Tim Pawai Kebudayaan Pendidikan Sejarah

Atas : Loppias, Yudi, Roy, Adit, Suryo, Brurry | Bawah : Ade, Nova, Dimas, Ignatius, Cahyo, Yoshi

widget

19 Dec 2012

puisi-puisi Soe Hok Gie




Puisi-puisi Soe Hok Gie [Lengkap]
7 Votes
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Berikut adalah puisi-puisinya:
MANDALAWANGI – PANGRANGO
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
====================================================
“Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…” – Soe Hok Gie
SEBUAH TANYA
“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Selasa, 1 April 1969
====================================================
PESAN
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973
====================================================
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)
Akhir perjalanan Soe:
15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong.



So Hok Gie “Harus Menjadi Catatan dan Inspirasi Mahasiswa”




Berawal dari ketika saat saya ingin menonton video di youtobe, ketika itu saya ingin mencari tentang puisi romantis. Ternyata ada satu video tentang puisi terakhir karya “So Hok Gie”, sungguh luar biasa puisi itu begitu menyentuh akan kedalaman seorang pemuda yang mencintai kekasihnya. Akhirnya saya ingin kembali mereview kembali siapakah So Hok Gie? walaupun saya sering disuguhkan tentang artikel tentang beliau. Membaca berbagai artikel dari berbagai sumber membuat saya semakin penasaran dan akhirnya membeli buku karya Gie yaitu “Catatan Sang Demostran”. Buku itu sungguh menyayat hati saya sebagai seorang Mahasiswi yang sampai detik ini belum dapat memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Memang benar - benar menyedihkan.
Dalam buku tersebut diceritakan bagaimana Gie berjuang membela kaum yang lemah, berbagai gagasan dalam tulisannya membuka bahkan membangunkan banyak pihak untuk sadar dari berbagai keadaan bangsa yang semakin terpuruk oleh kekuasaan politik yang tidak pro rakyat. dalm catatannya Gie juga menulis bagaimana kegundahaan hatinya memikirkan keadaan bangsa saat itu, ini sungguh luar biasa bagi saya, kalau saya liat catatatan harian saya semua berisi tentang kegalauan hati saya dan semua tentang saya. Sungguh sangat jauh sekali. Gie adalah orang yang kritis dan menjadi garda terdepan dalam membela keadilan. Gie juga tidak hanya menjadi sosok seorang yang sangat kritis dengan sikapnya yang sangat idealis tapi dia tetap menjadi seorang mahasiswa yang tetap suka melakukan hal - hal yang menyenangkan. Pada saat itu Gie dan kawan - kawannya membuat MAPALA UI karena ia sangat mencintai keindahan gunung, selain itu Gie juga adalah sosok pemuda yang sangat romantis dengan menuliskan beberapa puisi yang sangat mendalam contoh puisi cahaya bulan seperti yang saya kutip sebagai berikut :
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipis pun turun pelan pelan di Lembah Kasih
Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra
Lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar detak jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta

Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu dimana jawaban itu
Bagaikan letusan berapi
Membangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati

Inilah puisi yang membuat saya jatuh cinta pada sosoknya yang akan menjadi inspirasi bagi setiap mahasiswa.
Berikut adalah
  • Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
  • Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
  • Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
  • Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
  • Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
  • Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
  • Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
  • Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
  • Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
  • Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis.
  • Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
  • Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
  • Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
  • To be a human is to be destroyed.
  • Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
  • Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
  • I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
  • Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
  • Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
  • Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
  • Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Dan dibawah ini merupakan karya dari beliau juga
Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan salah satu karya Soe Hok Gie tentang pemberontakan PKI di Madiun ini dianyam demikian rupa seakan-akan kita membaca sebuah novel sejarah dramatis yang menegangkan. Tapi penulisnya cukup hati-hati untuk tetap bersikap objektif dalam analisisnya hingga fakta sebagai “suatu yang suci” dalam bangunan sejarah tetap ditempatkan dalam posisi yang terhormat.
Di Bawah Lentera Merah adalah buku karangan Soe Hok Gie yang menarasikan satu periode krusial dalam sejarah Indonesia yaitu ketika benih-benih gagasan kebangsaan mulai disemaikan, antara lain lewat upaya berorganisasi. Melalui sumber data berupa kliping-kliping koran antara tahun 1917-1920-an dan wawancara autentik yang berhasil dilakukan terhadap tokoh-tokoh sejarah yang masih tersisa, penulisnya mencoba melacak bagaimana bentuk pergerakan Indonesia, apa gagasan substansialnya, serta upaya macam apa yang dilakukan oleh para tokoh Sarekat Islam Semarang pada kurun waktu 1917-an.
So Hok Gie juga menjadi momen lahirnya demosntran, dan dia memang sosok yang harusnya menjadi inspirasi Mahasiswa, dan saya tetap optimis akan tetap lahir para Gie - gie yang mampu membawa perubahan dengan sejuta keberanian.
Hidup Mahasiswa,,,!!!
(A.R)


