Tim Pawai Kebudayaan Pendidikan Sejarah

Atas : Loppias, Yudi, Roy, Adit, Suryo, Brurry | Bawah : Ade, Nova, Dimas, Ignatius, Cahyo, Yoshi

widget

17 Dec 2013

Pelacuran Masa Pendudukan Jepang: “Mengenal Jugun Ianfu Sebagai Korban Kebijakan Politik Jepang”




A. Sejarah Pelacuran di Indonesia
Pelacuran atau tempat para wanita penghibur menjual diri tentu sudah banyak di dengar oleh banyak masyarakat di beberapa kota besar pada saat ini. Sebut saja dengan keberadaan Pasar Kembang di kota Yogyakarta, area prostitusi Dolly di Surabaya, maupun area Simpang Lima di Semarang, itu semua merupakan area- area para pelacur menjajakan diri kepada banyaknya pria- pria kesepian. Munculnya tempat- tempat prostitusi tadi di masa kini mungkin menjadi hal yang sangat biasa di mata masyarakat. Namun apakah banyak yang mengetahui tentang keberadaan sejarah prostitusi atau pelacuran di Indonesia. Lalu apa yang menjadi alasan para wanita- wanita penghibur ini lebih memilih pekerjaan ini? Apakah faktor himpitan ekonomi menjadi sebuah alasan kuat yang membuat para wanita- wanita ini menjadi pelacur?
Ketika berbicara tentang masalah pelacuran tentu erat kaitannya dengan wanita, dunia malam maupun para lelaki hidung belang. Tapi taukah jika pelacuran sejak zaman dahulu sudah berkembang begitu pesat di dalam kehidupan manusia. Hal tersebut kemudian diungkapkan oleh oleh Hull (1997) yang menyatakan bahwa adanya perkembangan pelacuran di Indonesia dari masa ke masa yang dimulai dari masa kerajaan- kerajaan di Jawa, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang dan setelah kemerdekaan. Pada masa kerajaan di Jawa, perdagangan wanita yang kemudian dimasukan kedalam dunia pelacuran terkait dalam sebuah sistem pemerintahan feodal. Hal tersebut tidak akan terlepaskan dengan keberadaan raja yang bersifat agung, tak terbatas, sehingga mendapatkan banyak selir. Kemudian sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan komersialisasi industri seks seperti yang dirasakan oleh masyarakat modern saat ini, meskipun apa yang terjadi pada masa kerajaan- kerajaan di Jawa tentang pelacuran dapat membentuk landasan dalam perkembangan industri seks/pelacuran di masa sekarang.
Setelah masa kerajaan- kerajaan di Jawa berakhir, fenomena pelacuran kembali muncul dengan wajah baru di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda ini bentuk pelacuran lebih terorganisir dan berkembang pesat. Didasarkan pada pemenuhan kebutuhan dan pemuasan seks masyarakat Eropa yang ada di Indonesia. Disebutkan di dalam buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karangan Reggie Bay bahwa pada masa pendudukan VOC di Hindia Belanda sekitar tahun 1650-1653 Gubernur Jenderal Carel Reynierz menudukung kuat dengan adanya perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia.[1] Hal tersebut menjadi bukti yang cukup menguatkan dimana fenomena pelacuran di zaman kolonial Belanda memiliki ciri khas dengan melegalitaskan pelacuran dengan cara perkawinan campur antara orang- orang Belanda dengan wanita- wanita pribumi (asia). Dengan cara seperti itu keberadaan pelacuran di masa kolonial Belanda lebih dianggap terorganisir serta rapi, karena pegawai- pegawai VOC yang rata- rata adalah orang Belanda yang memiliki bawahan para wanita- wanita pribumi dengan terpaksanya mau melakukan perkawinan campur yang dalam hal ekonomi lebih menguntungkan bagi para lelaki Belanda. Dalam masa ini kemudian muncul istilah gundik dan para nyai yang dianggap sebagai istri- istri para lelaki Belanda, hingga melahirkan anak- anak keturunan Indo- Belanda yang semakin memperkuat status sosial orang- orang Belanda ketika berada di Indonesia.   
Kemudian komersialisasi seks di Indonesia berkembang pada masa pendudukan Jepang (antara tahun 1941-1945), setelah mungkin melihat sedikit dari aktifitas prostitusi pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dengan menjadikan area- area perkebunan di bawah monopoli VOC dijadikan sebagai ajang prostitusi bahkan dapat melegalkannya dalam bentuk perkawinan campur antara lelaki Eropa dengan wanita pribumi. Di masa pendudukan Jepang semua perempuan yang dijadikan budak sebagai wanita penghibur dikumpulkan menjadi satu di dalam rumah- rumah bordir. Bukan hanya wanita yang tadinya menjadi wanita penghibur saja yang dibawa ke rumah bordir, namun banyak juga wanita yang tertipu atau terpaksa melakukan hal tersebut (Hull,1997:3). Betapa semakin tidak manusiawinya penjajahan pada masa pemerintahan Jepang ini yang kemudian merendahkan status sosial wanita- wanita pribumi yang tadinya bukan merupakan pelacur hingga membuatnya rendah sehingga dicap sebagai wanita penghibur atau Jugun Ianfu pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia. Hingga saat ini kisah tentang para mantan- mantan Jugun Ianfu teramat menyedihkan, terkadang belum ada yang mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai permasalahan sejarah wanita pribumi ditengah perbudakan dan penjajahan masa pendudukan Jepang. Kita akan mencoba mengangkat sisi kemanusiaan dari sejarah Jugun Ianfu ini, benarkah Jugun Ianfu adalah korban kebijakan politik kolonialisme Jepang di Indonesia, atau semata- mata hanya digunakan sebagai budak nafsu para tentara Jepang ditengah- tengah kesibukan berperangnya di wilayah Asia Pasifik? Kita akan mencoba melihat hal tersebut dalam frame yang berbeda, yang tetap mengungkap nilai politis serta nilai manusiawi di dalam sejarah yang telah tercatat tentang Jugun Ianfu.

