widget

15 Feb 2013

Ekspedisi Puncak Sindoro II: “Melawan Dinginnya Hujan dan Rasa Kantuk yang Merajam”



Liburan semester telah di depan mata, tidak lama lagi juga hari Natal akan tiba, ingin rasanya berkumpul bersama teman- teman sebelum berpisah pada liburan semester yang panjang ini, ada kerinduan untuk kembali melakukan perjalanan menjadi astronot gunung- gunung tinggi di Jawa Tengah. Gunung yang akan kami pilih kali ini adalah Gunung Sindoro (3153 Mdpl) bagi saya gunung ini memiliki cerita tersendiri yang unik bagi saya dengan 15 orang teman- teman mahasiswa yang lain ketika pertama kali mendaki gunung ini melalui jalur Sigedang, Wonosobo. Ketika kesasar dan tidak menemukan jalur pendakian menjadi bagian yang unik dan pengalaman yang berkesan bagi saya, sehingga tidak begitu merasa asing dengan medan serta alam yang ada disekitar lereng gunung yang berstatus aktif normal ini. Kami putuskan untuk mendaki Gunung Sindoro pada tanggal 21 Desember 2012, melalui jalur pendakian Sigedang. Kali ini yang ikut mendaki Gunung Sindoro tidak sebanyak ketika saya pertama kali mendaki gunung ini hanya 6 orang, 3 orang mahasiswa Pendidikan Sejarah dan 3 orang mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma.

Ngaret lagi..........Ngaret lagi............ 
Kami bersama- sama berangkat dari kampus Mrican rencana pukul 12.00 WIB, namun akhirnya berangkat dari kampus baru bisa pukul 13.00 WIB karena Intan terlambat datang dan saya sendiri harus mempersiapkan tenda yang akan digunakan pada ekpedisi ini. “Biasalah kebiasaan orang Indonesia, ngaret lagi.......ngaret lagi........,begitu dalam hatiku.” Perjalanan kami mulai melalui jalur alternatif menuju Wonosobo melalui Candi Borobudur, pada hari itu kondisi cuaca berubah- ubah perjalanan dari Jogja kondisi langit sudah sangat gelap dan mendung, menjelang perjalanan menuju jalan alternatif Purworejo- Wonosobo sedikit- sedikit gerimis kami rasakan sehingga beberapa kali laju motor kami harus terhenti karena hujan yang begitu lebat dan kabut yang sudah mulai turun menjelang perjalanan menuju ke Agro wisata Tambi. Menjelang pintu gerbang Agrowisata Tambi tiba- tiba motor yang dipakai oleh Intan dengan Lupi tiba- tiba bocor bannya sehingga perjalanan yang saat itu sudah disertai dengan hujan yang cukup deras akhirnya terhenti kembali untuk mengganti ban motor Intan yang bocor.

Kemudian perjalanan kami lanjutkan kembali sekitar 1 km dari pintu gerbang Agrowisata Tambi menuju rumah mas Slamet, salah satu warga desa Sikatok yang kediamannya dijadikan pos pendakian menuju puncak Gunung Sindoro, maklum saja di jalur pendakian Gunung Sindoro via Sigedang ini belum memiliki basecamp resmi, jadi terkadang bisa menginap sementara di rumah mas Slamet atau menginap di rumah sang juru kunci Gunung Sindoro yang bernama mbah Amien di desa Sigedang. Kami sampai di rumah mas Slamet sekitar pukul 20.00 WIB karena harus lapor terlebih dahulu di kediaman mbah Amien di Sigedang agar perjalanan lebih aman. Malam itu kondisi cuaca sangat buruk hujan disertai badai tidak berhenti sama sekali sejak pukul 17.00 WIB tutur mas Slamet yang berada dirumah sejak tadi sore. Sehingga kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan pendakian keesokan harinya sekaligus mengeringkan baju- baju kami yang basah karena terkena hujan sepanjang perjalanan tadi. Suasana malam yang dingin di rumah mas Slamet kami isi dengan berbagai macam obrolan- obrolan tentang Gunung Sindoro maupun obrolan- obrolan tentang politik maupun sejarah maklum ada 3 orang mahasiswa Sejarah disini yang saling berbagi pengalaman dengan 3 orang mahasiswa dari Fakultas Ekonomi sembari saya juga memasakkan mie instan kepada teman- teman yang kedinginan maupun membuatkan air panas untuk yang ingin minum kopi atau teh.