Menapaki Keeksotisan Pasar Bubrah, Kerajaan Makhluk Halus Gunung Merapi




Apa yang akan kita bayangkan ketika kamu naik gunung, tentu yang selalu terbayangkan akan keindahan alam dan keeksotisan puncak yang begitu mempesona terlihat dari kejauhan. Namun apa yang akan kita bayangkan jika keksotisan yang kita lihat ini dibarengi dengan sebuah pesona mistis yang selalu menjadi mitos dari sejarah keberadaan gunung yang kita daki. Ada beberapa istilah yang akan kita temukan sebagai Pendaki Gunung, yaitu tentang keberadaan Pasar Setan dimana pesona mistis dan ghaib dari keberadaan Pasar Setan ini tidak akan pernah lepas dari bayang- bayang para pencinta alam yang berjuang untuk sekedar menikmati keksotisan gunung yang mereka tapaki.

Hal tentang nuansa mistis dan ghaib tersebut tidak akan lepas dari keberadaan Gunung Merapi (2900 Mdpl) yang merupakan salah satu gunung teraktif di dunia yang letusan terhebatnya bisa dirasakan oleh masyarakat Yogyakarta, Klaten, Boyolali dan Magelang di tahun 2010 yang lalu. Gunung Merapi bukanlah sebuah gunung yang relatif tinggi seperti gunung- gunung yang lain yang ada disekitarnya, bahkan lebih tinggi Gunung Merbabu (3142 Mdpl) yang letaknya bersebrangan dengan Gunung Merapi di jalur Selo, Boyolali. Namun apa jadinya jika Gunung Merapi menjadi gunung yang menyimpan banyak misteri terkait keberadaan Pasar Bubrah yang menurut sebagian orang menjadi Pasar Setannya dari gunung ini.

Bagi para pendaki dan pencinta alam yang ingin merasakan keeksotisan Gunung Merapi dari Pasar Bubrah dapat melewati jalur pendakian Selo, Boyolali, Jawa Tengah. Dengan intensitas jalur pendakian yang tidak begitu rumit dari wilayah perladangan penduduk hingga menjelang pos 2 dengan jalur menanjak dan berbatu. Setelah melewati tebing jurang Gunung Merapi di pinggiran lahar dingin Sungai Bebeng para pendaki akan menikmati keeksotisan pemandangan alam dari tugu pos 3 yang ditandai dengan adanya Memoriam para pendaki Gunung Merapi yang meninggal di sekitar pos 3. Dari pos 3 ini akan terlihat ke bagian bawah dataran yang cukup luas yang ditengah- tengahnya terdapat jalan menuju Puncak Garuda (2900 Mdpl) dengan medan berbatu dan berpasir. Dataran ini yang sering disebut dengan Pasar Bubrah (dalam bahasa Jawa “Bubrah" berarti ambruk atau hancur), disini para pendaki bisa beristirahat sejenak ataupun memasak perbekalan yang perbekalan yang sudah dibawa dari bawah. Pasar Bubrah memang menjadi tempat favorit bagi para pendaki untuk mendirikan tenda karena tempatnya yang cukup luas dengan diselingi beberapa cerukan batu yang bisa digunakan sebagai tempat untuk berlindung sewaktu badai menerjang Puncak Garuda.