B. Jugun Ianfu[2]: Pelacur Yang Terpaksa Melacur  
                Pada masa pendudukan Jepang kisah pelacuran di Indonesia menggapai masa emasnya, dimana banyak dikenal oleh masyarakat saat itu dengan istilah Jugun Ianfu. Jugun Ianfu merupakan bentuk penjajahan yang secara nyata dialami oleh kaum perempuan di Indonesia. Sebelumnya praktek Jugun Ianfu memang ada di Indonesia, ternyata praktek tersebut tidak hanya berlaku di Indonesia sebagai negara jajahan Jepang, melainkan negara- negara lain yang dijadikan negara koloni oleh Jepang. Menurut riset dari Dr. Hirofumi Hayashi seorang profesor dari Universitas Kanto Gaukin ketika melihat fenomena Jugun Ianfu di Indonesia ini, ia mengatakan bahwa Jugun Ianfu pada saat itu terdiri dari wanita- wanita Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya, Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, dan Indo Belanda. Jumlah perkiraan Jugun Ianfu pada saat perang bekisar antara 20.000 dan 30.000, jumlah ini tentu sangat mencenangkan karena ternyata bukan hanya wanita- wanita Indonesia saja yang dijadikan Jugun Ianfu oleh para tentara Jepang melainkan beberapa wanita di wilayah kepulauan Asia Pasifik juga menjadi korban dari penindasan dan penjajahan Jepang di masa Perang Dunia II.
                Keberadaan Jugun Ianfu sendiri juga tidak akan pernah terlepas dari keberadaan para tentara- tentara Jepang, yang dimana disela- sela kejenuhan berperang mereka akan membutuhkan hiburan dari para Jugun Ianfu baik hanya sekedar pergi berkencan ataupun meniduri para Jugun Ianfu di kamar- kamar di rumah bordil. Sehingga banyak rumah bordil yang dibangun oleh pemerintah Jepang diwilayah- wilayah militer tentara Jepang. Dengan kondisi seperti teramat sungguh menyedihkan karena di dalam prakterk Jugun Ianfu para wanita Indonesia justru terpaksa dan dipaksa untuk melacurkan diri kepada para tentara Jepang. Hal ini terbukti dengan perekrutan Jugun Ianfu di Indonesia yang dilakukan secara paksa, bahkan ada pula yang diiming-imingi dengan janji hidup yang enak, pendidikan yang layak dan dijadikan pemain sandiwara. Namun pada kenyataannya para wanita- wanita ini ditempatkan dirumah- rumah bordil untuk melayani para tentara Jepang yang sedang lelah berperang. Bahkan tidak hanya itu ada pula tentara- tentara Jepang yang tak segan- segan menculik dan memperkosa para gadis Jugun Ianfu ini di depan keluarganya jika mereka menolak dibawa ke rumah bordil. Hal ini sungguh ironis memang dimana masa peralihan dari pendudukan Belanda menuju pendudukan Jepang, justru nasib para wanita pribumi bukan hanya dijadikan gundik- gundik[3] oleh pemerintah kolonial melainkan budak seks yang tidak berperikemanusiaan.
                Persoalan praktek Jugun Ianfu ini sebenarnya adalah suatu kesengajaan atau bagian dalam rencana menjaga keefektifan dan kinerja para tentara Jepang dalam bertugas. Dimana kepuasaan seks para tentara akan mempengaruhi kinerja para tentara dan apabila hal tersebut tidak dituruti maka para tentara Jepang akan mengalami kemunduran. Selain itu peran dari para pejabat (lurah, camat, kepala desa) di beberapa daerah di Indonesia dalam membantu pemerintah Jepang untuk menyalurkan Jugun Ianfu sangatlah penting, dimana semua penyaluran Jugun Ianfu dilakukan secara tertutup dibawah tangan, sehingga tidak pernah diberitahukan secara resmi terkait rekrutmen para Jugun Ianfu dibeberapa wilayah di Indonesia pada saat itu. Namun selain faktor- faktor ini yang menjadi latar belakang dari keberadaan Jugun Ianfu sebagai budak seks para tentara Jepang, faktor masa peralihan kekuasaan dan Perang Dunia II membawa pengaruh cukup besar terkait munculnya para Jugun Ianfu yang terpaksa memperoleh profesi yang tidak mereka inginkan sebelumnya. Walaupun nanti akan coba kita lihat tentang faktor kondisi ekonomi, pendidikan dan budaya di wilayah Indonesia saat itu sebagai pembanding dari faktor- faktor yang dimunculkan oleh keberadaan pemerintah Jepang di Indonesia.  
                Perang Dunia II atau biasa disebut sebagai Perang Asia Pasifik dapat dikatakan menjadi faktor utama dari terbentuknya penjajahan di wilayah Indonesia. Termasuk pula penjajahan dalam hal pelacuran di Indonesia, dimana para tentara Jepang hampir ribuan yang memasuki wilayah Indonesia, melucuti para tentara kolonial Belanda, dan melakukan persiapan pergantian masa transisi pemerintahan kolonial di Indonesia. Kemudian pembentukan PETA dan beberapa organisasi kepemudaan yang bersifat militer di tahun 1943-1945 membuat peran militer Jepang di dalam penjajahan semakin besar, hal ini membuat para tentara- tentara Jepang di sela- sela melaksanakan tugas di negara jajahan membutuhkan para wanita- wanita penghibur sebagai sarana melepaskan kerinduan seks mereka pada pasangan- pasangan mereka di Jepang. Di jadikanlah wanita- wanita Indonesia yang memang bukan seluruhnya pelacur untuk melayani nafsu seks para tentara Jepang. Masa peralihan kekuasaan inilah yang menjadi masa- masa gelap bagi para wanita- wanita Indonesia yang secara tidak sengaja menjadi korban dan kebiadaban para tentara- tentara Jepang. Karena berbagai ancaman untuk diasingkan, dibuang bahkan dibunuh menjadi sebuah alat yang sangat menakuti para wanita Jugun Ianfu ini jika tidak ingin melayani hasrat seks para tentara Jepang.
                Disisi lain faktor ekonomi di Indonesia menjadi persoalan mendasar dari berkembangnya Jugun Ianfu, dimana kemelaratan pada masa pemerintah kolonial Belanda yang berganti kepada pemerintahan Jepang menjadi permasalahan yang utama. Sedangkan wanita- wanita Jugun Ianfu rata- rata berasal dari lingkungan desa yang sangat miskin, himpitan perekonomian inilah yang membawa mereka pada janji- janji tentara Jepang yang akan menyekolahkan dan mempekerjakan mereka secara layak. Namun bukan pekerjaan atau pendidikan yang di dapat melainkan penyiksaan, perkosaan dan perbudakan secara tidak manusiawi yang di dapatkan oleh para wanita Jugun Ianfu ini. Hal ini dapat terlihat dengan rutinitas yang dijalankan oleh para Jugun Ianfu sebelum melayani nafsu bejat para tentara Jepang, yaitu dengan menjalani pemeriksaan kesehatan yang merendahkan martabat. Para wanita Jugun Ianfu tidak bisa berbuat apa ketika petugas medis mengerayangi tubuh mereka, hingga sampai mereka telanjang bulat dan satu persatu vagina mereka diperiksa dengan menggunakan alat yang terbuat dari besi panjang. Jika ditekan ujung alat ini akan membesar dan dapat membuka vagina para wanita Jugun Ianfu ini menjadi lebih lebar. Dengan menggunakan alat ini maka akan diketahui apakah kemaluan calon Jugun Ianfu sudah terserang penyakit atau masih sehat. Betapa sakitnya ketika membayang satu persatu para wanita Jugun Ianfu diperlakukan demikian, tidak begitu manusiawi, dan bahkan sesekali jika ada para wanita Jugun Ianfu tidak melayani para tentara hingga puas, maka perlakuan seperti binatang yang akan didapatkan oleh para wanita yang tak berdosa ini.
                Hal tersebut diakui dan dialami oleh Mardiyem salah seorang Jugun Ianfu yang sejak usia 13 tahun sudah mulai diperkosa untuk pertama kalinya oleh seorang Jepang yang berambut brewok. Siksaan berupa pukulan, tamparan dan tendangan sudah sering dirasakan oleh Mardiyem, apalagi ia masih termasuk dibilang sangat kecil ketika diperkosa dan dijadikan Jugun Ianfu oleh para tentara Jepang. Bahkan jika merasa kurang puas kepada Mardiyem tentara- tentara Jepang ini tidak segan- segan melakukan cara- cara diluar batas kemanusiaan untuk mencapai kepuasaannya terhadap Mardiyem. Para wanita Jugun Ianfu mengalami penderitaan yang begitu sangat karena memang tidak ada pilihan lain, yang terpaksa melacur dan tidur bersama para tentara Jepang karena siksaan berat jika sesekali berani menentang atau melawan terhadap perintah tentara Jepang. Seolah- olah para wanita Jugun Ianfu ini dianggap seperti budak yang bekerja tanpa henti, bahkan pandangan buruk selalu ditorehkan dibalik raut wajah penyesalan para wanita ini yang masuk pada lembah hitam penjajahan Jepang. 

C. Mereka Korban Kebijakan Politik Jepang
                Keberadaan Jugun Ianfu di Indonesia tidak akan terlepas dengan munculnya berbagai kebijakan politik kolonial yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang di beberapa negara koloni, salah satunya adalah Indonesia. Hal ini dapat terlihat ketika pemerintah Jepang menyetujui dengan pendirian rumah- rumah bordil. Ada beberapa asumsi yang dapat memperkuat perihal kebijakan ini. Pertama, dengan pemerintah Jepang menyediakan akses mudah kepada para budak- budak seks, moral dan kefektifan para tentara Jepang akan meningkat. Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka dibawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Ketiga, pengadaan rumah bordil di garis depan peperangan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat kepada para tentara Jepang. Ketiga asumsi tersebut sangat menguatkan mengapa Jugun Ianfu diadakan oleh pemerintah Jepang di beberapa negara- negara jajahan di wilayah Asia Pasifik. Kemudian banyak yang menguatkannya erat dengan kebijakan politik pemerintah Jepang dimana sebagai strategi dalam mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan. Dimana peran para tentara Jepang untuk mempertahankan keamanan negara- negara jajahan dari serangan pasukan sekutu sangatlah penting, sehingga kebijakan tentang Jugun Ianfu ini memberikan torehan politis di dalam mempertahankan wilayah kekuasaan Jepang di Asia Pasifik. Walaupun pada intinya kebijakan ini terkait dengan kebijakan militer, namun nilai- nilai politis untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan sekutu sangatlah kuat, dan Jugun Ianfu adalah korban dari segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang terhadap negara jajahan.
                Kemudian kita akan mencoba melihat tentang persaingan politik Jepang dengan negara Amerika Serikat dari blok sekutu. Dimana Jepang terlibat permusuhan yang sangat panjang dengan negara adi kuasa ini. Dapat dikatakan juga Jepang saat itu sedang merintis sebagai negara adi kuasa di wilayah Asia Pasifik. Kemudian Indonesia menjadi salah satu wilayah yang diperebutkan antara Amerika Serikat dan Jepang. Kedua negara ini tidak akan melepaskan kepentingan ideologi politiknya masing- masing, Jepang dengan paham fasismenya yang selalu disokong oleh Jerman sedangkan Amerika Serikat sebagai negara Kapitalis/Liberalis disokong oleh Inggris dan Prancis di dalam Perang Dunia II menjadi faktor utama perebutan kekuasaan serta terjadinya kekacauan di wilayah Pasifik era tahun 1942-1945. Entah sejauh mana kemudian persaingan politik ini semakin membesar hingga di tahun 1945 Jepang mengaku kalah kepada sekutu, namun tetap saja dalam kondisi perang seperti ini akan banyak memunculkan korban- korban, baik dari pihak bangsa yang terjajah sendiri maupun dari pihak para penjajah. Tetapi hal yang paling menyedihkan dimana korban- korban yang muncul bukan hanya korban jiwa melainkan korban- korban penyiksaan secara fisik maupun mental, dan Jugun Ianfu menjadi suatu bukti betapa kejamnya kebijakan politik Jepang, yang menyudutkan para wanita tak berdosa ini jatuh pada jurang hitam peperangan Jepang dan sekutu tanpa melihat dampak- dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut pada saat ini. Stigma- stigma negatif yang kemudian dimunculkan oleh masyarakat pada para wanita ex. Jugun Ianfu yang masih hidup di masa senjanya saat ini, dan yang diharapkan adanya pembenaran sejarah tentang keberadaan para wanita- wanita ex. Jugun Ianfu ini agar stigma- stigma negatif tersebut perlahan dapat dihilangkan, karena mereka tidak menginginkan menjadi seorang pelacur melainkan karena dampak penjajahan dan mereka menjadi korban kekuasaan pemerintah Jepang, sehingga dengan terpaksa mereka menjadi budak- budak seks para tentara Jepang. Apa pun alasan yang muncul kepermukaan terkait keberadaan para ex. Jugun Ianfu ini, pemerintah Jepang menjadi satu- satunya pihak yang paling bertanggung jawab terhadap tragedi kemanusiaan ini, terutama terhadap para wanita di Indonesia dan di wilayah Asia Pasifik. Sehingga tentunya hal ini menjadi sebuah pembelajaran bagi kita semua, untuk tetap melihat sejarah, sebagaimana buruknya sejarah tersebut, tetapi sejarah adalah sebuah pembelajaran.  
Kemudian saya teringat tentang kata- kata kutipan dari Pramodeya Ananta Toer yang mengambarkan perjuangan ex. Jugun Ianfu yang hingga saat ini masih mencari keadilan pada pemerintah tentang kondisi dan nasib mereka sebagai korban penjajahan tentara Jepang. Demikian yang dikatakan Pram: “kalian para perawan remaja telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang akan menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu...... surat kepada kalian ini juga semacam protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun yang lewat”. Kata- kata Pram ini menjadi penutup dimana masih tetap ada harapan bagi para wanita ex. Jugun Ianfu yang kini akan tetap terus memperjuangkan keadilan atas apa yang mereka alami puluhan tahun yang lalu.

