Tim Pawai Kebudayaan Pendidikan Sejarah

Atas : Loppias, Yudi, Roy, Adit, Suryo, Brurry | Bawah : Ade, Nova, Dimas, Ignatius, Cahyo, Yoshi

widget

29 Oct 2013

“Gunakan Momentum Sumpah Pemuda, Buruh Mogok Bersama”


Esok hari tanggal 28 Oktober 2013, sebuah tanggal yang bersejarah bagi perjuangan pemuda Indonesia, dimana pada tanggal ini 85 tahun yang lalu pemuda- pemudi Indonesia yang tergabung dalam  Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Minahasa Bond, Madura Bond, Sumatranen Bond mengkumandangkan Sumpah Pemuda. Sebuah sumpah suci atas rasa nasionalisme para pemuda untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan. Melalui kongres Sumpah Pemuda yang diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928, pemuda- pemudi Indonesia mencoba menyatukan arah perjuangan, melepaskan kepentingan golongan dan kedaerahannya masing- masing hanya untuk merdeka dari penjajahan.
Tidak jauh berbeda dari pengalaman yang dilakukan oleh para pemuda- pemudi bangsa Indonesia di dalam sejarah Sumpah Pemuda, demikian halnya yang dialami oleh kaum buruh di Indonesia. Perjuangannya tidak akan pernah berhenti hingga kesejahteraan serta kelayakan hidup didapatkan oleh kaum buruh. Perkembangan kaum buruh di dalam sejarah justru sudah ada sebelum Sumpah Pemuda di kumandangkan di tahun 1928. Justru pergerakan kaum buruh di masa- masa tersebut sudah mendekati titik massif dalam perlawanannya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Di tahun 1917 Sarekat Islam Semarang yang dipimpin oleh Semaoen melakukan beberapa aksi mogok bersama kaum buruh yang berujung pada aksi- aksi propaganda menuntut keadilan serta kemanusiaan bagi para buruh yang diperlakukan sewenang- wenang oleh majikannya.
Bukti dari kesewenang- wenangan para majikan maupun para mandor kepada para buruh dituliskan dalam buku Di Bawah Lentera Merah, karya Soe Hok Gie, yang di dalamnya dikutip demikian: “Kesadaran betapa ampuhnya senjata mogok yang diorganisasikan dan dibantu Sarekat Islam, sebulan kemudian dipakai kembali. Permasalahannya ialah seorang mandor galak disebuah bengkel mobil yang memukul kulinya. Sarekat Islam Semarang menyatakan mogok dan akan terus mogok apabila tidak diambil tindakan. .......beberapa hari kemudian tuntutan SI diterima oleh majikan bengkel mobil”.  Kutipan ini menunjukan fungsi advokasi dari Sarekat Islam Semarang kepada kaum buruh yang mengalami kekerasan dari para mandor atau majikannya sehingga aksi mogok bersama menjadi isu yang selalu diangkat oleh Sarekat Islam yang pada saat itu juga didorong oleh ISDV untuk melakukan propaganda untuk melawan penindasan pemerintah kolonial terhadap kaum buruh melalui mogok massa.

