Indonesia. Kemudian
memunculkan persepsi betapa dekatnya dunia kemiliteran terhadap panggung
politik dan ini terjadi pada sejarah Indonesia.
Di
tahun 1959 pemberlakuan sistem Demokrasi Terpimpin dikumandangkan oleh Presiden
Soekarno, konfrontasi ganyang Malayasia kemudian digencar-gencarkan sebagai
kekuatan politik Soekarno, hingga yang kemudian berujung pada konsepsi Nasakom
oleh Soekarno menjadi bagian terpenting dalam sejarah. Apalagi militer juga
memiliki peranan penting dalam aksi penganyangan Malayasia dan kekuatan
pengamanan Presiden Soekarno yang sempat
terancam nyawanya akibat dari aksi oknum yang tidak bertanggung jawab yang
tidak suka dengan segala kebijakan Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi dan
Presiden Indonesia.
Militer di Era Tahun 1965-1977
Pasca
tahun 1959 kondisi perekonomian Indonesia mengalami defisit, nilai rupiah
semakin turun dan diperparah dengan kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat
Indonesia. Militer kemudian memiliki andil untuk mengambil alih kekuasaan
secara berlahan, dengan menyebarkan berbagai propaganda terkait isu Dewan
Jenderal hingga terjadi pembunuhan para Jenderal yang kemudian lebih terkenal
dengan Gerakan 30 September 1965 (G30S). Kondisi chaos terjadi di beberapa
daerah di Jawa, demontrasi besar- besaran terjadi pada beberapa organisasi
mahaiswa yang menyebutnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang
menuntut pembubaran PKI di dalam parlemen pemerintahan Indonesia. ABRI ataupun
militer memiliki peran cukup besar di dalam mendukung aksi mahasiswa ini dalam
menumbangkan rezim Soekarno. Sehingga bukan hanya melakukan pengamanan
demonstrasi melainkan pihak militer juga memberikan ruang gerak bagi para
mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi damainya kepada Presiden Soekarno dan
beberapa menteri di kabinetnya.
Keberpihakan
militer kepada para mahasiswa akhirnya benar- benarkan melemahkan posisi
Soekarno pada pemerintahan Orde Lama. Konspirasi terselubbung yang terjadi
antara militer dan gerakan mahasiswa kemudian membawa Soekarno pada tuduhan
sebagai otak dari pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Militer pun
berkuasa untuk mengamankan wilayah Indonesia yang sudah terkena pengaruh
Komunisme, setelah ditemukannya jenazah para Jenderal yang dibunuh di Lubang
Buaya dua hari kemudian aksi pembersihan besar- besaran terhadap komponen yang
ikut terlibat dengan PKI dilakukan. Militer menunjukan eksistensinya untuk
mengambil alih kekuasaan Orde Lama yang mulai koyah. Pada tanggal 11 Maret
1966, Soekarno mengeluarkan Supersemar yang memberi perintah kepada militer
untuk mengambil alih keadaan dan menjaga stabilitas keamanan. Pertanyaanya
apakah surat ini benar- benar pernah dikeluarkan oleh Soekarno, atau hanya
rekayasa militer yang dipimpin oleh Pangkostrad Jenderal Soeharto untuk
berlahan melakukan kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno? Entahlah namun
di era tahun 1965-1966 pembunuhan massal terjadi di beberapa daerah di
Indonesia khususnya Jawa dan Bali. Lebih dari 20.000 jiwa masyarakat Indonesia
yang dituduh PKI melayang oleh pembantaian massal yang dilakukan oleh militer.
Bayangan
yang terlintas pada masa ini, sekeji itukah militer, tentara maupun pasukan
pengamanan yang seharusnya melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara, namun
justru membantai orang- orang yang belum tentu terlibat dalam peristiwa G30S.
Bukan hanya itu dari buku yang mengkisahkan tentang wanita- wanita Gerwani
dikisahkan bahwa tentara/militer yang melakukan tindakan pemerkosaan dan
penyiksaan kepada wanita- wanita yang dituduh sebagai Gerwani, serta memberikan
cap jelek pada wanita ini sebagai bekas tapol PKI tahun 1965. Mengenaskan
memang ketika menelisik seberapa kebusukan militer di dalam sejarah Indonesia.
Merasa paling kuat kemudian menindas bahkan membantai secara keji tanpa
memandang hukum yang harusnya menjadi sebuah patokan bagi militer sebagai
penegak hukum di negeri ini.