Oleh: Angga Riyon Nugroho (Pendidikan Sejarah USD '09)


Sumber Pustaka:
Buku
Baay, Reggie.2010.”Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”. Jakarta: Komunitas Bambu

Web/Blog
Coretan Pariyem, Senin, 7 Januari 2013, “Jugun Ianfu: Aku Bukan Pelacur! Potret Kelam Wanita Indonesia Atas Kekejaman Tentara Jepang” diunduh tanggal 14 Desember 2013
Yang Berjejak, 6 April 2007, “Luka Lama 62 Tahun Lalu” diunduh tanggal 14 Desember 2013




[1] Reggie Baay, “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”, Komunitas Bambu, 2010, hlm.4
[2] Merupakan wanita penghibur atau biasa dikenal sebagai pelacur pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ada sebagian beberapa wanita yang menjadi Jugun Ianfu karena terpaksa dan memang sengaja dipaksa oleh para tentara Jepang dengan iming- iming disekolahkan ke luar negeri atau menjadi pemain sandiwara
[3] Para wanita simpanan yang hidup bersama para serdadu kolonial dalam tangsi atau barak militer

18 Nov 2013

“Membisunya Pemerintahan Mahasiswa Universitas Sanata Dharma”




Terbentuknya pemerintahan mahasiswa dalam bentuk BEM/DPM pada saat ini membuka ruang politis yang begitu besar bagi mahasiswa untuk menentukan arah sikap politis terhadap kebijakan kampus maupun nasional. Namun apa jadinya ketika kita melihat pemerintahan mahasiswa (Student Government) yang saat ini selalu dieluk- elukan sebagai organisasi politis kampus justru hanya menjadi organisasi yang berjalan tunduk serta mengekor pada petuah kampus. Realita ini yang kemudian harus bersama- sama kita sadari bahwa lembaga sekelas BEM/DPM ataupun Senat pada saat ini hanya menjadi boneka dari pihak kampus/rektorat untuk menjalankan berbagai kepentingan- kepentingan yang tidak seluruhnya berpihak kepada mahasiswa. Apakah kemudian mahasiswa harus diam? Atau seolah- olah menjadi opportunis untuk mengambil kesempatan demi kepentingan pribadi mereka masing- masing. Entahlah namun kini peranan politis dari pemerintahan mahasiswa hanya sebatas pada perannya sebagai EO (Pembuat Acara) dibandingkan harus berjalan pada relnya sebagai alat advokasi politis bagi teman- teman mahasiswa di lingkungan kampus dan mengkritisi permasalahan- permasalahan nasional.

Kemandekan Intelektual Oleh Sistem Kampus
            Mahasiswa sebagai pemikir, atau mahasiswa sebagai penggerak seharusnya dapat menjadi tonggak perjuangan bagi masyarakat Indonesia. Namun hal ini kemudian akan menjadi hambar melihat sikap- sikap mahasiswa pada masa kini yang melupakan idealisme perjuangan dari para- para pendahulunya. Kita kemudian dapat melihat sebuah realita yang terjadi di lingkungan kampus Universitas Sanata Dharma. Bentuk perjuangan pemerintahan mahasiswa di kampus ini sudah mengalami kemandulan intelektual. Dimana semua akses yang harusnya dapat di mobilisasi oleh pemerintahan mahasiswa seperti BEM/DPM kini sudah mulai tertutup oleh sistem kampus. Proses demokratisasi kampus tidak di jalankan dan kemudian mahasiswa menjadi apatis bahkan oppurtunis. Jarang sekali terjadi dialog antar mahasiswa yang aktif di dalam organisasi kemahasiswaan dengan lembaga, apalagi mahasiswa awam. Pada akhirnya kampus ini sangat tenang dan jarang sekali terjadi kritik yang kemudian dilontarkan kepada pihak Universitas Sanata Dharma.
            Mungkin sekali lagi mahasiswa sudah jenuh dengan keadaan ini, pihak kampus salah satunya Wakil Rektor 3 saja sudah tidak bisa menerima masukan ataupun kritikan yang dilontarkan mahasiswa melalui media Persma apalagi mau menampung aspirasi mahasiswa. Kini seolah- olah kebijakan di kampus Universitas Sanata Dharma hanya bersifat satu arah. Tidak ada nilai tawar dari pemerintahan mahasiswa dan mereka hanya diam, semakin membisu dan tetap membisu.
            Coba saja kita kritisi permasalahan- permasalahan yang terjadi di dalam kampus Sanata Dharma, seperti permasalahan pemilihan rektor yang baru, masalah kinerja dosen ketika mengajar ataupun absensi kehadirannya, Konstitusi Organisasi Kemahasiswaan (KOK) dan permasalahan pemberian fasilitas yang kadang tidak sesuai dengan yang dibayarkan mahasiswa kepada pihak kampus. Apa masih ada satu pun mahasiswa yang mengatasnamakan dari pemerintahan mahasiswa di Universitas Sanata Dharma yang berani mengangkat permasalahan ini? Saya yakin tidak ada yang berani, mereka lebih nyaman dengan pekerjaannya di lingkungan kampus, dengan kegiatan minat bakat yang tidak bermutu dan seolah- olah mereka menjadi kelompok- kelompok yang kurang peka terhadap permasalahan sosialnya. Memang kita tidak akan bisa mempermasalahkan perkembangan masa yang begitu cepat sehingga menyebabkan degradasi sosial di dalam diri mahasiswa Sanata Dharma. Pada saat ini pun sangat mustahil bisa mengkordinir dan menggerakan mahasiswa Sanata Dharma untuk bisa turun ke jalan melakukan demonstrasi mengkritik pemerintahan Indonesia atau minimal kebijakan kampus. Tapi yang diharapkan mahasiswa tetap mengerti arah perjuangannya sebagai penggerak dan batu tapal pergerakan masyarakat. Di dalam buku yang ditulis Edy Budiyarso tentang Aksi Mahasiswa ‘77/78 menceritakan tentang peranan DM (Dewan Mahasiswa) sebagai lembaga pemerintahan mahasiswa yang mengkritik pemerintahan di masa Soeharto. Walaupun lebih banyak dikhususkan di dalam lingkungan kampus ITB, namun hal ini sudah mewakilkan gambaran pergerakan pemerintahan mahasiswa saat itu. Dimana akibat dari pergerakan tersebut kampus ITB di jaga oleh tentara dan beberapa pemimpin pemerintahan mahasiswa di tangkap.
            Sanata Dharma pun memiliki roh yang sama di era tahun 1998 ketika krisis moneter terjadi di Indonesia, Sanata Dharma yang menjadi salah satu Universitas Swasta di Yogyakarta yang menghimpun aksi mahasiswa di sekitaran Jalan Gejayan, yang kemudian memuncak pada Peristiwa Gejayan 1998. Pada saat ini mahasiswa sudah lebih nyaman dengan keadaannya, semuanya berkat para pendahulunya yang aktif dalam gerakan mahasiswa. Namun yang di minta pada mahasiswa saat ini bukan harus turun ke jalan, berdemonstrasi dan berpanas-panasan. Sekarang sudah berbeda masanya, segala bentuk perjuangan memang harus menyesuaikan dengan waktu dan zaman. Pada saat ini yang terpenting bagaimana mahasiswa Sanata Dharma mampu mengkritisi kebijakan kampus tanpa harus berdemonstrasi,  melalui cara- cara yang disenangi oleh mahasiswa pada saat ini. Hal tersebut  berlahan akan mengembalikan roh pergerakan mahasiswa serta dapat mengkritisi pemerintah Indonesia jika lapisan bawah mahasiswa sudah mampu mengkritisi permasalahan kebijakan kampus.
            Kemudian bagaimana merangkaikan media dialogal, diskusi dan konsolidasi antar pemerintahan mahasiswa di lingkungan kampus Sanata Dharma dengan baik dan tidak membosankan mahasiswa saat ini. Baik dengan media film, pembacaan analisis sosial, maupun musik menjadi jalan yang sangat untuk mengkritisi kebijakan kampus Universitas Sanata Dharma saat ini. Menjadi solusi yang kemudian dapat dibiasakan pada pemerintahan mahasiswa di Sanata Dharma. Menjadi sebuah alasan yang tepat bagi pemerintahan mahasiswa karena suara- suara mahasiswa tidak di dengar, dan demokratisasi kampus tidak berjalan. Dengan mengadakan kegiatan yang sifatnya santai di dalamnya ada sebuah kritikan yang kemudian disampaikan kepada pihak kampus yang semena- mena.