Mogok Nasional, Jalan Keluar
            Melihat betapa militannya perjuangan kaum buruh di dalam sejarah, membuktikan bahwa buruh bukanlah merupakan kaum yang lemah, terdiskriminasi maupun terpinggirkan oleh para kaum penguasa. Mereka berani melakukan perlawanan dari masa ke masa. Tahun 1917 menjadi perlawanan pertama bagi kaum buruh di wilayah Hindia- Belanda (Indonesia), namun di tahun 2013 ini perlawanan buruh semakin mengalami perkembangan bahkan hingga ketingkatan nasional buruh- buruh bersatu melakukan mogok massal. Aksi mogok nasional buruh akan dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober sampai tanggal 31 Oktober 2013, hal ini berkaitan dengan reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang akan mengumumkan penetapan upah minimum buruh pada tanggal 1 November 2013. Perihal aksi pemogokan nasional buruh ini diungkapkan oleh said Iqbal Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang akan melibatkan seluruh elemen buruh untuk melakukan aksi turun ke jalan dan mogok kerja selama akhir Oktober hingga awal November sebelum pemerintah menetapkan kebijakan terkait upah minimum bagi kaum buruh. Mogok nasional ini pasti dilaksanakan, jumlah massa yang akan diajak untuk mogok bersama mencapai 3 juta orang di 200 kabupaten- kota, dan akan mengkonsolidasikan seluruh para buruh di bandara, pelabuhan, kantor- kantor dan pabrik- pabrik yang ada di hampir 20 provinsi di Indonesia.
            Momentum sumpah pemuda menjadi awal yang baik dalam pergerakan kaum buruh untuk melakukan mogok massal. Tentunya bukan saja pemerintah dan pengusaha yang diingatkan disini terhadap nasib kaum buruh serta kebijakan inpres terhadap kaum buruh, melainkan membukakan mata masyarakat bahwa buruh bukanlah kaum lemah, tertindas dan terjajah, melainkan sebaliknya mogok kerja merupakan senjata ampuh bagi buruh melawan kaum- kaum modal dan feodal di Indonesia. Namun setajam- tajamnya aksi mogok sebagai media perlawanan bagi kaum buruh dan cara mereka menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, kaum buruh juga harus berhati- hati dalam melancarkan serangan aksi mogok, agar tidak menjadi boomerang yang kemudian menjadi petaka bagi kaum buruh. Hal yang demikian diungkapkan oleh Soewarsono di dalam bukunya “Bergerak Berbareng” yang mencoba mengambil sisi lain dari aksi mogok yang dilaksanakan kaum buruh di era Sarekat Islam Semarang, dimana dikutip demikian:
“Soeatoe Pemogokan jalah sendjatanja kaoem boeroeh jang tadjem sendiri, tetapi kaloe kaoem boeroeh koerang pinter memakeinja, maka sendjata itoe bisa memboenoeh si kaoem boeroeh sendiri djoega (gaman makan toean)”
Jadi setajam-tajamnya aksi mogok nasional jika kaum buruh sendiri kurang cerdas dan pintar dalam memanfaatkan aksi mogok nasional ini, aksi mogok tersebut akan membunuh kaum buruh sendiri. Memang dapat dikatakan di masa kini aksi- aksi pemogokan buruh kian massif dan menjadi sebuah jalan keluar dalam memperbaiki nasib buruh kedepannya, namun ada baiknya jika memang kepentingan kaum buruh ini tidak dijadikan untuk kepentingan politik kekuasaan bagi golongan tertentu, sehingga murni gerakan ini lahir untuk memperjuangkan nasib kaum buruh.

Sumpah Pemuda Dalam Kerangka Gerakan Buruh
            Makna Sumpah Pemuda oleh sebagian orang selalu dimaknai dengan awal perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Diawali dengan isi dari Sumpah Pemuda, “Bertanah Air Satu, Berbangsa Satu, dan Berbahasa Satu”, ketiganya memiliki makna persatuan yang sangat dalam bagi perjuangan pemuda Indonesia. Namun sejak diproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945, makna kemerdekaan dan persatuan di dalam isi Sumpah Pemuda kini seolah- olah lenyap. Banyak pemuda- pemudi yang kini justru mensalahaertikan makna kemerdekaan itu sendiri, mereka menganggap Indonesia kini sudah merdeka 100 % tapi sebenarnya bentuk penjajahan yang dialami oleh Indonesia kini berupa penjajahan pola pikir karena perkembangan teknologi dan arus globalisasi.
            Pemuda- pemudi Indonesia kini masuk ke dalam lingkaran arus globalisasi dengan pengaruh- pengaruh budaya barat, dan semakin mempermudah untuk mengakses serta menggunakan teknologi. Nasionalisme kini pun dipertaruhkan demi sebuah pemahaman globalisasi yang berakar dari kapitalisme global. Ini menjadi sebuah tantangan berat bagi para pemuda- pemudi dimana jiwa serta roh Sumpah Pemuda mampu mengeliminasi perbedaan untuk mencapai kemakmuran bangsa.
            Berbicara masalah kemakmuran bangsa sebagai tujuan dari Sumpah Pemuda bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dicapai, dimana di dalam kacamata buruh di Indonesia belum satupun buruh di Indonesia yang dapat mencapai kesejahteraan serta kemakmuran bahkan dikatakan untuk hidup layak, selayaknya sebagai seorang pekerja. Ini menjadi persoalan penting di dalam gerakan buruh yang selalu dianggap memiliki kekuataan layaknya seorang pemuda- pemudi Indonesia untuk memperjuangkan tuntutan buruh kepada pemerintah, seperti isu- isu Outsourscing, pengadaan upah minimun kepada kaum buruh, kekerasan dan perbudakan terhadap kaum buruh, yang kini kian marak terjadi dan berakhir pada aksi- aksi demonstrasi kaum buruh untuk menciptakan kondisi Chaos di lingkungannya masing- masing. Oleh karena semangat Sumpah Pemuda ini kaum buruh akan selalu memanfaatkan momentum ini sebagai awal dari langkah perjuangan bagi kaum buruh. Dengan ikut mengandeng elemen- elemen gerakan mahasiswa maupun serikat- serikat pekerja buruh seolah- olah menjadi dewa yang mampu mengkerdilkan nyali pemerintah maupun para pengusaha swasta untuk berlaku sewenang- wenang terhadap kaum buruh.
            Pemerintah disini harus memiliki ketegasan untuk mengambil kebijakan terhadap kesejahteraan buruh, agar arus demontsrasi dan mogok nasional bisa semakin berkurang. Dalam kondisi seperti ini pemerintah melarang seluruh buruh untuk melakukan sweeping pada tanggal 28 Oktober esok ini, namun pemerintah sendiri tidak memiliki solusi dalam menangani masalah kesejahteraan dan kemakmuran bagi kaum buruh. Tentu saja demikian ketika, pemerintah saat ini bukanlah pemerintah yang memperhatikan nasib rakyatnya namun hanya memikirkan nasib perutnya sendiri dengan berbagai kasus korupsi yang ikut melibatkan beberapa oknum pemerintah saat ini, betapa rakus dan serakahnya pejabat-pejabat pemerintah saat ini. Kesenjangan sosial semakin terbuka lebar dan kesejahteraan yang diharapkan hanya sebuah mimpi belaka bagi kaum buruh. (Angga, Psej’09)

