Tim Pawai Kebudayaan Pendidikan Sejarah

Atas : Loppias, Yudi, Roy, Adit, Suryo, Brurry | Bawah : Ade, Nova, Dimas, Ignatius, Cahyo, Yoshi

widget

20 Feb 2013

Haji Misbach: Antara Islamisme dan Komunis




“… di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama.”



Mungkin di dalam sejarah bangsa Indonesia tokoh ini tidak akan pernah seterkenal seperti tokoh- tokoh golongan kiri lainnya seperti Tan Malaka maupun Semaon namun dari pemikirannya terlahir sebuah paham keagamaan yang mampu progresif dan memiliki nilai kebangsaan untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan pada masa kolonial Belanda.
            Namanya Misbach, terlahir dari keluarga golongan santri di kota Surakarta/Solo sosoknya kemudian berubah menjadi sosok yang kontroversial, dengan pemahaman ideologinya yang berusaha memadukan Pan Islamisme dengan Komunisme yang digunakannya untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan penjajahan di kalangan masyarakat Surakarta saat itu. Sejak kecil Misbach yang merupakan putra dari seorang pedagang batik ini sudah mulai terbiasa dengan lingkungan disekitarnya yang memiliki pemahaman agama Islam cukup kuat, karena Misbach sendiri yang bernama kecil Ahmad ini dilahirkan dilingkungan Kraton Kasunanan Surakarta dekat dengan alun- alun utara Surakarta dan Masjid Agung Surakarta. Menjelang dewasa Misbach kemudian tumbuh menjadi pribadi yang sederhana dan ramah kepada setiap orang yang membuat dirinya tidak pernah membedakan status priyayi dengan golongan proletar seperti petani maupun buruh, bahkan dirinya setelah memiliki gelar haji sekalipun tetap memposisikan dirinya sebagai sosok yang merakyat dengan tidak memilih menggunakan sorban ataupun peci haji melainkan memakai ikat kepala jawa yang mengkhaskan dirinya sebagai sosok putra Jawa yang memperjuangkan kepentingan golongan- golongan proletar dengan tetap memegang teguh ajaran- ajaran agama yang dianutnya.
Di tahun 1914 Misbach mulai aktif dalam pergerakan diawalinya dengan bergabung bersama IJB (Indlandsche Journalisten Bond) yang kemudian juga bekerjasama dengan Marco yang sering juga disebut menjadi salah satu tokoh dari SI (Sarekat Islam), di tahun 1915 Misbach menerbitkan Medan Moeslimin, kemudian pada tahun 1917 dengan Islam Bergerak Misbach semakin berjaya membangun propaganda pada tataran masyarakat Surakarta saat itu, surat- surat kabar bentukan Misbach ini menjadi gerakan yang populer di wilayah Surakarta dan sekitarnya sehingga pada saat itu sangat mudah sekali membangun perlawanan masyarakat untuk menentang pemerintahan kolonial Hindia- Belanda. Kemudian dari media ini Misbach mulai berubah menjadi sosok yang propagandis dan populis bagi kalangan kaum pekerja/buruh.

Agama Bukan Slogan, Namun Gerakan
            Menjadi sosok pemuka agama seperti Misbach yang mengakui dirinya sebagai seorang haji tentu bukan perkara mudah untuk mengaplikasikan ilmu- ilmu agama yang telah di dapatnya kepada umat sebagai bentuk pengabdiannya sebagai seorang muslim dan sebagai seorang haji. Nampaknya pun demikian dengan tokoh- tokoh agama saat ini yang memiliki pandangan religius cukup kuat dari sekian banyak peristiwa yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Namun apakah agama hanya membuat seorang sosok Misbach hanya berdiam diri di bawah bendera penindasan dan imperialisme kolonial? Tentu tidak, inilah yang diharapkan dari sifat dan pandangan ideologisnya yang mencoba untuk menjadi Komunis walaupun statusnya adalah seorang haji sehingga tak banyak yang memberi julukan kepadanya sebagai haji merah yang populis.

