“…
di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan
pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan
lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan
Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil.
Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe
Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama.”
Mungkin di dalam sejarah bangsa Indonesia tokoh ini tidak akan pernah
seterkenal seperti tokoh- tokoh golongan kiri lainnya seperti Tan Malaka maupun
Semaon namun dari pemikirannya terlahir sebuah paham keagamaan yang mampu
progresif dan memiliki nilai kebangsaan untuk melakukan gerakan perlawanan
terhadap segala bentuk penindasan pada masa kolonial Belanda.
Namanya
Misbach, terlahir dari keluarga golongan santri di kota Surakarta/Solo sosoknya
kemudian berubah menjadi sosok yang kontroversial, dengan pemahaman ideologinya
yang berusaha memadukan Pan Islamisme dengan Komunisme yang digunakannya untuk
melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan penjajahan di
kalangan masyarakat Surakarta saat itu. Sejak kecil Misbach yang merupakan
putra dari seorang pedagang batik ini sudah mulai terbiasa dengan lingkungan
disekitarnya yang memiliki pemahaman agama Islam cukup kuat, karena Misbach
sendiri yang bernama kecil Ahmad ini dilahirkan dilingkungan Kraton Kasunanan
Surakarta dekat dengan alun- alun utara Surakarta dan Masjid Agung Surakarta.
Menjelang dewasa Misbach kemudian tumbuh menjadi pribadi yang sederhana dan
ramah kepada setiap orang yang membuat dirinya tidak pernah membedakan status
priyayi dengan golongan proletar seperti petani maupun buruh, bahkan dirinya
setelah memiliki gelar haji sekalipun tetap memposisikan dirinya sebagai sosok
yang merakyat dengan tidak memilih menggunakan sorban ataupun peci haji
melainkan memakai ikat kepala jawa yang mengkhaskan dirinya sebagai sosok putra
Jawa yang memperjuangkan kepentingan golongan- golongan proletar dengan tetap
memegang teguh ajaran- ajaran agama yang dianutnya.
Di tahun 1914
Misbach mulai aktif dalam pergerakan diawalinya dengan bergabung bersama IJB
(Indlandsche Journalisten Bond) yang kemudian juga bekerjasama dengan Marco
yang sering juga disebut menjadi salah satu tokoh dari SI (Sarekat Islam), di
tahun 1915 Misbach menerbitkan Medan Moeslimin, kemudian pada tahun 1917 dengan
Islam Bergerak Misbach semakin berjaya membangun propaganda pada tataran
masyarakat Surakarta saat itu, surat- surat kabar bentukan Misbach ini menjadi
gerakan yang populer di wilayah Surakarta dan sekitarnya sehingga pada saat itu
sangat mudah sekali membangun perlawanan masyarakat untuk menentang
pemerintahan kolonial Hindia- Belanda. Kemudian dari media ini Misbach mulai
berubah menjadi sosok yang propagandis dan populis bagi kalangan kaum
pekerja/buruh.
Agama Bukan Slogan, Namun Gerakan
Menjadi sosok pemuka agama seperti Misbach yang mengakui dirinya sebagai
seorang haji tentu bukan perkara mudah untuk mengaplikasikan ilmu- ilmu agama
yang telah di dapatnya kepada umat sebagai bentuk pengabdiannya sebagai seorang
muslim dan sebagai seorang haji. Nampaknya pun demikian dengan tokoh- tokoh
agama saat ini yang memiliki pandangan religius cukup kuat dari sekian banyak
peristiwa yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Namun apakah agama hanya
membuat seorang sosok Misbach hanya berdiam diri di bawah bendera penindasan
dan imperialisme kolonial? Tentu tidak, inilah yang diharapkan dari sifat dan
pandangan ideologisnya yang mencoba untuk menjadi Komunis walaupun statusnya
adalah seorang haji sehingga tak banyak yang memberi julukan kepadanya sebagai
haji merah yang populis.
Asumsi
saya kemudian menegaskan dari cara pandang dan berpikir orang- orang golongan
kiri melalui kutipan kata ini “Ada sebuah cerita tentang kehidupan petani jawa
yang miskin dan di upah sangat kecil oleh para tuan- tuan tanah, petani- petani
miskin ini mengabdi kepada tuan tanah dan bekerja, mendapat upah namun tak seberapa.
Upah- upah itu sama sekali tidak berharga. Jangankan bisa dikumpulkan untuk
membeli tanah, untuk membeli baju pun teramat sulit. Kemudian cerita berlanjut.
Sang utusan kemudian bertanya kepada petani Jawa: “mungkin sampean- sampean disini
banyak yang ingin bertanya: Apakah tuan tanah itu beragama?” Ya tuan-
tuan tanah itu beragama, juga orang- orang miskin yang dipekerjakan juga
beragama. Mereka bertuhan dan beribadah tetapi, agama inilah yang membuat buruh
tani tidak punya keinginan sama sekali untuk merubah nasibmereka sendiri.