Sumber:
Buku
Soe Hok Gie.2005.Di Bawah Lentera Merah.Bentang Pustaka.Yogyakarta
Soewarsono.2000.Berbareng Bergerak “Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen”.LKIS.Yogyakarta

Web
Antara News.com “Buruh Rencanakan Mogok Nasional Akhir Oktober”diunduh tanggal 26 Oktober 2013
Gemari.or.id “Pemuda Miliki Idealisme Untuk Tentukan Sendi Kehidupan”diunduh tanggal 26 Oktober 2013

 Penulis : Angga Riyon Nungroho (Pendidikan Sejarah USD)

21 Oct 2013

Lekra: Revolusi Kebudayaan Dari Tjindurian



Di tahun 1965 ketika jatuhnya rezim orde lama oleh peristiwa G30S, banyak orang berpendapat bahwa dalang yang patut dipersalahkan dalam peristiwa ini adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Mereka dianggap ingin melakukan kudeta menjatuhkan pemerintahan Soekarno dengan menculik serta membunuh para jenderal Angkatan Darat yang kemudian jenazahnya sebagian ditemukan di desa Lubang Buaya, Jakarta. Dari peristiwa inilah mulai terdengar gencar isu- isu terhadap organ- organ yang memiliki keterkaitan dengan PKI seperti, Surat Harian Rakjat yang kemudian di bredel dari peredarannya, kemudian organisasi Gerwani yang seluruh anggotanya kemudian ditangkap lalu diperkosa secara bergantian secara biadab oleh oknum- oknum Angkatan Darat, dan salah satunya yang kemudian selalu dipertanyakan terlibat di dalam unsur PKI adalah LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Mengapa kemudian organisasi yang terakhir disebutkan ini menjadi salah satu organisasi yang memiliki kedekatan dengan PKI tentu akan memunculkan sebuah pertanyaan besar bagi masyarakat Indonesia yang masih percaya akan pelurusan sejarah Indonesia sebagai sebuah skenario orde baru. Mengapa demikian? Mungkin dikarenakan masyarakat Indonesia saat ini hanya mempercayai skenario sejarah buatan orde baru yang selalu mengatakan bahwa G30S merupakan aksi kudeta yang dilakukan oleh PKI beserta organ- organ yang bersentuhan langsung dengan mereka, kemudian banyak yang mempercayai bahwa PKI melakukan pengerusakan terhadap tempat- tempat ibadat dan pembakaran terhadap kitab- kitab suci yang menandakan kekejaman PKI bahkan identik dengan istilah tidak bertuhan. Kemudian seolah- olah PKI hanya dianggap sebagai setan- setan yang mengerikan di masa orde baru yang harus dijauhi dan harus dimusnahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang Pancasilais.
Namun apakah masih banyak bukti yang menguatkan bahwa PKI itu bersalah? Apalagi yang ikut melibatkan orang- orang Lekra di dalamnya, yang murni masuk ke dalam keanggotaan Lekra untuk menyalurkan bakat seni serta budayanya sebagai media untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan. Hal ini sungguh tidak masuk akal dan banyak persepsi yang kemudian memandang Lekra negatif, ikut serta di dalam aksi kudeta serta menjadi bulan- bulanan Angkatan Darat yang sudah terlanjur mempercayai Lekra masuk kedalam struktural PKI.