Dahulunya Pasar Bubrah merupakan bekas kawah Gunung Merapi ratusan tahun yang lalu yang telah mati. Ditengah Pasar Bubrah berdiri megah kawah aktif Merapi dengan puncak tertinggi Puncak Garuda. Namun sekarang batu di Puncak Garuda sudah semakin runtuh akibat aktifitas gunung yang yang selalu mengeluarkan asap belerang sulfatara yang begitu dashyat yang terkadang melongsorkan material batu dan pasir sepanjang jalur pendakian menuju bibir kawah dan puncak.

Walaupun sering digunakan sebagai tempat istirahat bagi para pendaki Gunung Merapi namun banyak mitos yang berkembang di kalangan masyarakat lereng Gunung Merapi terkait keberadaan Pasar Bubrah ini. Banyak dan sering diceritakan oleh masyarakat sekitar lereng Merapi yang mengatakan bahwa di Pasar Bubrah merupakan sarang dari makhluk halus penunggu gunung, akan tetapi sebagai manusia para pendaki sendiri pun cukup menghormati mitos yang selalu diceritakan oleh masyarakat setempat, terkait keberadaan Kyai/Mbah Petruk sebagai makhluk penunggu tetap wilayah Pasar Bubrah. Namun diluar pemikiran ghaib dan mitos harus diwaspadai oleh para pendaki yang beristirahat di Pasar Bubrah bahwa di wilayah ini paling sering terjadi badai yang dikarenakan wilayah ini berada di punggungan gunung tanpa ada vegetasi tanaman apapun yang dapat digunakan oleh para pendaki untuk berlindung sehingga sering sekali memakan korban jiwa dari para pendaki yang tidak bisa bertahan dari terjangan badai di Pasar Bubrah ini.   

Apa pun yang akan diceritakan terkait keeksotisan Gunung Merapi dan keberadaan Pasar Bubrah yang menjadi Pasar bagi setan- setan/makhluk halus penunggu Gunung Merapi seluruhnya harus kita jaga sebagaimana seluruh kebenaran dari keberadaan makhluk- makhluk halus penunggu Pasar Bubrah menjadi misteri alam yang kita pun tak akan pernah tahu akan kebenaran ini, dengan tetap menjaga kelestarian Gunung Merapi manusia akan tetap bisa hidup berdampingan dengan alam dan keindahannya biarkan menjadi misteri yang belalu dari kemegahan alam. Salam Rimba........!!!! (A.R.)
Foto Pasar Bubrah Gunung Merapi (terlihat berkabut setelah badai)







Dokumentasi Pendakian Gunung Merapi 30 November 2012

Sumber:  Copyright 2009- Belantara Indonesia Camp Yogyakarta

Kenteng Songo, Menapaki Keeksotisan Negeri di Atas Awan



Ada yang bilang setiap gunung pasti akan menyimpan misteri dan kekhasan yang bisa dinikmati oleh para pencinta alam yang masih ingin menikmati keindahan dan keksotisan alam bangsanya sendiri. Tak perlu jauh- jauh harus mennghabiskan uang yang begitu banyak hanya untuk menikmati keindahan dan panorama alam Indonesia yang memukau. Justru keindahan dan keksotisan alam di Indonesia dapat kita rasakan dari tempat yang tidak begitu jauh dari kita. Siapa yang tidak tahu Gunung Merbabu (3142 Mdpl), salah satu jajaran gunung tertinggi di pulau Jawa yang merupakan gunung tua yang sudah tertidur berpuluh- puluh tahun yang lalu.

Gunung yang terletak di perbatasan kota Salatiga, Magelang dan Boyolali ini memang menyimpan keindahan yang luar biasa yang sayang jika di lewatkan. Gunung tipe strato ini juga menyimpan sejuta misteri dari beberapa puncaknya dan tempat yang sangat disakralkan jika dikunjungi oleh para pendaki yang ingin menapaki puncak tertingginya yaitu Kenteng Songo (3142 Mdpl). Keindahan alam gunung ini dapat dirasakan dari dua jalur pendakian utama yaitu jalur pendakian thekelan, Kopeng dan jalur pendakian Selo, Boyolali.