Peranan Pemerintahan Mahasiswa di Lingkungan Kampus
            Pembahasan ini saya angkat berdasarkan pertemuan saya dengan beberapa mahasiswa Sanata Dharma baik yang terlibat aktif dalam pemerintahan mahasiswa yang kemudian memberikan pandangannya tentang kegiatan- kegiatan BEM/DPM. Salah satu mahasiswa Pendidikan Sejarah ada yang berkomentar terkait keberadaan BEM/DPM di lingkungan kampus, baginya adanya BEM atau DPM dilingkungan kampus tidak berpengaruh bagi mahasiswa, bahkan tidak memberikan efek kinerja apa pun bagi mahasiswa.
            Kemudian saya juga bertemu dengan salah satu mahasiswa Akutansi yang masuk di dalam kepengurusan DPM USD yang mengatakan bahwa antara DPM U sebagai lembaga legislatif dan BEM USD sebagai lembaga eksekutif di dalam pemerintahan satu sama lain tidak bisa bekerjasama atau bahkan saling menjatuhkan demi eksistensi masing- masing, apalagi dengan melihat pengurus- pengurus BEM USD yang ada saat ini tidak memiliki mental sama sekali untuk siap bekerja di dalam kepengurusan BEM USD. Kemudian lebih mempertegas lagi kelambanan pemerintahan mahasiswa di dalam kegiatan berpolitik ketika salah satu pengurus HMPS Pendidikan Sejarah berpendapat bahwa BEM USD sama sekali tidak memberikan tanggapan ketika dari KPU Pusat memberikan wewenang bagi BEM USD untuk mendata para mahasiswa untuk kepentingan Pemilu 2014 mendatang. Hal ini kemudian memunculkan pragmatisme dan pesimisme terhadap organisasi kemahasiswaan sekaliber BEM USD yang kurang yakin membawa perubahan bagi mahasiswa USD.
Kemudian pada akhirnya antara lembaga pemerintahan mahasiswa di Sanata Dharma terpecah dan mereka berjalan pada lingkarannya masing- masing. Dalam segi kegiatan pun peranan antara BEM USD dan DPM U juga mulai keluar dari jalur relnya sebagai lembaga eksekutif dan legislatif. Lihat saja dengan agenda kegiatan DPM U yang mengadakan DPM U Cup untuk mahasiswa, atau BEM U yang mengadakan kegiatan Dies Natalis Universitas dengan rangkaian gelar budaya. Semua kegiatannya berbau EO dan bahkan mengikuti agenda Universitas, apa bedanya mereka- mereka ini dengan bawahan dari rektorat. Karena mungkin statusnya masih mahasiswa seolah- olah mereka hanya perpanjangan tangan dari kekuasaan rektorat kepada mahasiswa bukan wakil mahasiswa yang menyuarakan aspirasi dan advokasi kepada rektorat Universitas Sanata Dharma.
            Kemudian ada satu hal yang menarik yang saya dapatkan dari pemerintahan BEM USD kali ini, di kala saya hanya melihat sederetan ruang UKM, BEM U dan DPM U di Student Center yang ruangannya saling berdekatan satu sama lain namun sangat eksklusif tanpa ada sosialisasi satu sama lain, yaitu dari BEM U/DPM U kepada UKM, bahkan sampai ada disaat Ketua UKM Mapasadha yang ingin menanyakan tentang RKA kepada BEM U Presiden BEM U yaitu Carol tidak mengenal orang yang bertanya tentang RKA tersebut, yang sebenarnya adalah ketua dari UKM Mapasadha. Sungguh miris ya, Presiden ndak kenal sama rakyatnya, bahkan bukan rakyat ini semacam anggota DPRnya di dalam pemerintahan. Lalu apa kerjanya Presiden BEM U/DPM U ketika berada di ruangan bersama anggota- anggota? Hanya ndekem di ruangan, rapat, pulang. Padahal ruangan yang mereka pakai tersebut dari uang para mahasiswa Sanata Dharma yang kemudian di investasikan untuk pemerintahan mahasiswa. Kalau memang tidak ada manfaatnya buat keberadaan pemerintahan mahasiswa kenapa tidak ditiadakan saja, karena hanya menghabis- habiskan uang tanpa mahasiswa tanpa ada progres yang dikerjakan. Bahkan untuk blusukan kepada UKM saja tidak pernah, bagaimana mau mengenal mahasiswa yang ada ditingkatan Prodi, Jurusan maupun Fakultas. Dari permasalahan terkecil ini mengenai kultur saja Presiden BEM/DPM USD saja sudah merasa eksklusif dan mengandalkan eksistensi ketika memerintah, lalu bagaimana mahasiswa dapat merasakan peranan dari pemerintahan mahasiswa? Sekali lagi pemerintahan mahasiswa bukan ajang eksistensi untuk mencari muka bagi para mahasiswa di mata kampus melainkan sebuah batu tapal pergerakan politis mahasiswa di lingkungan kampus, seharusnya mereka berbicara. Tidak membisu apalagi harus menjadi golongan- golongan yang apatis dan oppurtunis terhadap kebijakan.  

Sumber:
Budiyarso, Edy.2000.Menentang Tirani “Aksi Mahasiswa ‘77/78”.Jakarta: PT. Grasindo


Penulis : Angga Riyon Nugroho (Pendidikan Sejarah 2009)

6 Nov 2013

“Militerisme Dalam Panggung Sejarah Indonesia”
Oleh: Angga 


Militer atau ABRI mungkin tidak pernah asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, dimana profesi ini selalu berkaitan dengan keamanan dan kegagahan. Namun siapa sangka di dalam sejarah Indonesia golongan- golongan ini dianggap menjadi golongan paling kejam, bahkan lebih kejam dari pemerintah kolonial Hindia- Belanda ketika menjajah Indonesia. Sosok tokoh- tokoh ABRI atau militer selalu mendominasi dari bingkai- bingkai foto para pahlawan nasional di Indonesia. Apakah ini yang kemudian menjadikan sejarah Nasional Indonesia merupakan juga sebagai sejarah militer? Entahlah, belum ada yang dapat memecahkan anggapan ini yang kemudian semata- mata hanya bertolak dari dominasi militer di dalam sejarah dan hampir disetiap masanya militer selalu dieluk-elukan sebagai “Hero” yang memberi pengamanan bahkan memerdekakan bagi Indonesia dari penjajahan. Namun masihkah kini militer/ABRI memiliki peran untuk mengayomi dan melindungi masyarakat terkait berbagai kontroversinya di dalam sejarah yang dianggap penjagal dan pembunuh masyarakat Indonesia sendiri? Kita sudah melihat tokoh- tokoh militer seperti Jenderal Sudirman, Urip Sumoharjo, A.H. Nasution, Jenderal Soeharto mungkin sedikit dari tokoh- tokoh militer yang selalu dieluk-elukan di dalam sejarah sebagai pahlawan nasional, namun apakah murni gelar kepahlawanan pantas disandang oleh tokoh- tokoh ini terkait kontroversi yang mengikat tokoh- tokoh ini yang menggunakan militer sebagai alat kekuasaan.

Militer di Era Kemerdekaan 1945-1959
            Di era sesudah tahun 1945 militer sebelumnya yang bernama tentara rakyat lahir beberapa bulan setelah dikumandangkannya Proklamasi 1945 di Jakarta, dari yang awal bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat), berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang kemudian beralih menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) kemudian memiliki peran menjaga kestabilan negara Indonesia yang baru berdiri dari pengaruh- pengaruh kolonial yang akan segera masuk setelah masa Jepang selesai di Indonesia. Tentu saja hal ini kemudian menempatkan posisi TNI sebagai garda terdepan dari perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia.
            Tentara NICA datang yang kemudian pasukan- pasukan ini mulai menguasai wilayah- wilayah terpenting di pulau Jawa dengan memperkuat pasukan yang dinamai KNIL. Tapi kemudian hingga tahun 1949 dan berpuncak pada Serangan Umum 1 Maret yang terjadi di Yogyakarta memaksa TNI harus ekstra keras menyelematkan ibukota republik Indonesia yang saat itu berpindah ke Yogyakarta. Soeharto menjadi tokoh terdepan sebagai komandan utama yang memimpin serangan balik dari berbagai penjuru kota Yogyakarta. Keberhasilan TNI di dalam melaksanakan Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap beberapa gempuran musuh dari beberapa arah kemudian menaikkan citra militer sebagai pahlawan kemerdekaan. Beberapa tokoh terpenting yang berperan di dalam Serangan Umum 1 Maret ini kemudian mendapatkan gelar pahlawan dan tugu penghormatan bagi yang gugur di Monumen Jogja Kembali.
            Masa- masa diplomasi kemerdekaan kemudian berujung pada KMB di Den Haag Belanda yang mewakili Indonesia saat itu adalah Mohammad Hatta. Lobby- lobby politik pun dilakukan untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia di mata dunia. Hasil dari perundingan KMB ini kemudian membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat). Dalam perjalanannya RIS kemudian kembali pada NKRI di tahun 1950. Kemudian pusat pemerintahan Indonesia kembali ke Jakarta. NKRI kemudian berjalan sebagai sebuah negara kesatuan yang bernama Indonesia, namun seiring berjalannya waktu, perkembangan NKRI tidak selamanya berjalan mulus, terjadi pemberontakan- pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik dalam golongan sipil maupun golongan militer. Sebut saja pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Raymond Westerling, Pemberontakan DI/TII yang terjadi di beberapa wilayah di NKRI, RMS, dan yang paling besar melibatkan pihak militer adalah PRRI/Permesta yang terjadi di Sumatera, sebuah pemberontakan militer yang dipersenjatai oleh CIA untuk memecah negara republik yang baru saja berdiri.
            Di dalam berbagai peristiwa pemberontakan dan perlawanan masyarakat Indonesia di awal masa pemerintahan Soekarno kemudian muncul nama- nama jenderal- jenderal yang memiliki peran di dalam penumpasan dari pemberontakan yang berlangsung dari tahun 1948- 1950an. Sebut saja seperti Kolonel A.H. Nasution di sebagai KSAD yang memimpin langsung penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera. Selain itu ada sosok Kolonel Bambang Supeno yang menggantikan peran A.H. Nasution sebagai KSAD. Hal ini membuktikan bahwa semenjak NKRI terbentuk militer telah mendominasi pada pemerintahan dan A.H. Nasution dianggap menjadi tokoh inti di dalam kemiliteran Indonesia, dikarenakan Nasution berhasil meloloskan diri dari kup besar di tahun 1965, bahkan disinyalir Nasutionlah yang akan menggantikan Soekarno sebagai Presiden Indonesia. Kemudian memunculkan persepsi betapa dekatnya dunia kemiliteran terhadap panggung politik dan ini terjadi pada sejarah Indonesia.
            Di tahun 1959 pemberlakuan sistem Demokrasi Terpimpin dikumandangkan oleh Presiden Soekarno, konfrontasi ganyang Malayasia kemudian digencar-gencarkan sebagai kekuatan politik Soekarno, hingga yang kemudian berujung pada konsepsi Nasakom oleh Soekarno menjadi bagian terpenting dalam sejarah. Apalagi militer juga memiliki peranan penting dalam aksi penganyangan Malayasia dan kekuatan pengamanan Presiden Soekarno yang  sempat terancam nyawanya akibat dari aksi oknum yang tidak bertanggung jawab yang tidak suka dengan segala kebijakan Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi dan Presiden Indonesia.  