            Asumsi saya kemudian menegaskan dari cara pandang dan berpikir orang- orang golongan kiri melalui kutipan kata ini “Ada sebuah cerita tentang kehidupan petani jawa yang miskin dan di upah sangat kecil oleh para tuan- tuan tanah, petani- petani miskin ini mengabdi kepada tuan tanah dan bekerja, mendapat upah namun tak seberapa. Upah- upah itu sama sekali tidak berharga. Jangankan bisa dikumpulkan untuk membeli tanah, untuk membeli baju pun teramat sulit. Kemudian cerita berlanjut. Sang utusan kemudian bertanya kepada petani Jawa: “mungkin sampean- sampean disini banyak yang ingin bertanya: Apakah tuan tanah itu beragama?” Ya tuan- tuan tanah itu beragama, juga orang- orang miskin yang dipekerjakan juga beragama. Mereka bertuhan dan beribadah tetapi, agama inilah yang membuat buruh tani tidak punya keinginan sama sekali untuk merubah nasibmereka sendiri. Agama- agama inilah yang membuat buruh tani menjadi bodoh dan semakin melarat, bahkan buruknya agama- agama ini semakin mengontrol para petani untuk taat kepada tuan- tuannya.”(Dharmawan 2011:30)
Sebuah kutipan yang bagi saya merupakan menjadi dasar berpikir dari Misbach sendiri untuk melakukan pergerakan bagi para kaum pekerja untuk berani melawan, dan berani untuk keluar dari ketertindasan kolonial masa itu. Cara berpikir yang populis dan berani dari sosok Misbach mungkin yang akan diungkapkan oleh Marco yang mengenal Misbach selama ini, seorang haji sekaligus seorang pedagang yang sadar akan penindasan kolonialis Belanda dan tertarik dengan ide- ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia (Indonesia) pada saat itu.
Sehingga dapat dikatakan pemikiran Misbach sendiri juga tidak akan pernah terlepas dari beberapa tokoh Komunis maupun gerakan radikal kiri yang sedang populer pada saat itu, seperti SI (Sarekat Islam) yang terpecah menjadi SI Merah dan SI Putih yang kemudian populer dengan sebutan SI Sayap Kiri dengan Semaoen sebagai pimpinannya kemudian memberikan pandangan baru untuk melakukan gerakan bagi Misbach untuk melakukan aksi- aksi pemogokan dan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Dengan demikian Misbach bukanlah semacam haji yang menerima mentah- mentah pemahaman agama tanpa mengaplikasikan secara nyata untuk melakukan revolusi dan terbebas dari penjajahan, namun sebaliknya Misbach selalu beranggapan bahwa keberadaan Islam sebagai agama di dalam kehidupannya sudah seharusnya memerdekakan dirinya dan masyarakat tertindas lainnya, sehingga gerakan Komunis yang dipilihnya sebagai suatu jalan untuk melakukan pembebasan tersebut sebagai seorang yang beragama dan bertuhan.

Sudah Saatnya Menanam Kebencian Pada Penindasan
Setelah banyak membicarakan dasar dari pemikiran Misbach yang lebih mementingkan kepentingan para kaum pekerja dan masyarakat tertindas tentu saja hal ini tidak akan terlepas dari kebencian Misbach terhadap lingkungan ditempatnya tinggal di wilayah Kauman, Surakarta yang terdiri dari pemuka agama dan  hanya berdiam diri ketika melihat situasi kemiskinan yang semakin terjadi pada petani dan buruh. Sebuah kebencian yang mendalam dari Misbach sehingga ia mengatakan hal yang demikian “… di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama.” Misbach melihat tidak semua golongan Islam berpihak kepada rakyat, masih banyak golongan- golongan pemuka agama Islam yang hanya mementingkan kekayaan pribadi daripada menolong kesusahan rakyat yang menderita karena penjajahan pemerintah colonial saat itu.



 Hal inilah yang kemudian membuat Misbach semakin kuat melancarkan pengorganisiran serta pemogokan kerja terhadap petani tahun 1919 dan membuat basis- basis pergerakan rakyat di Surakarta. Akibat aksi yang dibuatnya Misbach serta beberapa pimpinan aksi lainnya ditangkap oleh pemerintah kolonial di tahun 1920 dan Misbach di bebaskan kembali ke Surakarta pada tanggal 22 Agustus tahun 1922. Kembalinya Misbach dari pengasingan dan penangkapan tidak membuatnya jera untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda, di tahun 1923 Misbach kembali muncul sebagai propagandis Sarekat Islam Merah, ia kemudian menyuarakan tentang keselarasan antara paham kiri dan Islam.
Selain menjadi kaum propagandis untuk golongan petani dan buruh di Surakarta saat itu, Misbach juga menjadi sosok yang mencintai kesenian Jawa dan  mudah bergaul dengan kelompok anak muda Surakarta penikmat musik Klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer, sehingga dalam bidang kesenian Misbach sendiri merupakan sosok yang masih tetap mempertahankan tradisi tanah kelahirannya yang juga menjadi kawan berbincang bagi para pemuda yang menekuni kesenian musik Klenengan dan pertunjukan Wayang Kulit di Surakarta.