Jalur Kopeng
Menikmati negeri diatas awan, Kenteng Songo dapat ditempuh dari jalur Thekelan, Kopeng, jalur ini merupakan jalur favorit para pendaki dari wilayah Salatiga dan sekitarnya dengan jarak tempuh yang tidak begitu lama dan relatif landai sehingga jalur ini paling sering di pilih oleh para pendaki dan pencinta alam yang ingin menjajal rasa penasarannya terhadap gunung tua ini. Jalur ini juga dinikmati karena ada sumber air bersih di Pos Pending yang jarang sekali ditemui jika melalui jalur Selo. Selepas dari pos Pending pendaki akan melalui sebuah cerukan batu besar yang dapat digunakan sebagai tempat berlindung dari badai sewaktu malam yang dinamai Watu Gubug, menjadi salah satu tempat yang disakralkan bagi penduduk lereng Gunung Merbabu. Naik sedikit keatas akan menemui pos pemancar yang dari sini pemandangan mulai terbuka dengan pemandangan puncak Kenteng Songo dan 6 puncak Merbabu yang lain yang sudah mulai terlihat selepas pos ini. Setelah menyebrangi jembatan setan maka sampailah para pendaki di puncak tertinggi Merbabu, Kenteng Songo.

Jalur Selo
Kekhasan jalur ini adalah panorama dan pemandangannya yang sangat sungguh menawan diselingi dengan kumpulan bunga Edelweis dan Sabana yang membentang indah disertai juga dengan kokohnya Merapi dari kejauhan jalur ini. Keindahan bunga Edelweis yang selalu diceritakan Soe Hok Gie ketika menapaki gunung- gunung tinggi di Jawa tidak akan bisa lepas dari jalur pendakian Selo ini, yang bisa dikatakan merupakan vegetasi Edelweis terbanyak dari gunung- gunung yang lain yang ada di pulau Jawa. Kenteng Songo dapat ditempuh dalam waktu 7-8 jam melalui jalur ini dengan vegetasi hutan pinus, sabana, cemara gunung, dan Edelweis yang begitu memukau sejauh mata memandang.

Kenteng Songo, Misteri Alam Ghaib Merbabu
Setiap gunung yang ada di pulau Jawa akan memiliki cerita tersendiri terkait beberapa tempat yang unik yang terdapat di dalamnya misalnya berbicara tentang Gunung Merapi pasti akan berbicara tentang Pasar Bubrah, atau berbicara tentang Gunung Lawu pasti akan berbicara tentang Hargo Dalem sebagai tempat petilasan Brawijaya V, lalu bagaimana dengan Gunung Merbabu. Ada salah satu tempat di Gunung Merbabu yang menjadi tempat yang masih menjadi misteri sampai saat ini dan memiliki nilai keindahan serta keeksotisan yang tidak akan pernah terbayarkan dengan apa pun, sebut saja Kenteng Songo, puncak tertinggi Merbabu dari 7 puncak yang ada di Merbabu. Disini terdapat 4 Watu Kenteng (batu berlubang) yang tentunya kalau dilihat tanpa kasat mata hanya terdapat 4 lubang/kenteng, namun sesungguhnya terdapat 9 kenteng/lubang yang ada pada puncak ini jika dilihat secara ghaib. Percaya tidak percaya memang watu Kenteng Songo memang sudah ada semenjak Gunung Merbabu ini terbentuk dan disekitar sinilah terjadi aktifitas dari para makhluk halus penunggu Gunung Merbabu. Banyak sekali kejadian- kejadian yang tidak lazim yang ditemukan oleh para pendaki yang membuat camp di puncak Kenteng Songo dari kejadian fatamorgana sampai yang mendengar keramaian di puncak Kenteng Songo yang padahal tidak ada seseorang pun kecuali para pendaki yang sedang beristirahat di puncak ini. Terkadang dapat dikatakan Kenteng Songo menjadi negeri diatas awan bukan hanya bagi para pendaki/manusia melainkan bagi para lelembut yang selalu menjaga Gunung Merbabu ini. Dari sini akan terlihat pemandangan klasik Merapi dan 6 puncak Merbabu yang lain, seperti Triangulasi, Pregodalem, Watu Gubung, maupun puncak pemancar. (A.R.)
Foto Puncak Kenteng Songo





