Liburan semester
telah di depan mata, tidak lama lagi juga hari Natal akan tiba, ingin rasanya
berkumpul bersama teman- teman sebelum berpisah pada liburan semester yang panjang
ini, ada kerinduan untuk kembali melakukan perjalanan menjadi astronot gunung-
gunung tinggi di Jawa Tengah. Gunung yang akan kami pilih kali ini adalah
Gunung Sindoro (3153 Mdpl) bagi saya gunung ini memiliki cerita tersendiri yang
unik bagi saya dengan 15 orang teman- teman mahasiswa yang lain ketika pertama
kali mendaki gunung ini melalui jalur Sigedang, Wonosobo. Ketika kesasar dan
tidak menemukan jalur pendakian menjadi bagian yang unik dan pengalaman yang
berkesan bagi saya, sehingga tidak begitu merasa asing dengan medan serta alam
yang ada disekitar lereng gunung yang berstatus aktif normal ini. Kami putuskan
untuk mendaki Gunung Sindoro pada tanggal 21 Desember 2012, melalui jalur
pendakian Sigedang. Kali ini yang ikut mendaki Gunung Sindoro tidak sebanyak
ketika saya pertama kali mendaki gunung ini hanya 6 orang, 3 orang mahasiswa
Pendidikan Sejarah dan 3 orang mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sanata
Dharma.
Ngaret lagi..........Ngaret lagi............
Kami bersama-
sama berangkat dari kampus Mrican rencana pukul 12.00 WIB, namun akhirnya
berangkat dari kampus baru bisa pukul 13.00 WIB karena Intan terlambat datang
dan saya sendiri harus mempersiapkan tenda yang akan digunakan pada ekpedisi
ini. “Biasalah kebiasaan orang Indonesia, ngaret lagi.......ngaret
lagi........,begitu dalam hatiku.” Perjalanan kami mulai melalui jalur
alternatif menuju Wonosobo melalui Candi Borobudur, pada hari itu kondisi cuaca
berubah- ubah perjalanan dari Jogja kondisi langit sudah sangat gelap dan
mendung, menjelang perjalanan menuju jalan alternatif Purworejo- Wonosobo
sedikit- sedikit gerimis kami rasakan sehingga beberapa kali laju motor kami
harus terhenti karena hujan yang begitu lebat dan kabut yang sudah mulai turun
menjelang perjalanan menuju ke Agro wisata Tambi. Menjelang pintu gerbang
Agrowisata Tambi tiba- tiba motor yang dipakai oleh Intan dengan Lupi tiba-
tiba bocor bannya sehingga perjalanan yang saat itu sudah disertai dengan hujan
yang cukup deras akhirnya terhenti kembali untuk mengganti ban motor Intan yang
bocor.
Kemudian
perjalanan kami lanjutkan kembali sekitar 1 km dari pintu gerbang Agrowisata
Tambi menuju rumah mas Slamet, salah satu warga desa Sikatok yang kediamannya
dijadikan pos pendakian menuju puncak Gunung Sindoro, maklum saja di jalur
pendakian Gunung Sindoro via Sigedang ini belum memiliki basecamp resmi, jadi
terkadang bisa menginap sementara di rumah mas Slamet atau menginap di rumah
sang juru kunci Gunung Sindoro yang bernama mbah Amien di desa Sigedang. Kami
sampai di rumah mas Slamet sekitar pukul 20.00 WIB karena harus lapor terlebih
dahulu di kediaman mbah Amien di Sigedang agar perjalanan lebih aman. Malam itu
kondisi cuaca sangat buruk hujan disertai badai tidak berhenti sama sekali
sejak pukul 17.00 WIB tutur mas Slamet yang berada dirumah sejak tadi sore.
Sehingga kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan pendakian keesokan harinya
sekaligus mengeringkan baju- baju kami yang basah karena terkena hujan
sepanjang perjalanan tadi. Suasana malam yang dingin di rumah mas Slamet kami
isi dengan berbagai macam obrolan- obrolan tentang Gunung Sindoro maupun
obrolan- obrolan tentang politik maupun sejarah maklum ada 3 orang mahasiswa
Sejarah disini yang saling berbagi pengalaman dengan 3 orang mahasiswa dari
Fakultas Ekonomi sembari saya juga memasakkan mie instan kepada teman- teman
yang kedinginan maupun membuatkan air panas untuk yang ingin minum kopi atau
teh.