“Jangan Takut, Jangan Khawatir”
            Perlawanan Misbach terhadap antek- antek kapitalis tidak hanya berhenti melalui menggalang aksi- aksi pemogokan kerja bagi para buruh dan petani di wilayah Surakarta namun juga dalam bentuk perlawanan melalui tulisan. Misbach menjadi salah satu penulis aktif di media Islam Bergerak dan Medan Moeslimin. Banyak kritikannya yang ia tunjukkan kepada orang- orang yang mengaku Islam namun menjadi “Islam Lamisan”, kaum terpelajar yang berkata bijaksana namun menjadi penjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri. Selain itu kebencian Misbach terhadap golongan kapitalis teramatlah besar, siapa yang dianggapnya sebagai antek kapitalis akan dihadapinya melalui tulisan di Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Selain melalui tulisan Misbach juga dikenal karena perbuatannya “Menggerakan Islam” seperti mengadakan tabligh, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, menentang semua penyakit hidup boros dan bermewah-mewahan yang masih belum dapat ditinggalkan oleh segelintir kelompok pada masa itu yang akhirnya tidak mampu melihat apa yang terjadi pada masyarakat yang semakin ditindas oleh pemerintah kolonial Belanda.
            Melalui Slogannya yang sangat propagandis “Jangan Takut, Jangan Khawatir” seolah- olah Misbach memberikan harapan bagi masyarakat Surakarta saat itu khususnya golongan petani dan buruh bahwa perjuangan belum usai, berani untuk keluar dari ketakutan dan berani keluar dari kekhawatiran yang seakan- akan ingin disampaikan Misbach bahwa sebuah perlawanan yang dilakukan terhadap penindasan harus berani menghadapi rasa takut dan rasa khawatir di dalam diri. Slogan tersebut kemudian yang divisualisasikan Misbach dalam sebuah kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919, kemudian isinya menusuk kepada kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerjakan mereka, memberi upah kecil dan membebani pajak kepada mereka. Dengan keberadaan kartun ini memunculkan sebuah gerakan baru bagi para petani untuk melakukan aksi pemogokan, saat itu Paku Buwono X juga menjadi salah satu antek- antek pemerintah kolonial Belanda yang ikut menindas dan mempekerjakan petani dengan upah kecil terkena dampak dari aksi pemogokan para petani.
            Secara tidak langsung Misbach memberikan dorongan kepada para petani maupun para buruh di Surakarta untuk mampu menghilangkan rasa ketakutan mereka dari penindasan, “Jangan Takut digantung, dihukum, dibuang” demikian perkataannya kepada rakyat yang kemudian mengobarkan sebuah semangat perlawanan   terhadap kaum- kaum penindas. Karena memang bagi Misbach kapitalisme menjadi biang dari kehancuran nilai- nilai kemanusiaan dan agama rusak pun karenanya.


 Pada tanggal 7 Mei 1919 Misbach tangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dan ditahan di Semarang sebelum kemudian dipindahkan ke Manokwari, Papua. Berbagai upaya dari teman- teman seperjuangan Misbach untuk membebaskan Misbach dalam persidangan namun semua hukuman semakin memberatkan Misbach dan ia tetap saja ditahan. Keseharian Misbach pun hanya diisi dengan menulis laporan perjalananya yang berjudul “Islamisme dan Komunisme” dan membaca Al-Quran.
Di tengah ganasnya alam  pengasingan  bersama Istri dan anaknya di Manokwari Misbach menderita penyakit Malaria. Misbach pun meninggal pada 24 Mei 1926 yang kemudian dimakamkan di kuburan Penidi, Manokwari, disamping kuburan istrinya. Walaupun kini sosoknya telah tiada dan hilang tanpa jejak di pengasingan namun sebuah pemahaman tentang sebuah pergerakan agama dan komunis tidak akan pernah luntur dari ingatan sejarah nasional Indonesia. Perannya sebagai seorang haji merah memang tidak pernah banyak diketahui oleh para generasi muda saat ini, namun bagaimana sebuah pemahaman yang akan didapatkan tentang agama yang seharusnya membebaskan, bukan membelenggu pada penindasan, keterpurukan dan kebodohan menjadi sebuah inti dan dasar dari pergerakan Misbach selama ini dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi para petani dan buruh, walaupun harus Komunis yang ia pilih sebagai langkah gerakan melawan penjajahan. “Akhirnya kita sadar bahwa agama bukanlah sebuah teori yang harus saling diperdebatkan satu sama lain untuk mencapai suatu kebenaran, namun kebenaran tersebut akan kita peroleh jika kita mau berjuang dan mau berusaha dalam sebuah pergerakan bukan hanya berdiam diri dan berbicara pada kebohongan diri sendiri.”
Sebuah Kutipan kata- kata Misbach di Medan Moeslimin sebelum ditangkap dan diasingkan:
 “…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.”  (A.R.)

Daftar Pustaka:

Dharmawan, Rus.2011.Inkonsistensi Gerakan Radikal Kiri”Praktik Politik Kaum Komunis di Indonesia”.Kreasi Wacana.Yogyakarta

Rakyat Sejahtera.htm “Mengenal Sepak Terjang Haji Misbach” diunduh tanggal 11 Februari 2013


Penulis                   : Angga Riyon Nugroho
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Angakatan 2009


15 Feb 2013

Menambatkan Cinta Pada Keindahan Pesona Ranu Kumbolo



“Disanalah Dia Bersemayam, Di Puncak Keabadian Para Dewa”