Kabut Tipis, Dingin di Desa Sikatok
Tidak terasa pagi hari tanggal 22 Desember 2012 pun menyambut kami dengan rasa kantuk yang sangat merajam dan dingin yang sangat luar biasa, saya semalaman hanya memakai celana kolor karena celana tentara saya basah ketika kehujanan sepanjang perjalanan kemarin, mungkin buat saya sudah tidak begitu berasa dingin karena memang kulit saya tebal dan gemuk tidak seperti teman- teman yang lain yang masih kedinginan berselimut Sleeping Bag ataupun jas hujan yang sudah mulai mongering. Pagi itu kami targetkan bangun pukul 05.00 WIB namun ternyata karena kami semua kedinginan mau tidak mau ngaret lagi akhirnya kami baru memulai pendakian pukul 07.00 WIB setelah mas Slamet pamit kepada kami untuk berangkat bekerja di perkebunan teh. Untuk mengisi tenaga beberapa teman- teman sudah disuguhi teh tawar panas oleh istri mas Slamet dan saya juga mempersiapkan tanaman rendali yang akan coba kami tanam sepanjang jalur pendakian agar tidak terlihat gersang sesudah kebakaran beberapa bulan yang lalu. Setelah semua siap kami pun mengawali perjalanan pendakian pada pagi itu dengan sedikit rasa kantuk dan sedikit rasa dingin yang begitu menyengat dikulit kami, namun kami masih semangat untuk menggapai puncak Gunung Sindoro. Perjalanan kami diawali doa bersama yang dipimpin oleh Doly, yang kami katakana disini sebagai bapak Pendeta dari Batak yang sangat khas sekali dengan logat bataknya. Kemudian kami berangkat dari rumah mas Slamet setelah berpamitan sejenak dengan istri mas Slamet, kemudian kami menyusuri perkebunan teh yang masih begitu hijau, dari sini tenaga saya dan beberapa teman- teman sempat terkuras karena begitu menanjaknya perkebunan teh di desa Sigedang ini. Akhirnya sampai juga di shelter 2 dengan kondisi kabut yang masih begitu pekat dan tebal namun berlahan sudah disertai dengan pancaran sinar matahari pagi. Setelah melewati shelter 2 kami pun harus mencapai satu shelter lagi sebelum perbatasan perkebunan teh dengan hutan pinus.

Perjalanan mulai begitu ramai bersamaan dengan masyarakat desa Sigedang dan Sikatok yang mencari kayu bakar di hutan pinus yang terbakar beberapa bulan yang lalu. Dengan suasana khas pedesaan dan pegunungan kami sempat beberapa kali bercengkrama dengan penduduk setempat walau kami merasa fisik kami pada pagi itu tetap kalah dengan penduduk setempat yang sudah mendahului tim kami yang istirahat sejenak karena kelelahan dengan jalan menanjak sepanjang perkebunan teh. “wah masyarakat disini ternyata sangat kuat- kuat sekali ya, berbeda dengan kami yang belum sampai perbatasan ladang penduduk sudah kelelahan memanggul carier dan tas ransel yang kami bawa, sangat kagum saya dengan mereka”. Mungkin begitu yang saya rasakan ketika melihat semangat dari masyarakat desa yang bersama- sama mengambil kayu bakar di lereng Gunung Sindoro. Akhirnya kami sampai juga di shelter 3 dari sini jika cuaca bagus puncak Gunung Sindoro terlihat jelas, namun pagi itu kondisi berubah- ubah kadang terlihat cerah namun langsung ditutupi oleh kabut tebal. Perjalanan kemudian kami lanjutkan menuju pos perhutani dan batu besar, dengan vegetasi bekas hutan pinus yang terbakar, Doly pun sangat merasa prihatin dengan kondisi hutan Gunung Sindoro yang sudah mulai rusak dan tidak ada tindakan konservasi apapun baik dari perhutani maupun masyarakat setempat, sempat dia berbincang dengan saya untuk menghijaukan hampir lebih dari 2 hektar lahan hutan Gunung Sindoro yang terbakar beberapa bulan yang lalu ini. Akhirnya batas ladang penduduk pun terlewati sudah mendekati pos batu besar karena sudah melewati pos perhutani yang sudah tidak ada bekas atap/shelter lagi disini namun ada sedikit tempat datar untuk mendirikan 1-2 tenda disini, namun jarak dengan puncak masih cukup jauh sekitar 2-3 jam lagi dari pos perhutani ini. Diatas batu besar kami mulai mengeluarkan bibit rendali untuk ditanam disekitar lahan yang sudah terbakar ini, sambil istirahat sejenak rasa kantuk pun mulai menyerang hampir ada satu jam kami berada disini dengan kondisi kabut tebal yang mulai menutupi pandangan kami menuju puncak Gunung Sindoro. Intan dan Ius sempat tertidur beberapa menit diatas batu besar ini, Daniel sendiri sempat beberapa kali mengeluarkan Hpnya dan sibuk menelepon kakaknya yang ada di Flores sedangkan doly yang mungkin semalaman kelaparan sedang sibuk menghabiskan salak yang dibawa oleh Intan di dalam tas ranselnya. Walaupun teman- teman nampak lelah semangat mereka untuk menaklukan Gunung Sindoro ini tidak akan pernah runtuh, setelah semuanya terbangun dari rasa kantuk yang merajam perjalanan kemudian dilanjutkan sampai melewati batas watu susu yang sudah tidak bisa terlihat disamping kiri jalur pendakian karena kebakaran yang hebat di Gunung Sindoro.