Kabut Tipis, Dingin di Desa Sikatok
Tidak terasa
pagi hari tanggal 22 Desember 2012 pun menyambut kami dengan rasa kantuk yang
sangat merajam dan dingin yang sangat luar biasa, saya semalaman hanya memakai
celana kolor karena celana tentara saya basah ketika kehujanan sepanjang
perjalanan kemarin, mungkin buat saya sudah tidak begitu berasa dingin karena
memang kulit saya tebal dan gemuk tidak seperti teman- teman yang lain yang
masih kedinginan berselimut Sleeping Bag ataupun jas hujan yang sudah mulai
mongering. Pagi itu kami targetkan bangun pukul 05.00 WIB namun ternyata karena
kami semua kedinginan mau tidak mau ngaret lagi akhirnya kami baru memulai
pendakian pukul 07.00 WIB setelah mas Slamet pamit kepada kami untuk berangkat
bekerja di perkebunan teh. Untuk mengisi tenaga beberapa teman- teman sudah
disuguhi teh tawar panas oleh istri mas Slamet dan saya juga mempersiapkan
tanaman rendali yang akan coba kami tanam sepanjang jalur pendakian agar tidak
terlihat gersang sesudah kebakaran beberapa bulan yang lalu. Setelah semua siap
kami pun mengawali perjalanan pendakian pada pagi itu dengan sedikit rasa kantuk
dan sedikit rasa dingin yang begitu menyengat dikulit kami, namun kami masih
semangat untuk menggapai puncak Gunung Sindoro. Perjalanan kami diawali doa
bersama yang dipimpin oleh Doly, yang kami katakana disini sebagai bapak
Pendeta dari Batak yang sangat khas sekali dengan logat bataknya. Kemudian kami
berangkat dari rumah mas Slamet setelah berpamitan sejenak dengan istri mas
Slamet, kemudian kami menyusuri perkebunan teh yang masih begitu hijau, dari
sini tenaga saya dan beberapa teman- teman sempat terkuras karena begitu
menanjaknya perkebunan teh di desa Sigedang ini. Akhirnya sampai juga di
shelter 2 dengan kondisi kabut yang masih begitu pekat dan tebal namun berlahan
sudah disertai dengan pancaran sinar matahari pagi. Setelah melewati shelter 2 kami
pun harus mencapai satu shelter lagi sebelum perbatasan perkebunan teh dengan
hutan pinus.
Perjalanan mulai
begitu ramai bersamaan dengan masyarakat desa Sigedang dan Sikatok yang mencari
kayu bakar di hutan pinus yang terbakar beberapa bulan yang lalu. Dengan
suasana khas pedesaan dan pegunungan kami sempat beberapa kali bercengkrama
dengan penduduk setempat walau kami merasa fisik kami pada pagi itu tetap kalah
dengan penduduk setempat yang sudah mendahului tim kami yang istirahat sejenak
karena kelelahan dengan jalan menanjak sepanjang perkebunan teh. “wah
masyarakat disini ternyata sangat kuat- kuat sekali ya, berbeda dengan kami
yang belum sampai perbatasan ladang penduduk sudah kelelahan memanggul carier
dan tas ransel yang kami bawa, sangat kagum saya dengan mereka”. Mungkin begitu
yang saya rasakan ketika melihat semangat dari masyarakat desa yang bersama-
sama mengambil kayu bakar di lereng Gunung Sindoro. Akhirnya kami sampai juga
di shelter 3 dari sini jika cuaca bagus puncak Gunung Sindoro terlihat jelas,
namun pagi itu kondisi berubah- ubah kadang terlihat cerah namun langsung
ditutupi oleh kabut tebal. Perjalanan kemudian kami lanjutkan menuju pos
perhutani dan batu besar, dengan vegetasi bekas hutan pinus yang terbakar, Doly
pun sangat merasa prihatin dengan kondisi hutan Gunung Sindoro yang sudah mulai
rusak dan tidak ada tindakan konservasi apapun baik dari perhutani maupun
masyarakat setempat, sempat dia berbincang dengan saya untuk menghijaukan hampir
lebih dari 2 hektar lahan hutan Gunung Sindoro yang terbakar beberapa bulan
yang lalu ini. Akhirnya batas ladang penduduk pun terlewati sudah mendekati pos
batu besar karena sudah melewati pos perhutani yang sudah tidak ada bekas
atap/shelter lagi disini namun ada sedikit tempat datar untuk mendirikan 1-2
tenda disini, namun jarak dengan puncak masih cukup jauh sekitar 2-3 jam lagi
dari pos perhutani ini. Diatas batu besar kami mulai mengeluarkan bibit rendali
untuk ditanam disekitar lahan yang sudah terbakar ini, sambil istirahat sejenak
rasa kantuk pun mulai menyerang hampir ada satu jam kami berada disini dengan
kondisi kabut tebal yang mulai menutupi pandangan kami menuju puncak Gunung
Sindoro. Intan dan Ius sempat tertidur beberapa menit diatas batu besar ini,
Daniel sendiri sempat beberapa kali mengeluarkan Hpnya dan sibuk menelepon
kakaknya yang ada di Flores sedangkan doly yang mungkin semalaman kelaparan
sedang sibuk menghabiskan salak yang dibawa oleh Intan di dalam tas ranselnya.