Dimana setiap orang akan memaknai sebuah ungkapan makna diatas ini sebagai pertanda kebesaran dari sang pencipta. Soe Hok Gie selalu mengimpi-impikan untuk dapat mendaki puncak tertinggi di tanah Jawa, Puncak Mahameru (3431 Mdpl) yang terletak di provinsi Jawa Timur. Kematian Soe Hok Gie yang menghirup gas beracun sebelum puncak Mahameru sehari sebelum ulang tahunnya ternyata membuat Gunung Semeru ini semakin banyak diminati dan dikunjungi khususnya bagi para pencinta alam maupun para penggiat kegiatan petualangan di alam terbuka. Menurut mitologi Gunung Semeru merupakan pusat dari segala gunung yang terdapat di pulau Jawa, karena merupakan titik tertinggi dari segala gunung- gunung di Jawa baik yang membentang kearah barat maupun disekitar wilayah Jawa Timur. Diatas puncak gunung inilah tempat berkumpulnya para Dewa yang melakukan pendakian ke gunung ini setelah berakhirnya Perang Baratayudha antara Kurawa dan Pandawa di Kurusetha menurut cerita dalam pandangan agama Hindu. Namun dari segala misteri yang terdapat di Gunung Semeru ini, keindahan yang tiada tara justru dinampakan sepanjang perjalanan pendakian menjelang Puncak Mahameru, salah satu tempat yang paling diminati dan di favoritkan oleh para pendaki Gunung Semeru ialah Ranu Kumbolo. Bak tempat yang romantis dengan diselingi keindahan hutan pinus Subtropis membuat seolah- olah Ranu Kumbolo seperti surga yang indah dan dijarang dijamah oleh manusia karena wilayahnya yang masih hijau dan dingin. 

Suatu saat saya mengerti dan tahu kenapa alasannya Soe Hok Gie memilih berakhir hidupnya di Gunung Semeru, memang suasana di Semeru tidak akan pernah diketemukan ditempat- tempat yang lain di pulau Jawa, dan memang pantas tempat ini sering disebut sebagai Kahyangannya para dewa, karena memang tidak ada yang dapat melukiskan segala keindahan yang dapat dilihat dari Ranu Kumbolo sendiri, seperti tuhan yang maha esa akan selalu menyajikan segala keindahan- keindahan yang akan membuat manusia takjub dan terheran- heran. Ranu Kumbolo sendiri merupakan sebuah Danau Vulkanik bekas aktifitas kawah mati Gunung Semeru yang airnya tidak akan pernah habis baik dimusim kemarau maupun musim hujan yang terbentuk dari gejala vulkanik Gunung Semeru. Dengan ketinggian sekitar 2400 Mdpl, Ranu Kumbolo memberikan keeksotisan sendiri bagi para pengunjung yang dating hanya untuk sekedar camping di Ranu Kumbolo atau ada yang melakukan pendakian hingga menuju Puncak Mahameru. Tentu ini menjadi bagian potensi wisata di wilayah Jawa Timur khususnya bagi masyarakat Lumajang sendiri yang menjadikan Ranu Kumbolo sebagai bagian dari tempat wisata yang ada di wilayah Taman Nasional Bromo- Semeru, Tengger.

Untuk menuju Ranu Kumbolo perjalanan akan di mulai melalui kota Lumajang, kota yang memiliki julukan sebagai kota Pisang terbesar di Jawa Timur ini merupakan kota yang menjadi pintu masuk dari pendakian Gunung Semeru. Jika melewati arah kota Malang dari Tumpang dapat langsung menuju Resort Ranu Pane untuk mendaftarkan pendakian menuju puncak Mahameru atau hanya sekedar mampir menikmati Ranu Kumbolo, sebelum mendaftarkan diri pada basecamp pendakian Ranu Pane terlebih dahulu para pengunjung Gunung Semeru maupun para pendaki menyiapkan persyaratan administrasi seperti foto copy KTP dan surat keterangan sehat dari dokter maklum pendakian Gunung Semeru ini memang memiliki resiko yang cukup tinggi yang dapat dilihat dari aktifitas Gunung Semeru sendiri yang setiap 10 menit sekali selalu mengeluarkan kepulan asap hitam dan gas beracun sehingga perlu dipersiapkan kemampuan serta fisik yang prima dari para pengunjung maupun pendaki Gunung Semeru. Dari Pasar Tumpang, Malang perjalanan dapat dilanjutkan dengan menggunakan mobil Jeep besar menuju kecamatan Senduro yang merupakan kecamatan terakhir sebelum memasuki kawasan Ranu Pane, Lumajang. Setelah memenuhi persyaratan administrasi di Resort Ranu Pane pengunjung Ranu Kumbolo akan melewati kawasan perladangan penduduk yang ditanami tanaman palawija, buah- buahan dan wortel yang merupakan tanaman khas pegunungan di Jawa. Terkadang pengunjung hanya datang untuk sekedar menikmati pemandangan kaki Gunung Semeru dan sekedar mengelilingi Danau/Ranu. Karena memang suasananya jauh dari hiruk pikuk perkotaan, begitu tenang dan damai, sehingga banyak diminati oleh para pengunjung dari sekitar wilayah Lumajang seperti Malang atau Jember hanya untuk sekedar menikmati keindahan dan pemandangan alam yang masih begitu indah tanpa dijahili oleh tangan- tangan nakal manusia sekalipun di wilayah Gunung Semeru ini.