Di
tahun 1967 Orde Baru berkuasa, militer mendominasi pemerintahan Orde Baru,
Soeharto kemudian dilantik menjadi Presiden Indonesia yang kedua menggantikan
Soekarno. Kondisi baru pada Indonesia kemudian semakin diperparah dengan adanya
Dwi Fungsi ABRI di dalam pemerintahan. Beberapa menteri- menteri di masa
pemerintahan Soeharto merupakan orang- orang yang membanting setir dari militer
kemudian mulai berkecimpung ke dalam ranah politik. Meskipun sebagian ada
menteri- menteri yang merupakan wakil dari organisasi gerakan mahasiswa yang
berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama, dan mereka ini merupakan
golongan- golongan Oppurtunis yang menjilat ludah sendiri yang kemudian mulai kehilangan idealismenya demi sebuah
kekuasaan.
Di
Era tahun 1970an, gerakan militer mulai masuk kampus sebagai program pengamanan
kampus dari aktifitas politik mahasiswa baik di dalam senat maupun dewan
mahasiswa. Kemudian muncul peristiwa Malari di tahun 1974 yang menjadi puncak
dari kekesalan mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang lebih mementingkan
pembangunan ekonomi daripada kesejahteraan rakyat Indonesia, lagi- lagi
kediktatoran militer diperlihatkan disini. Hariman Siregar Ketua DMUI yang
memimpin aksi Malari ini ditangkap dan diadili karena dari peristiwa ini dianggap
telah menganggu keamanan serta stabilitas pemerintahan. Ujung dari peristiwa
Malari 1974 ini kemudian beralih ke beberapa kampus- kampus yang ada di Jakarta
maupun Bandung dengan melakukan pemeriksaan terhadap masing- masing kampus yang
masih membandel melakukan kegiatan politik untuk melawan pemerintah Orde Baru.
Seolah- olah kini militer menjadi musuh mahasiswa, hingga seolah- olah
mahasiswa hanya dijadikan alat oleh militer untuk menjatuhkan orde baru dan
kini terbuang, bahkan aksesnya untuk menyampaikan aspirasi secara demokratis di
dalam kelembagaan mahasiswa dicap sebagai bentuk perlawanan terhadap
pemerintah.
Kemudian dikeluarkanlah kebijakan NKK/BKK
(Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Keamanan Kampus) oleh menteri Pendidikan saat itu Daoed Jusuf
pada tahun 1978 yang kemudian di dalamnya berisi tentang kewajiban mahasiswa
dalam memenuhi targetan berada di kelas
sebanyak 75%, mengganti seluruh kegiatan kemahasiswaan yang bersifat politis
dengan kegiatan yang bersifat minat bakat ataupun Dies Natalis Universitas,
diberlakukan jam malam dan pengamanan oleh Resimen Mahasiswa hampir terjadi di
setiap kampus besar, seperti UI, ITB dan UGM. Kemudian mahasiswa yang berada
dalam garis pergerakan tetap membangun pergerakan untuk melawan pemerintah
militer Orde Baru dengan mengadakan seminar- seminar yang selalu diisi oleh
beberapa tokoh yang memang kontra terhadap pemerintahan Orde Baru. Seperti yang
disebutkan di dalam buku Edy Budiyarso “Menentang
Tirani” yang menyebutkan A.H. Nasution sebagai tokoh milter di era tahun
1965 selalu diundang oleh para mahasiswa dalam kegiatan- kegiatan diskusi
terselubung untuk mengungkap kebusukan- kebusukan yang terjadi pada
pemerintahan Soeharto.
Militer dalam Tragedi Semanggi 1998
“Militer tak ada
bedanya dengan fasis, tak ada bedanya dengan Nazi di Jerman”, “Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia Tidak Berguna, Bubarkan Saja” demikian yang dinyanyikan dan diorasikan oleh para mahasiswa saat berdemonstrasi menentang pemerintahan Orde Baru. Memang
selayaknya militer atau ABRI dapat
disepadankan seperti nazi, mereka selayaknya digambarkan seperti geng- geng
bajingan yang bisa berbuat apa saja disana- sini. Miris memang dari ke tahun
citra militer semakin buruk, bahkan saat
marak- maraknya terjadi peristiwa penjarahan di Jakarta militer menjadi
bagian dari pemerintahan Indonesia yang dimusuhi oleh sebagian mahasiswa dan
masyarakat saat itu. Memang tak ubahnya militer hanya dijadikan mesin pembunuh
oleh pemerintah, yang seakan- akan membantai aksi demonstrasi damai mahasiswa
yang dianggap sudah melebihi batas kewajaran. Berbekal tameng, senjata lengkap
dengan senapan dan amunisinya, menggunakan topi rimba ataupun helm sebagai
pengaman pada akhirnya bersiap menghadang mahasiswa diseputaran jalan semanggi
ataupun di depan gedung MPR/DPR.
Sehingga
ada satu teori yang kemudian muncul bahwa musuh mahasiswa di gerakan 1998 bukan
sajalah pemerintahan Orde Baru, melainkan juga ABRI/militer, sehingga mahasiswa
harus siap menghadapinya dengan cara apapun meski harus mempertaruhkan jiwa
raganya sekalipun harus bertempur habis- habisan dengan bangsanya sendiri.