Sesampainya di watu susu Daniel mulai menanam beberapa bibit rendali kembali di beberapa lahan yang memang masih kosong, di jalur ini memang masih ada beberapa ranting- ranting pohon lamtoro namun buahnya sudah habis karena kekeringan sedangkan diseberang tebing kondisi hijau sudah mulai tidak terlihat yang terlihat hanya tumpukkan abu sisa kebakaran dan ranting- ranting pohon yang kering akibat kebakaran hebat di Gunung Sindoro beberapa bulan yang lalu. Sempat beberapa saat kami tertidur diatas jalur watu susu bahkan Ius sempat mengeluarkan matras gunungnya untuk tidur disekitar jalur pendakian, untung saja hanya ada tim kami dalam pendakian siang hari itu. Memang jika pendakian siang penyakit yang selalu keluar adalah rasa kantuk, namun kebalikannya jika pendakian malam hari penyakit yang sering keluar pasti kedinginan, dan hal itu yang dialami oleh tim kami yang sudah mulai medekati puncak Gunung Sindoro. Setelah merasa cukup istirahat kami kemudian melanjutkan perjalanan kembali, kali ini perjalanan kami terhenti kembali, Intan mengalami cedera, kakinya keselo sehingga harus dipapah dan dipijat oleh Doly di samping bibir tebing sebelum masuk ke batas hutan edelweiss dan hutan lamtoro yang terbakar. Akhirnya diputuskan untuk mencari tempat untuk mendirikan tenda namun sangat beresiko jika mendirikan tenda sebelum sampai ke puncak bayangan Gunung Sindoro karena sama sekali tidak ada tempat datar yang bisa ditemui sepanjang vegetasi hutan edelweiss dan hutan lamtoro yang terbakar, akhirnya kami tetap putuskan untuk mendirikan camp di puncak bayangan yang jaraknya sekitar + 1 km lagi dengan waktu tempuh kira- kira 1 jam lagi dari hutan edelweiss tersebut. Saya coba bersama dengan Daniel naik terlebih dahulu menuju puncak bayangan dengan membawa carier milik Ius dan Daniel membawa carier saya, namun beberapa kali kabut turun dan hujan pun sempat beberapa kali menerpa kami sehingga terkadang kami harus berteduh dibawah pohon edelweiss yang tidak begitu tinggi. Berlahan tapi pasti kami terus mendaki secara berlahan- lahan hingga kemudian disusul dari belakang Doly, Intan, Ius dan Lupi yang jaraknya sekitar 1 m dibawah kami. Jalan yang semula tanah yang gembur berubah menjadi jalan berbatu yang cukup terjal sempat beberapa kali saya terpeleset pada batu- batu yang rawan longsor ini. Akhirnya batas hutan lamtoro yang terbakar sudah kami lewati dan bau belerang bercampur dengan air hujan mulai menyengat sepanjang jalur pendakian, sempat beberapa kali kami terhenti untuk sekedar beristirahat karena pasokan oksigen di dalam tubuh kami sudah hampir habis.