Perjalanan akan di mulai dari pos perijinan Ranu Pane menuju beberapa pos istirahat para pendaki sekitar terdapat 4 pos yang harus di lalui terlebih dahulu sebelum merasakan keindahan dari pesona Ranu Kumbolo dan mendirikan tenda di camping groundnya. Perjalanan menuju pos 1 akan memasuki pintu gerbang pendakian Gunung Semeru dengan memasuki kawasan perladangan penduduk yang ditanami tanaman wortel, kentang, bawang bambu dan berbagai macam buah- buahan khas pegunungan Suku Tengger. Setelah memasuki perladangan penduduk pengunjung akan memasuki kawasan semak belukar dan hutan pinus yang cukup lebat sehingga pemandangan sepanjang perjalanan dari pos 1 menuju pos 2 cukup menanjak dengan dominasi pemandangan hutan yang sejuk dan dingin perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 dan menuju Ranu Kumbolo sekitar 500 meter namun jarak tersebut bukan termasuk untuk mencapai kawasan camping ground Ranu Kumbolo melainkan sampai menuju pos 4 hanya akan melihat Ranu Kumbolo dari kejauhan sedangkan untuk mencapai camping ground Ranu Kumbolo akan berjalan beberapa kilometer lagi untuk mencapai pinggiran Ranu/Danau. Demi menambatkan cinta dan kerinduan untuk melihat keeksotisan Ranu Kumbolo tak sedikit dari para pengunjung maupun pendaki berusaha untuk mencapai camping ground Ranu Kumbolo untuk menikmati pemandangan yang tidak akan pernah di dapatkan jika berada di perkotaan.

Ranu Kumbolo menjadi bagian dari misteri keagungan sang pencipta terhadap manusia melalui keindahan Gunung Semeru. Dengan dikelilingi hutan subtropis disekitarnya tidak jarang kawasan Ranu Kumbolo selalu meneteskan titik- titik es ketika malam hari yang semakin menambah kedinginan khas Semeru yang semakin menusuk kulit para pengunjung dan pendaki Gunung Semeru. Lalu setelah melewati Ranu Kumbolo para pendaki dan pengunjung akan melewati Tanjakan Cinta, serta beberapa tempat yang unik lainnya menjelang puncak Mahameru seperti Oro- oro Ombo, Arcopodo, Jambangan, dan Kalimati yang menjadi batas vegetasi terakhir sebelum berpetualang menuju tanah tertinggi di pulau Jawa, Mahameru. Cinta yang begitu indah pada keindahan dan keeksotisan alam Indonesia salah satunya akan terlukiskan pada keindahan Ranu Kumbolo, ingin kutambatkan cintaku padamu Ranu Kumbolo yang dingin dan sepi. Pesona Ranu Kumbolo layak dinikmati jika kalian mengaku orang Indonesia yang mencintai keindahan alam Indonesia. “Salam Lestari”. (Angga, Psej’09)

  
                                                Foto Ranu Kumbolo dari Tanjakan Cinta




















Ekspedisi Puncak Sindoro II: “Melawan Dinginnya Hujan dan Rasa Kantuk yang Merajam”



Liburan semester telah di depan mata, tidak lama lagi juga hari Natal akan tiba, ingin rasanya berkumpul bersama teman- teman sebelum berpisah pada liburan semester yang panjang ini, ada kerinduan untuk kembali melakukan perjalanan menjadi astronot gunung- gunung tinggi di Jawa Tengah. Gunung yang akan kami pilih kali ini adalah Gunung Sindoro (3153 Mdpl) bagi saya gunung ini memiliki cerita tersendiri yang unik bagi saya dengan 15 orang teman- teman mahasiswa yang lain ketika pertama kali mendaki gunung ini melalui jalur Sigedang, Wonosobo. Ketika kesasar dan tidak menemukan jalur pendakian menjadi bagian yang unik dan pengalaman yang berkesan bagi saya, sehingga tidak begitu merasa asing dengan medan serta alam yang ada disekitar lereng gunung yang berstatus aktif normal ini. Kami putuskan untuk mendaki Gunung Sindoro pada tanggal 21 Desember 2012, melalui jalur pendakian Sigedang. Kali ini yang ikut mendaki Gunung Sindoro tidak sebanyak ketika saya pertama kali mendaki gunung ini hanya 6 orang, 3 orang mahasiswa Pendidikan Sejarah dan 3 orang mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma.

Ngaret lagi..........Ngaret lagi............ 
Kami bersama- sama berangkat dari kampus Mrican rencana pukul 12.00 WIB, namun akhirnya berangkat dari kampus baru bisa pukul 13.00 WIB karena Intan terlambat datang dan saya sendiri harus mempersiapkan tenda yang akan digunakan pada ekpedisi ini. “Biasalah kebiasaan orang Indonesia, ngaret lagi.......ngaret lagi........,begitu dalam hatiku.” Perjalanan kami mulai melalui jalur alternatif menuju Wonosobo melalui Candi Borobudur, pada hari itu kondisi cuaca berubah- ubah perjalanan dari Jogja kondisi langit sudah sangat gelap dan mendung, menjelang perjalanan menuju jalan alternatif Purworejo- Wonosobo sedikit- sedikit gerimis kami rasakan sehingga beberapa kali laju motor kami harus terhenti karena hujan yang begitu lebat dan kabut yang sudah mulai turun menjelang perjalanan menuju ke Agro wisata Tambi. Menjelang pintu gerbang Agrowisata Tambi tiba- tiba motor yang dipakai oleh Intan dengan Lupi tiba- tiba bocor bannya sehingga perjalanan yang saat itu sudah disertai dengan hujan yang cukup deras akhirnya terhenti kembali untuk mengganti ban motor Intan yang bocor.