Militer di Era Tahun 1965-1977
            Pasca tahun 1959 kondisi perekonomian Indonesia mengalami defisit, nilai rupiah semakin turun dan diperparah dengan kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Militer kemudian memiliki andil untuk mengambil alih kekuasaan secara berlahan, dengan menyebarkan berbagai propaganda terkait isu Dewan Jenderal hingga terjadi pembunuhan para Jenderal yang kemudian lebih terkenal dengan Gerakan 30 September 1965 (G30S). Kondisi chaos terjadi di beberapa daerah di Jawa, demontrasi besar- besaran terjadi pada beberapa organisasi mahaiswa yang menyebutnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menuntut pembubaran PKI di dalam parlemen pemerintahan Indonesia. ABRI ataupun militer memiliki peran cukup besar di dalam mendukung aksi mahasiswa ini dalam menumbangkan rezim Soekarno. Sehingga bukan hanya melakukan pengamanan demonstrasi melainkan pihak militer juga memberikan ruang gerak bagi para mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi damainya kepada Presiden Soekarno dan beberapa menteri di kabinetnya.
            Keberpihakan militer kepada para mahasiswa akhirnya benar- benarkan melemahkan posisi Soekarno pada pemerintahan Orde Lama. Konspirasi terselubbung yang terjadi antara militer dan gerakan mahasiswa kemudian membawa Soekarno pada tuduhan sebagai otak dari pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Militer pun berkuasa untuk mengamankan wilayah Indonesia yang sudah terkena pengaruh Komunisme, setelah ditemukannya jenazah para Jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya dua hari kemudian aksi pembersihan besar- besaran terhadap komponen yang ikut terlibat dengan PKI dilakukan. Militer menunjukan eksistensinya untuk mengambil alih kekuasaan Orde Lama yang mulai koyah. Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno mengeluarkan Supersemar yang memberi perintah kepada militer untuk mengambil alih keadaan dan menjaga stabilitas keamanan. Pertanyaanya apakah surat ini benar- benar pernah dikeluarkan oleh Soekarno, atau hanya rekayasa militer yang dipimpin oleh Pangkostrad Jenderal Soeharto untuk berlahan melakukan kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno? Entahlah namun di era tahun 1965-1966 pembunuhan massal terjadi di beberapa daerah di Indonesia khususnya Jawa dan Bali. Lebih dari 20.000 jiwa masyarakat Indonesia yang dituduh PKI melayang oleh pembantaian massal yang dilakukan oleh militer.
            Bayangan yang terlintas pada masa ini, sekeji itukah militer, tentara maupun pasukan pengamanan yang seharusnya melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara, namun justru membantai orang- orang yang belum tentu terlibat dalam peristiwa G30S. Bukan hanya itu dari buku yang mengkisahkan tentang wanita- wanita Gerwani dikisahkan bahwa tentara/militer yang melakukan tindakan pemerkosaan dan penyiksaan kepada wanita- wanita yang dituduh sebagai Gerwani, serta memberikan cap jelek pada wanita ini sebagai bekas tapol PKI tahun 1965. Mengenaskan memang ketika menelisik seberapa kebusukan militer di dalam sejarah Indonesia. Merasa paling kuat kemudian menindas bahkan membantai secara keji tanpa memandang hukum yang harusnya menjadi sebuah patokan bagi militer sebagai penegak hukum di negeri ini.  
            Di tahun 1967 Orde Baru berkuasa, militer mendominasi pemerintahan Orde Baru, Soeharto kemudian dilantik menjadi Presiden Indonesia yang kedua menggantikan Soekarno. Kondisi baru pada Indonesia kemudian semakin diperparah dengan adanya Dwi Fungsi ABRI di dalam pemerintahan. Beberapa menteri- menteri di masa pemerintahan Soeharto merupakan orang- orang yang membanting setir dari militer kemudian mulai berkecimpung ke dalam ranah politik. Meskipun sebagian ada menteri- menteri yang merupakan wakil dari organisasi gerakan mahasiswa yang berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama, dan mereka ini merupakan golongan- golongan Oppurtunis yang menjilat ludah sendiri yang kemudian  mulai kehilangan idealismenya demi sebuah kekuasaan.
            Di Era tahun 1970an, gerakan militer mulai masuk kampus sebagai program pengamanan kampus dari aktifitas politik mahasiswa baik di dalam senat maupun dewan mahasiswa. Kemudian muncul peristiwa Malari di tahun 1974 yang menjadi puncak dari kekesalan mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi daripada kesejahteraan rakyat Indonesia, lagi- lagi kediktatoran militer diperlihatkan disini. Hariman Siregar Ketua DMUI yang memimpin aksi Malari ini ditangkap dan diadili karena dari peristiwa ini dianggap telah menganggu keamanan serta stabilitas pemerintahan. Ujung dari peristiwa Malari 1974 ini kemudian beralih ke beberapa kampus- kampus yang ada di Jakarta maupun Bandung dengan melakukan pemeriksaan terhadap masing- masing kampus yang masih membandel melakukan kegiatan politik untuk melawan pemerintah Orde Baru. Seolah- olah kini militer menjadi musuh mahasiswa, hingga seolah- olah mahasiswa hanya dijadikan alat oleh militer untuk menjatuhkan orde baru dan kini terbuang, bahkan aksesnya untuk menyampaikan aspirasi secara demokratis di dalam kelembagaan mahasiswa dicap sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah.
 Kemudian dikeluarkanlah kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Keamanan Kampus)  oleh menteri Pendidikan saat itu Daoed Jusuf pada tahun 1978 yang kemudian di dalamnya berisi tentang kewajiban mahasiswa dalam memenuhi  targetan berada di kelas sebanyak 75%, mengganti seluruh kegiatan kemahasiswaan yang bersifat politis dengan kegiatan yang bersifat minat bakat ataupun Dies Natalis Universitas, diberlakukan jam malam dan pengamanan oleh Resimen Mahasiswa hampir terjadi di setiap kampus besar, seperti UI, ITB dan UGM. Kemudian mahasiswa yang berada dalam garis pergerakan tetap membangun pergerakan untuk melawan pemerintah militer Orde Baru dengan mengadakan seminar- seminar yang selalu diisi oleh beberapa tokoh yang memang kontra terhadap pemerintahan Orde Baru. Seperti yang disebutkan di dalam buku Edy Budiyarso “Menentang Tirani” yang menyebutkan A.H. Nasution sebagai tokoh milter di era tahun 1965 selalu diundang oleh para mahasiswa dalam kegiatan- kegiatan diskusi terselubung untuk mengungkap kebusukan- kebusukan yang terjadi pada pemerintahan Soeharto.  

Militer dalam Tragedi Semanggi 1998
            “Militer tak ada bedanya dengan fasis, tak ada bedanya dengan Nazi di Jerman”, “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Tidak Berguna, Bubarkan Saja” demikian yang dinyanyikan dan diorasikan oleh para mahasiswa  saat berdemonstrasi  menentang pemerintahan Orde Baru. Memang selayaknya militer atau ABRI  dapat disepadankan seperti nazi, mereka selayaknya digambarkan seperti geng- geng bajingan yang bisa berbuat apa saja disana- sini. Miris memang dari ke tahun citra militer semakin buruk, bahkan saat  marak- maraknya terjadi peristiwa penjarahan di Jakarta militer menjadi bagian dari pemerintahan Indonesia yang dimusuhi oleh sebagian mahasiswa dan masyarakat saat itu. Memang tak ubahnya militer hanya dijadikan mesin pembunuh oleh pemerintah, yang seakan- akan membantai aksi demonstrasi damai mahasiswa yang dianggap sudah melebihi batas kewajaran. Berbekal tameng, senjata lengkap dengan senapan dan amunisinya, menggunakan topi rimba ataupun helm sebagai pengaman pada akhirnya bersiap menghadang mahasiswa diseputaran jalan semanggi ataupun di depan gedung MPR/DPR.
            Sehingga ada satu teori yang kemudian muncul bahwa musuh mahasiswa di gerakan 1998 bukan sajalah pemerintahan Orde Baru, melainkan juga ABRI/militer, sehingga mahasiswa harus siap menghadapinya dengan cara apapun meski harus mempertaruhkan jiwa raganya sekalipun harus bertempur habis- habisan dengan bangsanya sendiri.
            Malam sebelum terjadinya tragedi semanggi 1998 terjadi penembakan besar- besaran terhadap para mahasiswa Trisakti dan Atmajaya Jakarta. Beberapa mahasiswa yang ikut turun berdemonstrasi jadi sasaran bulan- bulanan dari militer saat itu, sama halnya dengan Soeharto kala mengambil tindakan militer menumpas gerakan September 1965, dalam era ini muncul sosok Wiranto dan Prabowo sebagai bagian dari militer yang siap memusnahkan mahasiswa Trisakti dan Atmajaya yang melakukan demonstrasi. Dengan gagahnya menggunakan kendaraan pansernya Wiranto seolah- olah menjadi pahlawan yang dieluk-elukan masyarakat. Padahal situasi yang sebenarnya Wiranto menjadi penjagal bagi para mahasiswa- mahasiswa yang berdemonstrasi demi kepentingan masyarakat dan masa depan bangsa Indonesia. Namun propaganda yang diciptakan oleh militer berbeda, menyudutkan pihak mahasiswa sebagai biang keladi dari pecahnya tragedi Semanggi 1998. Banyak kesaksian- kesaksian dari organisasi- organisasi yang tergabung dalam Forkot (Forum Kota) yang mengungkapkan demikian, tentang keganasan dari aksi militer terhadap para mahasiswa. Sehingga Wiranto patut dipersalahkan dalam pecahnya peristiwa Semanggi 1998 serta bertanggung jawab atas penembakan yang terjadi pada mahasiswa saat itu.
            Kondisi Jakarta saat itu benar- benar mencekam, memuncak dengan penangkapan beberapa mahasiswa- mahasiswa yang mencoba melarikan diri ke area kampus mereka masing- masing, dan suara tembakan masih saja terus berdentuman hingga ke beberapa titik di wilayah Jakarta. Kematian 4 mahasiswa Trisakti yang tertembak menjadi puncak dari Tragedi Trisakti,  kemudian menjadi awal dari kegeraman mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang semakin tidak berperikemanusiaan, serta menyalagunakan wewenang militer demi kepentingan kekuasaan. Dalam aksi- aksi demonstrasi yang berikutnya hingga sampai pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai titik tolak reformasi di Indonesia, perlawanan mahasiswa berubah menjadi kerusuhan massal, dengan menembus barikade penjagaan ABRI dan Polisi yang berlangsung hingga masa pemerintahan BJ. Habibie yang hanya berselang beberapa bulan saja setelah Soeharto turun dalam tahta kediktaktorannya.  
            Kita memang tidak langsung akan melihat bahwa ABRI, TNI ataupun Militer menjadi bagian yang patut dipersalahkan dan dipojokkan dalam rekonstruksi sejarah Indonesia. Melainkan bagaimana sebagai bangsa Indonesia kita menyadari bahwa sejarah Indonesia diciptakan untuk kepentingan, sejarah Indonesia diciptakan untuk kekuasaan, dan militerisme akan terus mewarnai perjalanan panggung sejarah Indonesia dari masa ke masa. Tinggal bagaimana cara mengambil semangat yang terbangun dari militerisme, tidak selamanya militer akan berkonotasi pada hal yang sifatnya menyeramkan ataupun penjagalan. Tapi jadikanlah kesalahan yang terjadi pada militer  sebagai sebuah pelajaran agar bagaimana kedepannya peristiwa yang serupa tidak terulang kembali. Pembatasan dominasi militer di dalam pemerintahan Indonesia menjadi jalan keluar agar bidang militer tetap pada jalannya, tidak lagi dipolitisir oleh beberapa pihak, walaupun pada saat ini  Indonesia masih memiliki Presiden yang berlatar belakang militer yaitu SBY  namun besar  harapan suatu saat nanti  militer tetap pada bidangnya fokus dalam bidang pertahanan, keamanan dan penegakan hukum. Sehingga tidak selamanya melibatkan militer untuk terjun dalam dunia politik praksis yang membawa militer pada tirani yang menindas dan banyak disokongi oleh berbagai kepentingan kekuasaan. 