Walaupun teman- teman nampak lelah semangat mereka untuk menaklukan Gunung
Sindoro ini tidak akan pernah runtuh, setelah semuanya terbangun dari rasa
kantuk yang merajam perjalanan kemudian dilanjutkan sampai melewati batas watu
susu yang sudah tidak bisa terlihat disamping kiri jalur pendakian karena kebakaran
yang hebat di Gunung Sindoro.
Sesampainya di
watu susu Daniel mulai menanam beberapa bibit rendali kembali di beberapa lahan
yang memang masih kosong, di jalur ini memang masih ada beberapa ranting-
ranting pohon lamtoro namun buahnya sudah habis karena kekeringan sedangkan
diseberang tebing kondisi hijau sudah mulai tidak terlihat yang terlihat hanya
tumpukkan abu sisa kebakaran dan ranting- ranting pohon yang kering akibat
kebakaran hebat di Gunung Sindoro beberapa bulan yang lalu. Sempat beberapa saat
kami tertidur diatas jalur watu susu bahkan Ius sempat mengeluarkan matras
gunungnya untuk tidur disekitar jalur pendakian, untung saja hanya ada tim kami
dalam pendakian siang hari itu. Memang jika pendakian siang penyakit yang
selalu keluar adalah rasa kantuk, namun kebalikannya jika pendakian malam hari
penyakit yang sering keluar pasti kedinginan, dan hal itu yang dialami oleh tim
kami yang sudah mulai medekati puncak Gunung Sindoro. Setelah merasa cukup
istirahat kami kemudian melanjutkan perjalanan kembali, kali ini perjalanan
kami terhenti kembali, Intan mengalami cedera, kakinya keselo sehingga harus
dipapah dan dipijat oleh Doly di samping bibir tebing sebelum masuk ke batas
hutan edelweiss dan hutan lamtoro yang terbakar. Akhirnya diputuskan untuk
mencari tempat untuk mendirikan tenda namun sangat beresiko jika mendirikan
tenda sebelum sampai ke puncak bayangan Gunung Sindoro karena sama sekali tidak
ada tempat datar yang bisa ditemui sepanjang vegetasi hutan edelweiss dan hutan
lamtoro yang terbakar, akhirnya kami tetap putuskan untuk mendirikan camp di
puncak bayangan yang jaraknya sekitar + 1 km lagi dengan waktu tempuh
kira- kira 1 jam lagi dari hutan edelweiss tersebut. Saya coba bersama dengan
Daniel naik terlebih dahulu menuju puncak bayangan dengan membawa carier milik
Ius dan Daniel membawa carier saya, namun beberapa kali kabut turun dan hujan
pun sempat beberapa kali menerpa kami sehingga terkadang kami harus berteduh
dibawah pohon edelweiss yang tidak begitu tinggi. Berlahan tapi pasti kami
terus mendaki secara berlahan- lahan hingga kemudian disusul dari belakang
Doly, Intan, Ius dan Lupi yang jaraknya sekitar 1 m dibawah kami. Jalan yang
semula tanah yang gembur berubah menjadi jalan berbatu yang cukup terjal sempat
beberapa kali saya terpeleset pada batu- batu yang rawan longsor ini. Akhirnya
batas hutan lamtoro yang terbakar sudah kami lewati dan bau belerang bercampur
dengan air hujan mulai menyengat sepanjang jalur pendakian, sempat beberapa
kali kami terhenti untuk sekedar beristirahat karena pasokan oksigen di dalam
tubuh kami sudah hampir habis.