Kemudian perjalanan kami lanjutkan kembali sekitar 1 km dari pintu gerbang Agrowisata Tambi menuju rumah mas Slamet, salah satu warga desa Sikatok yang kediamannya dijadikan pos pendakian menuju puncak Gunung Sindoro, maklum saja di jalur pendakian Gunung Sindoro via Sigedang ini belum memiliki basecamp resmi, jadi terkadang bisa menginap sementara di rumah mas Slamet atau menginap di rumah sang juru kunci Gunung Sindoro yang bernama mbah Amien di desa Sigedang. Kami sampai di rumah mas Slamet sekitar pukul 20.00 WIB karena harus lapor terlebih dahulu di kediaman mbah Amien di Sigedang agar perjalanan lebih aman. Malam itu kondisi cuaca sangat buruk hujan disertai badai tidak berhenti sama sekali sejak pukul 17.00 WIB tutur mas Slamet yang berada dirumah sejak tadi sore. Sehingga kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan pendakian keesokan harinya sekaligus mengeringkan baju- baju kami yang basah karena terkena hujan sepanjang perjalanan tadi. Suasana malam yang dingin di rumah mas Slamet kami isi dengan berbagai macam obrolan- obrolan tentang Gunung Sindoro maupun obrolan- obrolan tentang politik maupun sejarah maklum ada 3 orang mahasiswa Sejarah disini yang saling berbagi pengalaman dengan 3 orang mahasiswa dari Fakultas Ekonomi sembari saya juga memasakkan mie instan kepada teman- teman yang kedinginan maupun membuatkan air panas untuk yang ingin minum kopi atau teh.

Kabut Tipis, Dingin di Desa Sikatok
Tidak terasa pagi hari tanggal 22 Desember 2012 pun menyambut kami dengan rasa kantuk yang sangat merajam dan dingin yang sangat luar biasa, saya semalaman hanya memakai celana kolor karena celana tentara saya basah ketika kehujanan sepanjang perjalanan kemarin, mungkin buat saya sudah tidak begitu berasa dingin karena memang kulit saya tebal dan gemuk tidak seperti teman- teman yang lain yang masih kedinginan berselimut Sleeping Bag ataupun jas hujan yang sudah mulai mongering. Pagi itu kami targetkan bangun pukul 05.00 WIB namun ternyata karena kami semua kedinginan mau tidak mau ngaret lagi akhirnya kami baru memulai pendakian pukul 07.00 WIB setelah mas Slamet pamit kepada kami untuk berangkat bekerja di perkebunan teh. Untuk mengisi tenaga beberapa teman- teman sudah disuguhi teh tawar panas oleh istri mas Slamet dan saya juga mempersiapkan tanaman rendali yang akan coba kami tanam sepanjang jalur pendakian agar tidak terlihat gersang sesudah kebakaran beberapa bulan yang lalu. Setelah semua siap kami pun mengawali perjalanan pendakian pada pagi itu dengan sedikit rasa kantuk dan sedikit rasa dingin yang begitu menyengat dikulit kami, namun kami masih semangat untuk menggapai puncak Gunung Sindoro. Perjalanan kami diawali doa bersama yang dipimpin oleh Doly, yang kami katakana disini sebagai bapak Pendeta dari Batak yang sangat khas sekali dengan logat bataknya. Kemudian kami berangkat dari rumah mas Slamet setelah berpamitan sejenak dengan istri mas Slamet, kemudian kami menyusuri perkebunan teh yang masih begitu hijau, dari sini tenaga saya dan beberapa teman- teman sempat terkuras karena begitu menanjaknya perkebunan teh di desa Sigedang ini. Akhirnya sampai juga di shelter 2 dengan kondisi kabut yang masih begitu pekat dan tebal namun berlahan sudah disertai dengan pancaran sinar matahari pagi. Setelah melewati shelter 2 kami pun harus mencapai satu shelter lagi sebelum perbatasan perkebunan teh dengan hutan pinus.