Penulis : Angga Riyon Nugroho "Pendidikan Sejarah 2009"

Sumber:
Budiyarso, Edy.2000.Menentang Tirani “Aksi Mahasiswa ‘77/78”.Jakarta: PT. Grasindo

Kardiyat, A. Wiharyanto. 2011.Sejarah Indonesia “Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009”.Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma

Militerisme Dalam Panggung Sejarah Indonesia


Militer atau ABRI mungkin tidak pernah asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, dimana profesi ini selalu berkaitan dengan keamanan dan kegagahan. Namun siapa sangka di dalam sejarah Indonesia golongan- golongan ini dianggap menjadi golongan paling kejam, bahkan lebih kejam dari pemerintah kolonial Hindia- Belanda ketika menjajah Indonesia. Sosok tokoh- tokoh ABRI atau militer selalu mendominasi dari bingkai- bingkai foto para pahlawan nasional di Indonesia. Apakah ini yang kemudian menjadikan sejarah Nasional Indonesia merupakan juga sebagai sejarah militer? Entahlah, belum ada yang dapat memecahkan anggapan ini yang kemudian semata- mata hanya bertolak dari dominasi militer di dalam sejarah dan hampir disetiap masanya militer selalu dieluk-elukan sebagai “Hero” yang memberi pengamanan bahkan memerdekakan bagi Indonesia dari penjajahan. Namun masihkah kini militer/ABRI memiliki peran untuk mengayomi dan melindungi masyarakat terkait berbagai kontroversinya di dalam sejarah yang dianggap penjagal dan pembunuh masyarakat Indonesia sendiri? Kita sudah melihat tokoh- tokoh militer seperti Jenderal Sudirman, Urip Sumoharjo, A.H. Nasution, Jenderal Soeharto mungkin sedikit dari tokoh- tokoh militer yang selalu dieluk-elukan di dalam sejarah sebagai pahlawan nasional, namun apakah murni gelar kepahlawanan pantas disandang oleh tokoh- tokoh ini terkait kontroversi yang mengikat tokoh- tokoh ini yang menggunakan militer sebagai alat kekuasaan.

Militer di Era Kemerdekaan 1945-1959
            Di era sesudah tahun 1945 militer sebelumnya yang bernama tentara rakyat lahir beberapa bulan setelah dikumandangkannya Proklamasi 1945 di Jakarta, dari yang awal bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat), berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang kemudian beralih menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) kemudian memiliki peran menjaga kestabilan negara Indonesia yang baru berdiri dari pengaruh- pengaruh kolonial yang akan segera masuk setelah masa Jepang selesai di Indonesia. Tentu saja hal ini kemudian menempatkan posisi TNI sebagai garda terdepan dari perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia.
            Tentara NICA datang yang kemudian pasukan- pasukan ini mulai menguasai wilayah- wilayah terpenting di pulau Jawa dengan memperkuat pasukan yang dinamai KNIL. Tapi kemudian hingga tahun 1949 dan berpuncak pada Serangan Umum 1 Maret yang terjadi di Yogyakarta memaksa TNI harus ekstra keras menyelematkan ibukota republik Indonesia yang saat itu berpindah ke Yogyakarta. Soeharto menjadi tokoh terdepan sebagai komandan utama yang memimpin serangan balik dari berbagai penjuru kota Yogyakarta. Keberhasilan TNI di dalam melaksanakan Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap beberapa gempuran musuh dari beberapa arah kemudian menaikkan citra militer sebagai pahlawan kemerdekaan. Beberapa tokoh terpenting yang berperan di dalam Serangan Umum 1 Maret ini kemudian mendapatkan gelar pahlawan dan tugu penghormatan bagi yang gugur di Monumen Jogja Kembali.
            Masa- masa diplomasi kemerdekaan kemudian berujung pada KMB di Den Haag Belanda yang mewakili Indonesia saat itu adalah Mohammad Hatta. Lobby- lobby politik pun dilakukan untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia di mata dunia. Hasil dari perundingan KMB ini kemudian membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat). Dalam perjalanannya RIS kemudian kembali pada NKRI di tahun 1950. Kemudian pusat pemerintahan Indonesia kembali ke Jakarta. NKRI kemudian berjalan sebagai sebuah negara kesatuan yang bernama Indonesia, namun seiring berjalannya waktu, perkembangan NKRI tidak selamanya berjalan mulus, terjadi pemberontakan- pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik dalam golongan sipil maupun golongan militer. Sebut saja pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Raymond Westerling, Pemberontakan DI/TII yang terjadi di beberapa wilayah di NKRI, RMS, dan yang paling besar melibatkan pihak militer adalah PRRI/Permesta yang terjadi di Sumatera, sebuah pemberontakan militer yang dipersenjatai oleh CIA untuk memecah negara republik yang baru saja berdiri.
            Di dalam berbagai peristiwa pemberontakan dan perlawanan masyarakat Indonesia di awal masa pemerintahan Soekarno kemudian muncul nama- nama jenderal- jenderal yang memiliki peran di dalam penumpasan dari pemberontakan yang berlangsung dari tahun 1948- 1950an. Sebut saja seperti Kolonel A.H. Nasution di sebagai KSAD yang memimpin langsung penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera. Selain itu ada sosok Kolonel Bambang Supeno yang menggantikan peran A.H. Nasution sebagai KSAD. Hal ini membuktikan bahwa semenjak NKRI terbentuk militer telah mendominasi pada pemerintahan dan A.H. Nasution dianggap menjadi tokoh inti di dalam kemiliteran Indonesia, dikarenakan Nasution berhasil meloloskan diri dari kup besar di tahun 1965, bahkan disinyalir Nasutionlah yang akan menggantikan Soekarno sebagai Presiden Indonesia. Kemudian memunculkan persepsi betapa dekatnya dunia kemiliteran terhadap panggung politik dan ini terjadi pada sejarah Indonesia.
            Di tahun 1959 pemberlakuan sistem Demokrasi Terpimpin dikumandangkan oleh Presiden Soekarno, konfrontasi ganyang Malayasia kemudian digencar-gencarkan sebagai kekuatan politik Soekarno, hingga yang kemudian berujung pada konsepsi Nasakom oleh Soekarno menjadi bagian terpenting dalam sejarah. Apalagi militer juga memiliki peranan penting dalam aksi penganyangan Malayasia dan kekuatan pengamanan Presiden Soekarno yang  sempat terancam nyawanya akibat dari aksi oknum yang tidak bertanggung jawab yang tidak suka dengan segala kebijakan Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi dan Presiden Indonesia.  