Dokumentasi Ekspedisi Gunung Merbabu, 18 Agustus 2012

Sumber: www. Wikipedia.com “Gunung Merbabu” diunduh tanggal 9 Desember 2012

5 Dec 2012

FESTIVAL NUSANTARA

MRICAN, Dies Natalis Universitas Sanata Dharma yang ke 57, mengangkat tema Sanyata Budaya Dharma. Salah satu rangkaian acara tahun ini adalah Pawai Budaya, yang dilaksanakan Sabtu (24/11/2012). Pawai Budaya ini diikuti beberapa Prodi di Universitas Sanata Dharma, dan salah satunya adalah Prodi Pendidikan Sejarah. Prodi Pendidikan Sejarah adalah Prodi yang tergolong dengan personil paling banyak dibandingkan dengan Prodi yang lain. keikutsertaan Pendidikan Sejarah dalam kegiatan Dies Natalis bukan hanya sekali saja, Pendidikan Sejarah setiap tahun selalu mengirimkan mahasiswanya ke dalam kegiatan Universitas. Pada rangkaian dies kali ini ada yang berbeda dengan dies yang sebelumya, karena diadakan kirab budaya yang mengangkat kebudayaan dan kesenian tradisional dari daerah-daerah yang ada di Indonesia. 
Pendidikan Sejarah dengan tampilan adat Jawa menampilkan jathilan (kuda lumping) dan membawa sebuah gunungan berupa sayur mayur. Para peserta Pawai Budaya berjalan menyusuri Jln. Gejayan, Jln. Cendrawasih dan berakhir di lapangan bola realino. Dalam keikutseratan Prodi Pendidikan Sejarah ke dalam kirab budaya Dies Natalis merupakan sebuah prestasi yang membanggakan Prodi Pendidikan Sejarah. Persiapan yang sangat sedikit tidak menghalangi teman-teman Pendidikan Sejarah untuk mengikuti kirab budaya. Gunungan yang berisi sayuran dan hasil bumi adalah modal utama kami dalam mengikuti kirab budaya selain jathilan (kuda lumping) dan topeng berwujud buto. Pendidikan Sejarah menurut panitia dan dosen yang ada diacara merupakan Prodi yang paling unik dan paling berkesan dalam penampilan dan kesiapan mengikuti kirab budaya. Kebudayaan Jawa adalah tema dari Pendidikan Sejarah, karena teman-teman melihat kesadaran anak muda sekarang dalam melestarikan kebudayaan Jawa masih sangat kurang dan cenderung melupakannya. 
Pawai Budaya ini dinilai oleh 3 orang juri : Bu Ninik (WR I), Pak Bambang (WR II), dan Bu Nova (Perwakilan WR III). Pada akhir acara, juri-juri tersebut mengumumkan 3 terbaik yaitu Pendidikan Sejarah terbaik pertama lalu disusul prodi Teologi dan Sastra Inggris. kemenanangan yang didapat oleh teman-teman Pendidikan Sejarah adalah sebuah prestasi yang membanggakan dan sebelumnya juga tidak terlalau mengharapkan kemengnan. Dalam kirab budaya tersebut sebenarnya dari Pendidikan sejarah sudah bisa ikut terlibat dan mencoba mengenalkan kesenian dan kebuadayan Jawa kepada masyarakat luas sudah sangat senang dan menjadi kebanggan tersendiri. Kesenian dan Kebudayaan Jawa khususnya untuk saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh anak muda zaman sekarang, dalam kirab budaya tersebut Pendidikan sejarah mencoba mengenalkan kembali kepada masyarakat luas bahwa di Jawa ada kesenian Jathilan yang sekarang dipandang masyarakat sebagai kesenian tidak bermutu dan hanya berisi orang-orang yang kurang berpendidikan. Dalam rangkaian dies Natalis adalah sebuah kesempatan emas bagi teman-teman Pendidikan Sejarah dan teman-teman Prodi lain untuk mengenalkan Kesenian dan Kebudayaan yang ada di Indonesia.

                                                                                                                                                                               (roy ' 09 dan ignatius '11)