Puncak Sindoro, I’m Coming
Dengan sedikit tenaga yang tersisa kami paksakan untuk menggapai puncak bayangan terlebih dahulu untuk mendirikan tenda disana namun dengan kondisi hujan dan lapar sudah hampir kami melanjutkan pendakian hingga ke puncak Gunung Sindoro namun semangat kami yang selalu memberikan energi baru bagi kami sampai kami menggapai puncak bayangan pukul 17.00 WIB langsung saja kami memutuskan untuk mendirikan tenda disela- sela pohon cantigi, hampir beberapa kali terjadi perdebatan perihal posisi tenda yang pas dan nyaman bagi kami untuk dapat beristirahat malam nanti. Hujan lebat pun mulai turun saya melihat wajah Lupi dan Daniel yang mulai pucat kedinginan dan saya sendiri yang terkadang mengigil karena kedinginan tidak menyurutkan niat kami untuk segera mendirikan tenda dan menghangatkan badan kami di dalam tenda. Setelah selesai mendirikan tenda pukul 16.00 WIB kami mulai beres- beres perlengkapan logistik kami dan memasukan tas serta carier kami di dalam tenda, ya cukup lumayan tenda kapasitas 6 orang jika kami masuki bersama, mungkin badan saya yang paling besar di dalam tenda tersebut. Puncak Sindoro sudah di depan mata, tidak sampai 5 cm lagi Puncak Sindoro sudah dapat digapai, kami putuskan untuk keesokan harinya baru akan melihat- lihat kondisi puncak dan foto bersama disana.

Malam harinya Doly memasakan sayur buncis untuk kami, kebetulan saya membawa beberapa sayuran yang ada dirumah untuk menambah perbekalan dan asupan nutrisi bagi kami daripada harus memakan mie instan terus menerus. Setelah makan malam sempat ada obrolan- obrolan sedikit untuk menghilangkan rasa dingin dan saya sempat memasakan Daniel kentang bakar karena sepertinya dia masih sangat lapar seharian ini belum memakan makanan apapun. Pukul 20.00 WIB kami pun mulai tertidur, setelah kami mendirikan tenda ada beberapa rombongan lagi yang datang membuat tenda di puncak bayangan, dari logatnya sepertinya mereka rombongan mahasiswa/pelajar dari Purwokerto yang semalaman suntuk membuat gaduh puncak bayangan dengan logat- logat ngapaknya. Keesokan harinya kami pun terbangun dari dinginnya udara di dalam tenda, semalaman ini beberapa kali kaki saya sempat kram dan sempat membuat tidur beberapa teman- teman juga terganggu. Pemandangan kota Wonosobo dan Dieng Plateu pada pagi hari itu sangat bagus dengan kepulan beberapa asap yang meninggi dari kawah Dieng menjadikan khas pemandangan yang bisa dinikmati jika mendaki Gunung Sindoro melalui jalur Sigedang. Setelah berfoto- foto dengan latar belakang pemandangan penggunungan Dieng, Lupi dan Ius melanjutkan eksplorasi dan penjelajahan menuju kawasan puncak Sindoro yang katanya begitu luas dengan beberapa alun- alun/lapangan yang ada disekitarnya. Pada pagi hari itu suasana puncak ramai sekali ada yang membuat tenda di pinggir jurang kawah ada juga yang membuat tenda di sekitar kawah mati yang berdekatan dengan kawah aktif. Selama Lupi dan Ius mengeksplorasi puncak dan kawah Sindoro saya membantu Doly memasak sarapan pagi itu dengan menu Sarden Pedas dan Mie Instan. Setelah sarapan giliran saya, Doly, Intan dan Daniel yang naik ke puncak, sempat mengeksplorasi wilayah kawah aktif, kawah mati, dan alun- alun Segoro Wedi. Namun kita belum sampai ke wilayah pasar setan Gunung Sindoro karena Doly tidak kuat dengan bau belerang yang menyengat di pinggiran kawah aktif sehingga kami lebih memilih untuk turun menuju tenda kembali. Sungguh puas rasanya sudah menggapai puncak Sindoro mungkin pengalaman kedua kalinya bagi saya dimana kali ini Sindoro menunjukan aktifitasnya sebagai gunung berapi yang berstatus aktif normal, namun ini semua adalah rahasia alam yang tak dapat kita lawan dan perkirakan, sampai kapan Gunung Sindoro akan mengeluarkan kepulan asap pekatnya kita tidak akan pernah tahu, tapi dengan menghargai, mencintai dan melindungi Gunung Sindoro sebagai bagian dari kekuataan alam hal ini yang dapat kita lakukan walaupun kita sendiri tidak akan pernah tahu misteri yang tersembunyi dari kedashyatan kekuatan alam yang ada di negeri kita tercinta ini.
“Salam Lestari” (A.R)



0 comments:

Post a Comment