Perjalanan mulai begitu ramai bersamaan dengan masyarakat desa Sigedang dan Sikatok yang mencari kayu bakar di hutan pinus yang terbakar beberapa bulan yang lalu. Dengan suasana khas pedesaan dan pegunungan kami sempat beberapa kali bercengkrama dengan penduduk setempat walau kami merasa fisik kami pada pagi itu tetap kalah dengan penduduk setempat yang sudah mendahului tim kami yang istirahat sejenak karena kelelahan dengan jalan menanjak sepanjang perkebunan teh. “wah masyarakat disini ternyata sangat kuat- kuat sekali ya, berbeda dengan kami yang belum sampai perbatasan ladang penduduk sudah kelelahan memanggul carier dan tas ransel yang kami bawa, sangat kagum saya dengan mereka”. Mungkin begitu yang saya rasakan ketika melihat semangat dari masyarakat desa yang bersama- sama mengambil kayu bakar di lereng Gunung Sindoro. Akhirnya kami sampai juga di shelter 3 dari sini jika cuaca bagus puncak Gunung Sindoro terlihat jelas, namun pagi itu kondisi berubah- ubah kadang terlihat cerah namun langsung ditutupi oleh kabut tebal. Perjalanan kemudian kami lanjutkan menuju pos perhutani dan batu besar, dengan vegetasi bekas hutan pinus yang terbakar, Doly pun sangat merasa prihatin dengan kondisi hutan Gunung Sindoro yang sudah mulai rusak dan tidak ada tindakan konservasi apapun baik dari perhutani maupun masyarakat setempat, sempat dia berbincang dengan saya untuk menghijaukan hampir lebih dari 2 hektar lahan hutan Gunung Sindoro yang terbakar beberapa bulan yang lalu ini. Akhirnya batas ladang penduduk pun terlewati sudah mendekati pos batu besar karena sudah melewati pos perhutani yang sudah tidak ada bekas atap/shelter lagi disini namun ada sedikit tempat datar untuk mendirikan 1-2 tenda disini, namun jarak dengan puncak masih cukup jauh sekitar 2-3 jam lagi dari pos perhutani ini. Diatas batu besar kami mulai mengeluarkan bibit rendali untuk ditanam disekitar lahan yang sudah terbakar ini, sambil istirahat sejenak rasa kantuk pun mulai menyerang hampir ada satu jam kami berada disini dengan kondisi kabut tebal yang mulai menutupi pandangan kami menuju puncak Gunung Sindoro. Intan dan Ius sempat tertidur beberapa menit diatas batu besar ini, Daniel sendiri sempat beberapa kali mengeluarkan Hpnya dan sibuk menelepon kakaknya yang ada di Flores sedangkan doly yang mungkin semalaman kelaparan sedang sibuk menghabiskan salak yang dibawa oleh Intan di dalam tas ranselnya. Walaupun teman- teman nampak lelah semangat mereka untuk menaklukan Gunung Sindoro ini tidak akan pernah runtuh, setelah semuanya terbangun dari rasa kantuk yang merajam perjalanan kemudian dilanjutkan sampai melewati batas watu susu yang sudah tidak bisa terlihat disamping kiri jalur pendakian karena kebakaran yang hebat di Gunung Sindoro.

Sesampainya di watu susu Daniel mulai menanam beberapa bibit rendali kembali di beberapa lahan yang memang masih kosong, di jalur ini memang masih ada beberapa ranting- ranting pohon lamtoro namun buahnya sudah habis karena kekeringan sedangkan diseberang tebing kondisi hijau sudah mulai tidak terlihat yang terlihat hanya tumpukkan abu sisa kebakaran dan ranting- ranting pohon yang kering akibat kebakaran hebat di Gunung Sindoro beberapa bulan yang lalu. Sempat beberapa saat kami tertidur diatas jalur watu susu bahkan Ius sempat mengeluarkan matras gunungnya untuk tidur disekitar jalur pendakian, untung saja hanya ada tim kami dalam pendakian siang hari itu. Memang jika pendakian siang penyakit yang selalu keluar adalah rasa kantuk, namun kebalikannya jika pendakian malam hari penyakit yang sering keluar pasti kedinginan, dan hal itu yang dialami oleh tim kami yang sudah mulai medekati puncak Gunung Sindoro. Setelah merasa cukup istirahat kami kemudian melanjutkan perjalanan kembali, kali ini perjalanan kami terhenti kembali, Intan mengalami cedera, kakinya keselo sehingga harus dipapah dan dipijat oleh Doly di samping bibir tebing sebelum masuk ke batas hutan edelweiss dan hutan lamtoro yang terbakar. Akhirnya diputuskan untuk mencari tempat untuk mendirikan tenda namun sangat beresiko jika mendirikan tenda sebelum sampai ke puncak bayangan Gunung Sindoro karena sama sekali tidak ada tempat datar yang bisa ditemui sepanjang vegetasi hutan edelweiss dan hutan lamtoro yang terbakar, akhirnya kami tetap putuskan untuk mendirikan camp di puncak bayangan yang jaraknya sekitar + 1 km lagi dengan waktu tempuh kira- kira 1 jam lagi dari hutan edelweiss tersebut. Saya coba bersama dengan Daniel naik terlebih dahulu menuju puncak bayangan dengan membawa carier milik Ius dan Daniel membawa carier saya, namun beberapa kali kabut turun dan hujan pun sempat beberapa kali menerpa kami sehingga terkadang kami harus berteduh dibawah pohon edelweiss yang tidak begitu tinggi. Berlahan tapi pasti kami terus mendaki secara berlahan- lahan hingga kemudian disusul dari belakang Doly, Intan, Ius dan Lupi yang jaraknya sekitar 1 m dibawah kami. Jalan yang semula tanah yang gembur berubah menjadi jalan berbatu yang cukup terjal sempat beberapa kali saya terpeleset pada batu- batu yang rawan longsor ini. Akhirnya batas hutan lamtoro yang terbakar sudah kami lewati dan bau belerang bercampur dengan air hujan mulai menyengat sepanjang jalur pendakian, sempat beberapa kali kami terhenti untuk sekedar beristirahat karena pasokan oksigen di dalam tubuh kami sudah hampir habis.