Malam
sebelum terjadinya tragedi semanggi 1998 terjadi penembakan besar- besaran
terhadap para mahasiswa Trisakti dan Atmajaya Jakarta. Beberapa mahasiswa yang
ikut turun berdemonstrasi jadi sasaran bulan- bulanan dari militer saat itu,
sama halnya dengan Soeharto kala mengambil tindakan militer menumpas gerakan
September 1965, dalam era ini muncul sosok Wiranto dan Prabowo sebagai bagian
dari militer yang siap memusnahkan mahasiswa Trisakti dan Atmajaya yang
melakukan demonstrasi. Dengan gagahnya menggunakan kendaraan pansernya Wiranto
seolah- olah menjadi pahlawan yang dieluk-elukan masyarakat. Padahal situasi yang
sebenarnya Wiranto menjadi penjagal bagi para mahasiswa- mahasiswa yang
berdemonstrasi demi kepentingan masyarakat dan masa depan bangsa Indonesia.
Namun propaganda yang diciptakan oleh militer berbeda, menyudutkan pihak
mahasiswa sebagai biang keladi dari pecahnya tragedi Semanggi 1998. Banyak
kesaksian- kesaksian dari organisasi- organisasi yang tergabung dalam Forkot
(Forum Kota) yang mengungkapkan demikian, tentang keganasan dari aksi militer
terhadap para mahasiswa. Sehingga Wiranto patut dipersalahkan dalam pecahnya
peristiwa Semanggi 1998 serta bertanggung jawab atas penembakan yang terjadi
pada mahasiswa saat itu.
Kondisi
Jakarta saat itu benar- benar mencekam, memuncak dengan penangkapan beberapa
mahasiswa- mahasiswa yang mencoba melarikan diri ke area kampus mereka masing-
masing, dan suara tembakan masih saja terus berdentuman hingga ke beberapa
titik di wilayah Jakarta. Kematian 4 mahasiswa Trisakti yang tertembak menjadi
puncak dari Tragedi Trisakti, kemudian
menjadi awal dari kegeraman mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang
semakin tidak berperikemanusiaan, serta menyalagunakan wewenang militer demi
kepentingan kekuasaan. Dalam aksi- aksi demonstrasi yang berikutnya hingga
sampai pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai titik tolak reformasi di Indonesia,
perlawanan mahasiswa berubah menjadi kerusuhan massal, dengan menembus barikade
penjagaan ABRI dan Polisi yang berlangsung hingga masa pemerintahan BJ. Habibie
yang hanya berselang beberapa bulan saja setelah Soeharto turun dalam tahta
kediktaktorannya.
Kita
memang tidak langsung akan melihat bahwa ABRI, TNI ataupun Militer menjadi
bagian yang patut dipersalahkan dan dipojokkan dalam rekonstruksi sejarah
Indonesia. Melainkan bagaimana sebagai bangsa Indonesia kita menyadari bahwa
sejarah Indonesia diciptakan untuk kepentingan, sejarah Indonesia diciptakan
untuk kekuasaan, dan militerisme akan terus mewarnai perjalanan panggung
sejarah Indonesia dari masa ke masa. Tinggal bagaimana cara mengambil semangat
yang terbangun dari militerisme, tidak selamanya militer akan berkonotasi pada
hal yang sifatnya menyeramkan ataupun penjagalan. Tapi jadikanlah kesalahan
yang terjadi pada militer sebagai sebuah
pelajaran agar bagaimana kedepannya peristiwa yang serupa tidak terulang
kembali. Pembatasan dominasi militer di dalam pemerintahan Indonesia menjadi
jalan keluar agar bidang militer tetap pada jalannya, tidak lagi dipolitisir
oleh beberapa pihak, walaupun pada saat ini
Indonesia masih memiliki Presiden yang berlatar belakang militer yaitu SBY namun besar harapan suatu saat nanti militer tetap pada bidangnya fokus dalam
bidang pertahanan, keamanan dan penegakan hukum. Sehingga tidak selamanya
melibatkan militer untuk terjun dalam dunia politik praksis yang membawa
militer pada tirani yang menindas dan banyak disokongi oleh berbagai
kepentingan kekuasaan.
(Angga Riyon Nugroho)
(Angga Riyon Nugroho)
Sumber:
Budiyarso, Edy.2000.Menentang Tirani “Aksi Mahasiswa ‘77/78”.Jakarta:
PT. Grasindo
Kardiyat, A. Wiharyanto. 2011.Sejarah Indonesia “Dari Proklamasi Sampai
Pemilu 2009”.Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma
0 comments:
Post a Comment