Militer di Era Tahun 1965-1977
            Pasca tahun 1959 kondisi perekonomian Indonesia mengalami defisit, nilai rupiah semakin turun dan diperparah dengan kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Militer kemudian memiliki andil untuk mengambil alih kekuasaan secara berlahan, dengan menyebarkan berbagai propaganda terkait isu Dewan Jenderal hingga terjadi pembunuhan para Jenderal yang kemudian lebih terkenal dengan Gerakan 30 September 1965 (G30S). Kondisi chaos terjadi di beberapa daerah di Jawa, demontrasi besar- besaran terjadi pada beberapa organisasi mahaiswa yang menyebutnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menuntut pembubaran PKI di dalam parlemen pemerintahan Indonesia. ABRI ataupun militer memiliki peran cukup besar di dalam mendukung aksi mahasiswa ini dalam menumbangkan rezim Soekarno. Sehingga bukan hanya melakukan pengamanan demonstrasi melainkan pihak militer juga memberikan ruang gerak bagi para mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi damainya kepada Presiden Soekarno dan beberapa menteri di kabinetnya.
            Keberpihakan militer kepada para mahasiswa akhirnya benar- benarkan melemahkan posisi Soekarno pada pemerintahan Orde Lama. Konspirasi terselubbung yang terjadi antara militer dan gerakan mahasiswa kemudian membawa Soekarno pada tuduhan sebagai otak dari pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Militer pun berkuasa untuk mengamankan wilayah Indonesia yang sudah terkena pengaruh Komunisme, setelah ditemukannya jenazah para Jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya dua hari kemudian aksi pembersihan besar- besaran terhadap komponen yang ikut terlibat dengan PKI dilakukan. Militer menunjukan eksistensinya untuk mengambil alih kekuasaan Orde Lama yang mulai koyah. Pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno mengeluarkan Supersemar yang memberi perintah kepada militer untuk mengambil alih keadaan dan menjaga stabilitas keamanan. Pertanyaanya apakah surat ini benar- benar pernah dikeluarkan oleh Soekarno, atau hanya rekayasa militer yang dipimpin oleh Pangkostrad Jenderal Soeharto untuk berlahan melakukan kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno? Entahlah namun di era tahun 1965-1966 pembunuhan massal terjadi di beberapa daerah di Indonesia khususnya Jawa dan Bali. Lebih dari 20.000 jiwa masyarakat Indonesia yang dituduh PKI melayang oleh pembantaian massal yang dilakukan oleh militer.
            Bayangan yang terlintas pada masa ini, sekeji itukah militer, tentara maupun pasukan pengamanan yang seharusnya melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara, namun justru membantai orang- orang yang belum tentu terlibat dalam peristiwa G30S. Bukan hanya itu dari buku yang mengkisahkan tentang wanita- wanita Gerwani dikisahkan bahwa tentara/militer yang melakukan tindakan pemerkosaan dan penyiksaan kepada wanita- wanita yang dituduh sebagai Gerwani, serta memberikan cap jelek pada wanita ini sebagai bekas tapol PKI tahun 1965. Mengenaskan memang ketika menelisik seberapa kebusukan militer di dalam sejarah Indonesia. Merasa paling kuat kemudian menindas bahkan membantai secara keji tanpa memandang hukum yang harusnya menjadi sebuah patokan bagi militer sebagai penegak hukum di negeri ini.  
            Di tahun 1967 Orde Baru berkuasa, militer mendominasi pemerintahan Orde Baru, Soeharto kemudian dilantik menjadi Presiden Indonesia yang kedua menggantikan Soekarno. Kondisi baru pada Indonesia kemudian semakin diperparah dengan adanya Dwi Fungsi ABRI di dalam pemerintahan. Beberapa menteri- menteri di masa pemerintahan Soeharto merupakan orang- orang yang membanting setir dari militer kemudian mulai berkecimpung ke dalam ranah politik. Meskipun sebagian ada menteri- menteri yang merupakan wakil dari organisasi gerakan mahasiswa yang berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Lama, dan mereka ini merupakan golongan- golongan Oppurtunis yang menjilat ludah sendiri yang kemudian  mulai kehilangan idealismenya demi sebuah kekuasaan.
            Di Era tahun 1970an, gerakan militer mulai masuk kampus sebagai program pengamanan kampus dari aktifitas politik mahasiswa baik di dalam senat maupun dewan mahasiswa. Kemudian muncul peristiwa Malari di tahun 1974 yang menjadi puncak dari kekesalan mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi daripada kesejahteraan rakyat Indonesia, lagi- lagi kediktatoran militer diperlihatkan disini. Hariman Siregar Ketua DMUI yang memimpin aksi Malari ini ditangkap dan diadili karena dari peristiwa ini dianggap telah menganggu keamanan serta stabilitas pemerintahan. Ujung dari peristiwa Malari 1974 ini kemudian beralih ke beberapa kampus- kampus yang ada di Jakarta maupun Bandung dengan melakukan pemeriksaan terhadap masing- masing kampus yang masih membandel melakukan kegiatan politik untuk melawan pemerintah Orde Baru. Seolah- olah kini militer menjadi musuh mahasiswa, hingga seolah- olah mahasiswa hanya dijadikan alat oleh militer untuk menjatuhkan orde baru dan kini terbuang, bahkan aksesnya untuk menyampaikan aspirasi secara demokratis di dalam kelembagaan mahasiswa dicap sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah.
 Kemudian dikeluarkanlah kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Keamanan Kampus)  oleh menteri Pendidikan saat itu Daoed Jusuf pada tahun 1978 yang kemudian di dalamnya berisi tentang kewajiban mahasiswa dalam memenuhi  targetan berada di kelas sebanyak 75%, mengganti seluruh kegiatan kemahasiswaan yang bersifat politis dengan kegiatan yang bersifat minat bakat ataupun Dies Natalis Universitas, diberlakukan jam malam dan pengamanan oleh Resimen Mahasiswa hampir terjadi di setiap kampus besar, seperti UI, ITB dan UGM. Kemudian mahasiswa yang berada dalam garis pergerakan tetap membangun pergerakan untuk melawan pemerintah militer Orde Baru dengan mengadakan seminar- seminar yang selalu diisi oleh beberapa tokoh yang memang kontra terhadap pemerintahan Orde Baru. Seperti yang disebutkan di dalam buku Edy Budiyarso “Menentang Tirani” yang menyebutkan A.H. Nasution sebagai tokoh milter di era tahun 1965 selalu diundang oleh para mahasiswa dalam kegiatan- kegiatan diskusi terselubung untuk mengungkap kebusukan- kebusukan yang terjadi pada pemerintahan Soeharto.  

Militer dalam Tragedi Semanggi 1998
            “Militer tak ada bedanya dengan fasis, tak ada bedanya dengan Nazi di Jerman”, “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Tidak Berguna, Bubarkan Saja” demikian yang dinyanyikan dan diorasikan oleh para mahasiswa  saat berdemonstrasi  menentang pemerintahan Orde Baru. Memang selayaknya militer atau ABRI  dapat disepadankan seperti nazi, mereka selayaknya digambarkan seperti geng- geng bajingan yang bisa berbuat apa saja disana- sini. Miris memang dari ke tahun citra militer semakin buruk, bahkan saat  marak- maraknya terjadi peristiwa penjarahan di Jakarta militer menjadi bagian dari pemerintahan Indonesia yang dimusuhi oleh sebagian mahasiswa dan masyarakat saat itu. Memang tak ubahnya militer hanya dijadikan mesin pembunuh oleh pemerintah, yang seakan- akan membantai aksi demonstrasi damai mahasiswa yang dianggap sudah melebihi batas kewajaran. Berbekal tameng, senjata lengkap dengan senapan dan amunisinya, menggunakan topi rimba ataupun helm sebagai pengaman pada akhirnya bersiap menghadang mahasiswa diseputaran jalan semanggi ataupun di depan gedung MPR/DPR.
            Sehingga ada satu teori yang kemudian muncul bahwa musuh mahasiswa di gerakan 1998 bukan sajalah pemerintahan Orde Baru, melainkan juga ABRI/militer, sehingga mahasiswa harus siap menghadapinya dengan cara apapun meski harus mempertaruhkan jiwa raganya sekalipun harus bertempur habis- habisan dengan bangsanya sendiri.
            Malam sebelum terjadinya tragedi semanggi 1998 terjadi penembakan besar- besaran terhadap para mahasiswa Trisakti dan Atmajaya Jakarta. Beberapa mahasiswa yang ikut turun berdemonstrasi jadi sasaran bulan- bulanan dari militer saat itu, sama halnya dengan Soeharto kala mengambil tindakan militer menumpas gerakan September 1965, dalam era ini muncul sosok Wiranto dan Prabowo sebagai bagian dari militer yang siap memusnahkan mahasiswa Trisakti dan Atmajaya yang melakukan demonstrasi. Dengan gagahnya menggunakan kendaraan pansernya Wiranto seolah- olah menjadi pahlawan yang dieluk-elukan masyarakat. Padahal situasi yang sebenarnya Wiranto menjadi penjagal bagi para mahasiswa- mahasiswa yang berdemonstrasi demi kepentingan masyarakat dan masa depan bangsa Indonesia. Namun propaganda yang diciptakan oleh militer berbeda, menyudutkan pihak mahasiswa sebagai biang keladi dari pecahnya tragedi Semanggi 1998. Banyak kesaksian- kesaksian dari organisasi- organisasi yang tergabung dalam Forkot (Forum Kota) yang mengungkapkan demikian, tentang keganasan dari aksi militer terhadap para mahasiswa. Sehingga Wiranto patut dipersalahkan dalam pecahnya peristiwa Semanggi 1998 serta bertanggung jawab atas penembakan yang terjadi pada mahasiswa saat itu.
            Kondisi Jakarta saat itu benar- benar mencekam, memuncak dengan penangkapan beberapa mahasiswa- mahasiswa yang mencoba melarikan diri ke area kampus mereka masing- masing, dan suara tembakan masih saja terus berdentuman hingga ke beberapa titik di wilayah Jakarta. Kematian 4 mahasiswa Trisakti yang tertembak menjadi puncak dari Tragedi Trisakti,  kemudian menjadi awal dari kegeraman mahasiswa terhadap pemerintah Orde Baru yang semakin tidak berperikemanusiaan, serta menyalagunakan wewenang militer demi kepentingan kekuasaan. Dalam aksi- aksi demonstrasi yang berikutnya hingga sampai pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai titik tolak reformasi di Indonesia, perlawanan mahasiswa berubah menjadi kerusuhan massal, dengan menembus barikade penjagaan ABRI dan Polisi yang berlangsung hingga masa pemerintahan BJ. Habibie yang hanya berselang beberapa bulan saja setelah Soeharto turun dalam tahta kediktaktorannya.  
            Kita memang tidak langsung akan melihat bahwa ABRI, TNI ataupun Militer menjadi bagian yang patut dipersalahkan dan dipojokkan dalam rekonstruksi sejarah Indonesia. Melainkan bagaimana sebagai bangsa Indonesia kita menyadari bahwa sejarah Indonesia diciptakan untuk kepentingan, sejarah Indonesia diciptakan untuk kekuasaan, dan militerisme akan terus mewarnai perjalanan panggung sejarah Indonesia dari masa ke masa. Tinggal bagaimana cara mengambil semangat yang terbangun dari militerisme, tidak selamanya militer akan berkonotasi pada hal yang sifatnya menyeramkan ataupun penjagalan. Tapi jadikanlah kesalahan yang terjadi pada militer  sebagai sebuah pelajaran agar bagaimana kedepannya peristiwa yang serupa tidak terulang kembali. Pembatasan dominasi militer di dalam pemerintahan Indonesia menjadi jalan keluar agar bidang militer tetap pada jalannya, tidak lagi dipolitisir oleh beberapa pihak, walaupun pada saat ini  Indonesia masih memiliki Presiden yang berlatar belakang militer yaitu SBY  namun besar  harapan suatu saat nanti  militer tetap pada bidangnya fokus dalam bidang pertahanan, keamanan dan penegakan hukum. Sehingga tidak selamanya melibatkan militer untuk terjun dalam dunia politik praksis yang membawa militer pada tirani yang menindas dan banyak disokongi oleh berbagai kepentingan kekuasaan.  
(Angga Riyon Nugroho)

Sumber: 
Budiyarso, Edy.2000.Menentang Tirani “Aksi Mahasiswa ‘77/78”.Jakarta: PT. Grasindo

Kardiyat, A. Wiharyanto. 2011.Sejarah Indonesia “Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009”.Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma

29 Oct 2013

“Gunakan Momentum Sumpah Pemuda, Buruh Mogok Bersama”