Puncak Sindoro, I’m Coming
Dengan sedikit tenaga yang tersisa kami paksakan untuk menggapai puncak bayangan terlebih dahulu untuk mendirikan tenda disana namun dengan kondisi hujan dan lapar sudah hampir kami melanjutkan pendakian hingga ke puncak Gunung Sindoro namun semangat kami yang selalu memberikan energi baru bagi kami sampai kami menggapai puncak bayangan pukul 17.00 WIB langsung saja kami memutuskan untuk mendirikan tenda disela- sela pohon cantigi, hampir beberapa kali terjadi perdebatan perihal posisi tenda yang pas dan nyaman bagi kami untuk dapat beristirahat malam nanti. Hujan lebat pun mulai turun saya melihat wajah Lupi dan Daniel yang mulai pucat kedinginan dan saya sendiri yang terkadang mengigil karena kedinginan tidak menyurutkan niat kami untuk segera mendirikan tenda dan menghangatkan badan kami di dalam tenda. Setelah selesai mendirikan tenda pukul 16.00 WIB kami mulai beres- beres perlengkapan logistik kami dan memasukan tas serta carier kami di dalam tenda, ya cukup lumayan tenda kapasitas 6 orang jika kami masuki bersama, mungkin badan saya yang paling besar di dalam tenda tersebut. Puncak Sindoro sudah di depan mata, tidak sampai 5 cm lagi Puncak Sindoro sudah dapat digapai, kami putuskan untuk keesokan harinya baru akan melihat- lihat kondisi puncak dan foto bersama disana.

Malam harinya Doly memasakan sayur buncis untuk kami, kebetulan saya membawa beberapa sayuran yang ada dirumah untuk menambah perbekalan dan asupan nutrisi bagi kami daripada harus memakan mie instan terus menerus. Setelah makan malam sempat ada obrolan- obrolan sedikit untuk menghilangkan rasa dingin dan saya sempat memasakan Daniel kentang bakar karena sepertinya dia masih sangat lapar seharian ini belum memakan makanan apapun. Pukul 20.00 WIB kami pun mulai tertidur, setelah kami mendirikan tenda ada beberapa rombongan lagi yang datang membuat tenda di puncak bayangan, dari logatnya sepertinya mereka rombongan mahasiswa/pelajar dari Purwokerto yang semalaman suntuk membuat gaduh puncak bayangan dengan logat- logat ngapaknya. Keesokan harinya kami pun terbangun dari dinginnya udara di dalam tenda, semalaman ini beberapa kali kaki saya sempat kram dan sempat membuat tidur beberapa teman- teman juga terganggu. Pemandangan kota Wonosobo dan Dieng Plateu pada pagi hari itu sangat bagus dengan kepulan beberapa asap yang meninggi dari kawah Dieng menjadikan khas pemandangan yang bisa dinikmati jika mendaki Gunung Sindoro melalui jalur Sigedang. Setelah berfoto- foto dengan latar belakang pemandangan penggunungan Dieng, Lupi dan Ius melanjutkan eksplorasi dan penjelajahan menuju kawasan puncak Sindoro yang katanya begitu luas dengan beberapa alun- alun/lapangan yang ada disekitarnya. Pada pagi hari itu suasana puncak ramai sekali ada yang membuat tenda di pinggir jurang kawah ada juga yang membuat tenda di sekitar kawah mati yang berdekatan dengan kawah aktif. Selama Lupi dan Ius mengeksplorasi puncak dan kawah Sindoro saya membantu Doly memasak sarapan pagi itu dengan menu Sarden Pedas dan Mie Instan. Setelah sarapan giliran saya, Doly, Intan dan Daniel yang naik ke puncak, sempat mengeksplorasi wilayah kawah aktif, kawah mati, dan alun- alun Segoro Wedi. Namun kita belum sampai ke wilayah pasar setan Gunung Sindoro karena Doly tidak kuat dengan bau belerang yang menyengat di pinggiran kawah aktif sehingga kami lebih memilih untuk turun menuju tenda kembali. Sungguh puas rasanya sudah menggapai puncak Sindoro mungkin pengalaman kedua kalinya bagi saya dimana kali ini Sindoro menunjukan aktifitasnya sebagai gunung berapi yang berstatus aktif normal, namun ini semua adalah rahasia alam yang tak dapat kita lawan dan perkirakan, sampai kapan Gunung Sindoro akan mengeluarkan kepulan asap pekatnya kita tidak akan pernah tahu, tapi dengan menghargai, mencintai dan melindungi Gunung Sindoro sebagai bagian dari kekuataan alam hal ini yang dapat kita lakukan walaupun kita sendiri tidak akan pernah tahu misteri yang tersembunyi dari kedashyatan kekuatan alam yang ada di negeri kita tercinta ini.
“Salam Lestari” (A.R)