Puncak Sindoro, I’m Coming
Dengan sedikit
tenaga yang tersisa kami paksakan untuk menggapai puncak bayangan terlebih
dahulu untuk mendirikan tenda disana namun dengan kondisi hujan dan lapar sudah
hampir kami melanjutkan pendakian hingga ke puncak Gunung Sindoro namun
semangat kami yang selalu memberikan energi baru bagi kami sampai kami
menggapai puncak bayangan pukul 17.00 WIB langsung saja kami memutuskan untuk
mendirikan tenda disela- sela pohon cantigi, hampir beberapa kali terjadi
perdebatan perihal posisi tenda yang pas dan nyaman bagi kami untuk dapat
beristirahat malam nanti. Hujan lebat pun mulai turun saya melihat wajah Lupi
dan Daniel yang mulai pucat kedinginan dan saya sendiri yang terkadang mengigil
karena kedinginan tidak menyurutkan niat kami untuk segera mendirikan tenda dan
menghangatkan badan kami di dalam tenda. Setelah selesai mendirikan tenda pukul
16.00 WIB kami mulai beres- beres perlengkapan logistik kami dan memasukan tas
serta carier kami di dalam tenda, ya cukup lumayan tenda kapasitas 6 orang jika
kami masuki bersama, mungkin badan saya yang paling besar di dalam tenda
tersebut. Puncak Sindoro sudah di depan mata, tidak sampai 5 cm lagi Puncak
Sindoro sudah dapat digapai, kami putuskan untuk keesokan harinya baru akan
melihat- lihat kondisi puncak dan foto bersama disana.
Malam harinya
Doly memasakan sayur buncis untuk kami, kebetulan saya membawa beberapa sayuran
yang ada dirumah untuk menambah perbekalan dan asupan nutrisi bagi kami
daripada harus memakan mie instan terus menerus. Setelah makan malam sempat ada
obrolan- obrolan sedikit untuk menghilangkan rasa dingin dan saya sempat
memasakan Daniel kentang bakar karena sepertinya dia masih sangat lapar seharian
ini belum memakan makanan apapun. Pukul 20.00 WIB kami pun mulai tertidur,
setelah kami mendirikan tenda ada beberapa rombongan lagi yang datang membuat
tenda di puncak bayangan, dari logatnya sepertinya mereka rombongan
mahasiswa/pelajar dari Purwokerto yang semalaman suntuk membuat gaduh puncak
bayangan dengan logat- logat ngapaknya. Keesokan harinya kami pun terbangun
dari dinginnya udara di dalam tenda, semalaman ini beberapa kali kaki saya
sempat kram dan sempat membuat tidur beberapa teman- teman juga terganggu.
Pemandangan kota Wonosobo dan Dieng Plateu pada pagi hari itu sangat bagus
dengan kepulan beberapa asap yang meninggi dari kawah Dieng menjadikan khas
pemandangan yang bisa dinikmati jika mendaki Gunung Sindoro melalui jalur
Sigedang. Setelah berfoto- foto dengan latar belakang pemandangan penggunungan
Dieng, Lupi dan Ius melanjutkan eksplorasi dan penjelajahan menuju kawasan
puncak Sindoro yang katanya begitu luas dengan beberapa alun- alun/lapangan
yang ada disekitarnya. Pada pagi hari itu suasana puncak ramai sekali ada yang
membuat tenda di pinggir jurang kawah ada juga yang membuat tenda di sekitar
kawah mati yang berdekatan dengan kawah aktif. Selama Lupi dan Ius
mengeksplorasi puncak dan kawah Sindoro saya membantu Doly memasak sarapan pagi
itu dengan menu Sarden Pedas dan Mie Instan. Setelah sarapan giliran saya,
Doly, Intan dan Daniel yang naik ke puncak, sempat mengeksplorasi wilayah kawah
aktif, kawah mati, dan alun- alun Segoro Wedi. Namun kita belum sampai ke
wilayah pasar setan Gunung Sindoro karena Doly tidak kuat dengan bau belerang
yang menyengat di pinggiran kawah aktif sehingga kami lebih memilih untuk turun
menuju tenda kembali. Sungguh puas rasanya sudah menggapai puncak Sindoro
mungkin pengalaman kedua kalinya bagi saya dimana kali ini Sindoro menunjukan
aktifitasnya sebagai gunung berapi yang berstatus aktif normal, namun ini semua
adalah rahasia alam yang tak dapat kita lawan dan perkirakan, sampai kapan
Gunung Sindoro akan mengeluarkan kepulan asap pekatnya kita tidak akan pernah
tahu, tapi dengan menghargai, mencintai dan melindungi Gunung Sindoro sebagai
bagian dari kekuataan alam hal ini yang dapat kita lakukan walaupun kita
sendiri tidak akan pernah tahu misteri yang tersembunyi dari kedashyatan
kekuatan alam yang ada di negeri kita tercinta ini.
“Salam Lestari” (A.R)
0 comments:
Post a Comment