Agama- agama inilah yang membuat buruh tani menjadi bodoh dan semakin melarat,
bahkan buruknya agama- agama ini semakin mengontrol para petani untuk taat
kepada tuan- tuannya.”(Dharmawan 2011:30)
Sebuah kutipan
yang bagi saya merupakan menjadi dasar berpikir dari Misbach sendiri untuk
melakukan pergerakan bagi para kaum pekerja untuk berani melawan, dan berani
untuk keluar dari ketertindasan kolonial masa itu. Cara berpikir yang populis
dan berani dari sosok Misbach mungkin yang akan diungkapkan oleh Marco yang
mengenal Misbach selama ini, seorang haji sekaligus seorang pedagang yang sadar
akan penindasan kolonialis Belanda dan tertarik dengan ide- ide revolusioner
yang mulai menerpa Hindia (Indonesia) pada saat itu.
Sehingga dapat
dikatakan pemikiran Misbach sendiri juga tidak akan pernah terlepas dari
beberapa tokoh Komunis maupun gerakan radikal kiri yang sedang populer pada
saat itu, seperti SI (Sarekat Islam) yang terpecah menjadi SI Merah dan SI
Putih yang kemudian populer dengan sebutan SI Sayap Kiri dengan Semaoen sebagai
pimpinannya kemudian memberikan pandangan baru untuk melakukan gerakan bagi
Misbach untuk melakukan aksi- aksi pemogokan dan perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial Belanda. Dengan demikian Misbach bukanlah semacam haji
yang menerima mentah- mentah pemahaman agama tanpa mengaplikasikan secara nyata
untuk melakukan revolusi dan terbebas dari penjajahan, namun sebaliknya Misbach
selalu beranggapan bahwa keberadaan Islam sebagai agama di dalam kehidupannya
sudah seharusnya memerdekakan dirinya dan masyarakat tertindas lainnya,
sehingga gerakan Komunis yang dipilihnya sebagai suatu jalan untuk melakukan
pembebasan tersebut sebagai seorang yang beragama dan bertuhan.
Sudah Saatnya Menanam Kebencian Pada Penindasan
Setelah banyak
membicarakan dasar dari pemikiran Misbach yang lebih mementingkan kepentingan
para kaum pekerja dan masyarakat tertindas tentu saja hal ini tidak akan
terlepas dari kebencian Misbach terhadap lingkungan ditempatnya tinggal di wilayah
Kauman, Surakarta yang terdiri dari pemuka agama dan hanya berdiam diri ketika melihat situasi
kemiskinan yang semakin terjadi pada petani dan buruh. Sebuah kebencian yang
mendalam dari Misbach sehingga ia mengatakan hal yang demikian “… di mana-mana golongan
Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem
kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan
mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti
harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet
lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe
mengisep darah temen hidoep bersama.” Misbach melihat tidak semua golongan Islam berpihak kepada rakyat,
masih banyak golongan- golongan pemuka agama Islam yang hanya mementingkan
kekayaan pribadi daripada menolong kesusahan rakyat yang menderita karena
penjajahan pemerintah colonial saat itu.
Hal inilah yang kemudian membuat Misbach
semakin kuat melancarkan pengorganisiran serta pemogokan kerja terhadap petani
tahun 1919 dan membuat basis- basis pergerakan rakyat di Surakarta. Akibat aksi
yang dibuatnya Misbach serta beberapa pimpinan aksi lainnya ditangkap oleh
pemerintah kolonial di tahun 1920 dan Misbach di bebaskan kembali ke Surakarta
pada tanggal 22 Agustus tahun 1922. Kembalinya Misbach dari pengasingan dan
penangkapan tidak membuatnya jera untuk melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial Belanda, di tahun 1923 Misbach kembali muncul sebagai
propagandis Sarekat Islam Merah, ia kemudian menyuarakan tentang keselarasan
antara paham kiri dan Islam.
Selain menjadi
kaum propagandis untuk golongan petani dan buruh di Surakarta saat itu, Misbach
juga menjadi sosok yang mencintai kesenian Jawa dan mudah bergaul dengan kelompok anak muda
Surakarta penikmat musik Klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang
populer, sehingga dalam bidang kesenian Misbach sendiri merupakan sosok yang
masih tetap mempertahankan tradisi tanah kelahirannya yang juga menjadi kawan berbincang
bagi para pemuda yang menekuni kesenian musik Klenengan dan pertunjukan Wayang
Kulit di Surakarta.
“Jangan Takut, Jangan Khawatir”
Perlawanan Misbach terhadap antek- antek kapitalis tidak hanya berhenti
melalui menggalang aksi- aksi pemogokan kerja bagi para buruh dan petani di
wilayah Surakarta namun juga dalam bentuk perlawanan melalui tulisan. Misbach
menjadi salah satu penulis aktif di media Islam Bergerak dan Medan Moeslimin.