Esok hari tanggal 28 Oktober 2013, sebuah tanggal yang bersejarah bagi perjuangan pemuda Indonesia, dimana pada tanggal ini 85 tahun yang lalu pemuda- pemudi Indonesia yang tergabung dalam  Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Minahasa Bond, Madura Bond, Sumatranen Bond mengkumandangkan Sumpah Pemuda. Sebuah sumpah suci atas rasa nasionalisme para pemuda untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan. Melalui kongres Sumpah Pemuda yang diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928, pemuda- pemudi Indonesia mencoba menyatukan arah perjuangan, melepaskan kepentingan golongan dan kedaerahannya masing- masing hanya untuk merdeka dari penjajahan.
Tidak jauh berbeda dari pengalaman yang dilakukan oleh para pemuda- pemudi bangsa Indonesia di dalam sejarah Sumpah Pemuda, demikian halnya yang dialami oleh kaum buruh di Indonesia. Perjuangannya tidak akan pernah berhenti hingga kesejahteraan serta kelayakan hidup didapatkan oleh kaum buruh. Perkembangan kaum buruh di dalam sejarah justru sudah ada sebelum Sumpah Pemuda di kumandangkan di tahun 1928. Justru pergerakan kaum buruh di masa- masa tersebut sudah mendekati titik massif dalam perlawanannya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Di tahun 1917 Sarekat Islam Semarang yang dipimpin oleh Semaoen melakukan beberapa aksi mogok bersama kaum buruh yang berujung pada aksi- aksi propaganda menuntut keadilan serta kemanusiaan bagi para buruh yang diperlakukan sewenang- wenang oleh majikannya.
Bukti dari kesewenang- wenangan para majikan maupun para mandor kepada para buruh dituliskan dalam buku Di Bawah Lentera Merah, karya Soe Hok Gie, yang di dalamnya dikutip demikian: “Kesadaran betapa ampuhnya senjata mogok yang diorganisasikan dan dibantu Sarekat Islam, sebulan kemudian dipakai kembali. Permasalahannya ialah seorang mandor galak disebuah bengkel mobil yang memukul kulinya. Sarekat Islam Semarang menyatakan mogok dan akan terus mogok apabila tidak diambil tindakan. .......beberapa hari kemudian tuntutan SI diterima oleh majikan bengkel mobil”.  Kutipan ini menunjukan fungsi advokasi dari Sarekat Islam Semarang kepada kaum buruh yang mengalami kekerasan dari para mandor atau majikannya sehingga aksi mogok bersama menjadi isu yang selalu diangkat oleh Sarekat Islam yang pada saat itu juga didorong oleh ISDV untuk melakukan propaganda untuk melawan penindasan pemerintah kolonial terhadap kaum buruh melalui mogok massa.

Mogok Nasional, Jalan Keluar
            Melihat betapa militannya perjuangan kaum buruh di dalam sejarah, membuktikan bahwa buruh bukanlah merupakan kaum yang lemah, terdiskriminasi maupun terpinggirkan oleh para kaum penguasa. Mereka berani melakukan perlawanan dari masa ke masa. Tahun 1917 menjadi perlawanan pertama bagi kaum buruh di wilayah Hindia- Belanda (Indonesia), namun di tahun 2013 ini perlawanan buruh semakin mengalami perkembangan bahkan hingga ketingkatan nasional buruh- buruh bersatu melakukan mogok massal. Aksi mogok nasional buruh akan dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober sampai tanggal 31 Oktober 2013, hal ini berkaitan dengan reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang akan mengumumkan penetapan upah minimum buruh pada tanggal 1 November 2013. Perihal aksi pemogokan nasional buruh ini diungkapkan oleh said Iqbal Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang akan melibatkan seluruh elemen buruh untuk melakukan aksi turun ke jalan dan mogok kerja selama akhir Oktober hingga awal November sebelum pemerintah menetapkan kebijakan terkait upah minimum bagi kaum buruh. Mogok nasional ini pasti dilaksanakan, jumlah massa yang akan diajak untuk mogok bersama mencapai 3 juta orang di 200 kabupaten- kota, dan akan mengkonsolidasikan seluruh para buruh di bandara, pelabuhan, kantor- kantor dan pabrik- pabrik yang ada di hampir 20 provinsi di Indonesia.
            Momentum sumpah pemuda menjadi awal yang baik dalam pergerakan kaum buruh untuk melakukan mogok massal. Tentunya bukan saja pemerintah dan pengusaha yang diingatkan disini terhadap nasib kaum buruh serta kebijakan inpres terhadap kaum buruh, melainkan membukakan mata masyarakat bahwa buruh bukanlah kaum lemah, tertindas dan terjajah, melainkan sebaliknya mogok kerja merupakan senjata ampuh bagi buruh melawan kaum- kaum modal dan feodal di Indonesia. Namun setajam- tajamnya aksi mogok sebagai media perlawanan bagi kaum buruh dan cara mereka menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, kaum buruh juga harus berhati- hati dalam melancarkan serangan aksi mogok, agar tidak menjadi boomerang yang kemudian menjadi petaka bagi kaum buruh. Hal yang demikian diungkapkan oleh Soewarsono di dalam bukunya “Bergerak Berbareng” yang mencoba mengambil sisi lain dari aksi mogok yang dilaksanakan kaum buruh di era Sarekat Islam Semarang, dimana dikutip demikian:
“Soeatoe Pemogokan jalah sendjatanja kaoem boeroeh jang tadjem sendiri, tetapi kaloe kaoem boeroeh koerang pinter memakeinja, maka sendjata itoe bisa memboenoeh si kaoem boeroeh sendiri djoega (gaman makan toean)”
Jadi setajam-tajamnya aksi mogok nasional jika kaum buruh sendiri kurang cerdas dan pintar dalam memanfaatkan aksi mogok nasional ini, aksi mogok tersebut akan membunuh kaum buruh sendiri. Memang dapat dikatakan di masa kini aksi- aksi pemogokan buruh kian massif dan menjadi sebuah jalan keluar dalam memperbaiki nasib buruh kedepannya, namun ada baiknya jika memang kepentingan kaum buruh ini tidak dijadikan untuk kepentingan politik kekuasaan bagi golongan tertentu, sehingga murni gerakan ini lahir untuk memperjuangkan nasib kaum buruh.

Sumpah Pemuda Dalam Kerangka Gerakan Buruh
            Makna Sumpah Pemuda oleh sebagian orang selalu dimaknai dengan awal perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Diawali dengan isi dari Sumpah Pemuda, “Bertanah Air Satu, Berbangsa Satu, dan Berbahasa Satu”, ketiganya memiliki makna persatuan yang sangat dalam bagi perjuangan pemuda Indonesia. Namun sejak diproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945, makna kemerdekaan dan persatuan di dalam isi Sumpah Pemuda kini seolah- olah lenyap. Banyak pemuda- pemudi yang kini justru mensalahaertikan makna kemerdekaan itu sendiri, mereka menganggap Indonesia kini sudah merdeka 100 % tapi sebenarnya bentuk penjajahan yang dialami oleh Indonesia kini berupa penjajahan pola pikir karena perkembangan teknologi dan arus globalisasi.
            Pemuda- pemudi Indonesia kini masuk ke dalam lingkaran arus globalisasi dengan pengaruh- pengaruh budaya barat, dan semakin mempermudah untuk mengakses serta menggunakan teknologi. Nasionalisme kini pun dipertaruhkan demi sebuah pemahaman globalisasi yang berakar dari kapitalisme global. Ini menjadi sebuah tantangan berat bagi para pemuda- pemudi dimana jiwa serta roh Sumpah Pemuda mampu mengeliminasi perbedaan untuk mencapai kemakmuran bangsa.
            Berbicara masalah kemakmuran bangsa sebagai tujuan dari Sumpah Pemuda bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dicapai, dimana di dalam kacamata buruh di Indonesia belum satupun buruh di Indonesia yang dapat mencapai kesejahteraan serta kemakmuran bahkan dikatakan untuk hidup layak, selayaknya sebagai seorang pekerja. Ini menjadi persoalan penting di dalam gerakan buruh yang selalu dianggap memiliki kekuataan layaknya seorang pemuda- pemudi Indonesia untuk memperjuangkan tuntutan buruh kepada pemerintah, seperti isu- isu Outsourscing, pengadaan upah minimun kepada kaum buruh, kekerasan dan perbudakan terhadap kaum buruh, yang kini kian marak terjadi dan berakhir pada aksi- aksi demonstrasi kaum buruh untuk menciptakan kondisi Chaos di lingkungannya masing- masing. Oleh karena semangat Sumpah Pemuda ini kaum buruh akan selalu memanfaatkan momentum ini sebagai awal dari langkah perjuangan bagi kaum buruh. Dengan ikut mengandeng elemen- elemen gerakan mahasiswa maupun serikat- serikat pekerja buruh seolah- olah menjadi dewa yang mampu mengkerdilkan nyali pemerintah maupun para pengusaha swasta untuk berlaku sewenang- wenang terhadap kaum buruh.
            Pemerintah disini harus memiliki ketegasan untuk mengambil kebijakan terhadap kesejahteraan buruh, agar arus demontsrasi dan mogok nasional bisa semakin berkurang. Dalam kondisi seperti ini pemerintah melarang seluruh buruh untuk melakukan sweeping pada tanggal 28 Oktober esok ini, namun pemerintah sendiri tidak memiliki solusi dalam menangani masalah kesejahteraan dan kemakmuran bagi kaum buruh. Tentu saja demikian ketika, pemerintah saat ini bukanlah pemerintah yang memperhatikan nasib rakyatnya namun hanya memikirkan nasib perutnya sendiri dengan berbagai kasus korupsi yang ikut melibatkan beberapa oknum pemerintah saat ini, betapa rakus dan serakahnya pejabat-pejabat pemerintah saat ini. Kesenjangan sosial semakin terbuka lebar dan kesejahteraan yang diharapkan hanya sebuah mimpi belaka bagi kaum buruh. (Angga, Psej’09)

Sumber:
Buku
Soe Hok Gie.2005.Di Bawah Lentera Merah.Bentang Pustaka.Yogyakarta
Soewarsono.2000.Berbareng Bergerak “Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen”.LKIS.Yogyakarta

Web
Antara News.com “Buruh Rencanakan Mogok Nasional Akhir Oktober”diunduh tanggal 26 Oktober 2013
Gemari.or.id “Pemuda Miliki Idealisme Untuk Tentukan Sendi Kehidupan”diunduh tanggal 26 Oktober 2013

 Penulis : Angga Riyon Nungroho (Pendidikan Sejarah USD)