Banyak kritikannya yang ia tunjukkan kepada orang- orang yang mengaku Islam
namun menjadi “Islam Lamisan”, kaum terpelajar yang berkata bijaksana namun
menjadi penjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri. Selain itu
kebencian Misbach terhadap golongan kapitalis teramatlah besar, siapa yang
dianggapnya sebagai antek kapitalis akan dihadapinya melalui tulisan di Medan
Moeslimin dan Islam Bergerak. Selain melalui tulisan Misbach juga dikenal
karena perbuatannya “Menggerakan Islam”
seperti mengadakan tabligh, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, menentang
semua penyakit hidup boros dan bermewah-mewahan yang masih belum dapat
ditinggalkan oleh segelintir kelompok pada masa itu yang akhirnya tidak mampu
melihat apa yang terjadi pada masyarakat yang semakin ditindas oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Melalui
Slogannya yang sangat propagandis “Jangan
Takut, Jangan Khawatir” seolah- olah Misbach memberikan harapan bagi
masyarakat Surakarta saat itu khususnya golongan petani dan buruh bahwa
perjuangan belum usai, berani untuk keluar dari ketakutan dan berani keluar
dari kekhawatiran yang seakan- akan ingin disampaikan Misbach bahwa sebuah
perlawanan yang dilakukan terhadap penindasan harus berani menghadapi rasa
takut dan rasa khawatir di dalam diri. Slogan tersebut kemudian yang
divisualisasikan Misbach dalam sebuah kartun di Islam Bergerak edisi 20 April
1919, kemudian isinya menusuk kepada kapitalis Belanda yang menghisap petani,
mempekerjakan mereka, memberi upah kecil dan membebani pajak kepada mereka.
Dengan keberadaan kartun ini memunculkan sebuah gerakan baru bagi para petani
untuk melakukan aksi pemogokan, saat itu Paku Buwono X juga menjadi salah satu
antek- antek pemerintah kolonial Belanda yang ikut menindas dan mempekerjakan
petani dengan upah kecil terkena dampak dari aksi pemogokan para petani.
Secara
tidak langsung Misbach memberikan dorongan kepada para petani maupun para buruh
di Surakarta untuk mampu menghilangkan rasa ketakutan mereka dari penindasan,
“Jangan Takut digantung, dihukum, dibuang” demikian perkataannya kepada rakyat
yang kemudian mengobarkan sebuah semangat perlawanan terhadap
kaum- kaum penindas. Karena memang bagi Misbach kapitalisme menjadi biang dari
kehancuran nilai- nilai kemanusiaan dan agama rusak pun karenanya.
Pada tanggal 7 Mei 1919 Misbach tangkap oleh
pemerintah kolonial Belanda dan ditahan di Semarang sebelum kemudian
dipindahkan ke Manokwari, Papua. Berbagai upaya dari teman- teman seperjuangan
Misbach untuk membebaskan Misbach dalam persidangan namun semua hukuman semakin
memberatkan Misbach dan ia tetap saja ditahan. Keseharian Misbach pun hanya
diisi dengan menulis laporan perjalananya yang berjudul “Islamisme dan
Komunisme” dan membaca Al-Quran.
Di tengah
ganasnya alam pengasingan bersama Istri dan anaknya di Manokwari Misbach
menderita penyakit Malaria. Misbach pun meninggal pada 24 Mei 1926 yang
kemudian dimakamkan di kuburan Penidi, Manokwari, disamping kuburan istrinya.
Walaupun kini sosoknya telah tiada dan hilang tanpa jejak di pengasingan namun
sebuah pemahaman tentang sebuah pergerakan agama dan komunis tidak akan pernah
luntur dari ingatan sejarah nasional Indonesia. Perannya sebagai seorang haji
merah memang tidak pernah banyak diketahui oleh para generasi muda saat ini,
namun bagaimana sebuah pemahaman yang akan didapatkan tentang agama yang
seharusnya membebaskan, bukan membelenggu pada penindasan, keterpurukan dan
kebodohan menjadi sebuah inti dan dasar dari pergerakan Misbach selama ini
dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi para petani dan buruh, walaupun harus
Komunis yang ia pilih sebagai langkah gerakan melawan penjajahan. “Akhirnya kita sadar bahwa agama bukanlah
sebuah teori yang harus saling diperdebatkan satu sama lain untuk mencapai
suatu kebenaran, namun kebenaran tersebut akan kita peroleh jika kita mau
berjuang dan mau berusaha dalam sebuah pergerakan bukan hanya berdiam diri dan
berbicara pada kebohongan diri sendiri.”
Sebuah Kutipan
kata- kata Misbach di Medan Moeslimin sebelum ditangkap dan diasingkan:
“…agama berdasarkan sama rata sama rasa
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia
tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi
kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi
setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi
binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan
yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.” (A.R.)
Daftar Pustaka:
Dharmawan, Rus.2011.Inkonsistensi
Gerakan Radikal Kiri”Praktik Politik Kaum Komunis di Indonesia”.Kreasi
Wacana.Yogyakarta
Rakyat Sejahtera.htm “Mengenal Sepak Terjang Haji Misbach”
diunduh tanggal 11 Februari 2013
Penulis : Angga Riyon
Nugroho
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma Angakatan 2009