Merasa Jatuh Serta Dipermainkan Oleh Zaman yang Kejam
            Di bentuk pada masa Revolusi Kemerdekaan bukan menjadi perjuangan yang mudah bagi Lekra yang berusaha menyatukan seluruh para seniman dan budayawan untuk tetap mendukung kemerdekaan bagi rakyat Indonesia, salah satunya melalui kesenian. Lekra di bentuk di Jakarta, 17 Agustus 1950. Tepat lima tahun setelah pecah Revolusi Agustus 1945. Terbentuk dari inisiatif para senimanyang berkumpul di ibu Kota yang kemudian mendirikan Lekra sebagai wadah perjuangan mereka sebagai seniman yang mendukung kemerdekaan Indonesia dari penjajahan melalui jalur Seni.
            Seperti yang diungkapkan oleh Hersri Setiawan, Sekertaris Umum Lekra Jawa Tengah yang mengatakan bahwa pembentukan Lekra tak dapat dilepaskan dari situasi politik Tanah Air kala itu. Setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 1949, Indoensia tidak dapat dikatakan merdeka seratus persen. “Jadi pembentukan Lekra bertujuan membebaskan diri dari ketergantungan pada negeri penjajah”, ujar Hersri, pada pertengahan bulan September lalu kepada redaksi Majalah Tempo.
            Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Rhoma Dwi Aria salah satu dosen Sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta dalam tulisannya Lekra Tak Membakar Buku, Lekra muncul untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut dari garis revolusi. Artinya tugas revolusi bukan hanya diemban oleh para pemimpin bangsa Indonesia melainkan juga menjadi tanggung jawab para pekerja kebudayaan.
           
Pembentukannya di awal revolusi kemerdekaan Indonesia tidak sebanding dengan kisah perjalanannya, Lekra kemudian dihadapkan dengan permasalahan yang pelik, dari persaingannya dengan Manikebu hingga tuduhan ikut terlibat dalam peristiwa G30S menjadi bagian dari sejarah kelam Lekra di akhir- akhir tahun 1965-1966. Pembunuhan 7 Jenderal Angkatan Darat di Jakarta yang diikuti dengan pembantain massal orang- orang yang dianggap serta dituduh PKI membawa Lekra jatuh kedalam lingkaran pembantaian karena dianggap ikut tergabung ke dalam PKI seperti organisasi- organisasi massa yang lainnya seperti BTI, Gerwani dan Harian Suara Rakjat.
Sejauh mana kedekatan antara Lekra dengan PKI mungkin tidak banyak orang yang tahu, bahkan banyak dari organisasi kelembagaan yang lainnya yang dituduh ikut dalam kegiatan PKI tidak tahu menahu sama sekali dengan konflik yang terjadi antara tahun 1965-1966 yang puncaknya terjadi pada pembersihan seluruh antek- antek PKI beserta organ- organ yang ikut terlibat di dalamnya. Pertanyaannya apakah Lekra menjadi bagian dari PKI? Lalu sejauh mana para Lekra mengetahui seluk beluk terjadinya pembunuhan para Jenderal di tahun 1965?
Pertanyaan- pertanyaan ini akan terjawab ketika melihat hubungan Lekra dan PKI ataupun anggapan orang selama ini yang selalu mengatasnamakan Lekra sebagai onderbouw dari PKI. Pada intinya banyak para anggota Lekra yang menolak organisasi Lekra menginduk pada pada PKI. Njoto salah satu pendiri Lekra sekaligus Pki selalu melawan keinginan ketua CC PKI D.N. Aidit untuk menjadikan Lekra sebagai organisasi resmi PKI. Salah seorang eks anggota Lekra secara bergurau pernah mengatakan, “Aidit gagal mem-PKI-kan Lekra, tapi Soeharto justru berhasil mewujudkannya”. Meskipun dianggap sebagai sebuah gurauan namun ada makna tertentu yang dimunculkan dalam gurauan ini, mungkin dapat dikatakan bahwa Soehartolah yang justru menjadi akar dari permasalahan ini, yang kemudian menjadikan Lekra sebagai tertuduh serta merasa dipermainkan oleh konspirasi politik dalam perpindahan zaman yang kejam dan pelakunya seolah- olah mengarahkan pada sosok Soeharto. Asumsi yang kedua terkait seberapa dekat Lekra dengan PKI, dapat terjawab pada awal pendirian Lekra banyak petinggi- petinggi PKI seperti Njoto maupun Aidit yang ikut terlibat di dalam proses pembentukannya namun dapat dikatakan orang semacam Aidit tidak pernah rutin datang pada saat pertemuan Lekra berlangsung, sehingga dapat dikatakan Aidit bukan anggota aktif Lekra, dia lebih condong ke PKI. Lalu kemudian asumsi yang ketiga ialah disaat PKI menjadi salah satu partai pemenang Pemilu tahun 1955, di dalam memperoleh suara Aidit yang saat itu menjabat sebagai ketua CC PKI harus mencari dukungan sebanyak- banyaknya bahkan dengan organ- organ diluar dari PKI, seperti BTI, Gerwani maupun Lekra sendiri, hal ini murni politik untuk kembali mengangkat nama PKI yang telah lama hilang kepermukaan dan perkancahan politik Indonesia saat itu.
 Namun dari ketiga pandangan ini ada satu hal yang terkadang jarang diangkat ke dalam permukaan yaitu ketertarikan pribadi Aidit selaku ketua CC PKI terhadap seni terutama seni musik, yang kemudian membawanya pada organisasi Lekra yang dirasa cukup mempunyai kapasitas massa besar dalam skala nasional yang dapat dimanfaatkan Aidit sebagai ajang pengangkatan namanya di dalam dunia politik dan dapat mengapresiasikan kesenangan pribadinya di dalam bidang seni. Berbagai asumsi yang sudah dipaparkan tersebut tentu tidak akan membuat pandangan orang terhadap Lekra akan langsung berubah, tetap pandangan terhadap organisasi ini selalu dihubungkan sebagai Onderbouw PKI. Setelah peristiwa 65 terjadi para pemimpin Lekra dihabisi: ditangkap, dibunuh, dipenjarakan. Mereka kemudian diasingkan di Eropa, di negeri- negeri dingin sampai mati kesepian, bahkan makam salah satu tokoh Lekra Utuy Tatang sampai saat ini tidak diketahui dimana rimbanya setelah kematiannya pada tahun 1979 di Moskow, sosok- sosok seniman ini seolah menghilang ditelan zaman yang kejam. Bagi yang selamat hingga dapat diwawancarai sampai saat ini tidak akan bisa melepas kepedihannya sebagai eks- tapol PKI, merasa dipermainkan mungkin akan selalu terjadi, namun mereka hanya berharap pemerintah saat ini tahu yang sebenarnya tentang Lekra dan tentang PKI agar menjauhkan stigma- stigma negatif pada organisasi- organisasi ini.

Tjindurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas Kemerdekaannya
            Setelah meletus peristiwa 65 segala aktifitas dari kegiatan Lekra bersama anggotanya terancam begitupun dengan jalannya aktifitas kesekertariatan Lekra di Jalan Tjindurian 19, Jakarta secara otomatis berhenti total. Kemudian beberapa tokoh- tokoh Lekra di Jakarta dan sekitarnya ditangkap serta kemudian diasingkan. Tjindurian 19 menjadi bagian dari kehidupan organisasi Lekra yang berjalan terseok- seok oleh kejaran militer yang sudah terlanjur mengecap mereka sebagai orang PKI. Kantor Lekra ini biasa digunakan untuk mempersiapkan segala kebutuhan yang berkaitan dengan pementasan, pertunjukan bagi para anggota Lekra yang ingin mengadakan pertunjukan seni maupun pementasan. Hampir setiap hari kantor ini disibukan dengan pembuatan dekorasi pertunjukan maupun untuk menyimpan perlengkapan- perlengkapan kesenian yang selesai digunakan untuk pentas.
            Seolah- olah ingin menghilangkan pengaruh dari Komunisme di Indonesia, pemerintahan masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto kemudian berusaha membangun opini baru untuk meleburkan Lekra dan melenyapkannya dari sejarah Indonesia, dengan merobohkan segala bangunan- bangunan yang dahulu pernah dijadikan kantor Lekra seperti di Jalan Tjindurian 19, Menteng, Jakarta Pusat dan di kantor Lekra yang terdapat di Jalan Salemba Raya kini beralih fungsi markas kepolisian Metro Sawah Besar dan Balai Konservasi Sumber daya Alam DKI Jakarta.
            Sungguh segalanya telah hilang dalam sekejap karena dianggap sebagai Kudeta yang gagal di tahun 1965, bangsa Indonesia kini harus merelakan sejarahnya dimanipulasi hanya untuk kepentingan pemerintah Orde Baru. Bahkan yang sangat disayangkan lagi berpuluh- puluh ribu jiwa tak bersalah harus dikorbankan karena peristiwa ini. Kini Tjindurian 19 sepi tak ada lagi pertunjukan ketoprak, wayang, teater maupun kegiatan melukis bagi para seniman kota Jakarta dalam mengapresiasikan bakat seninya itu, hanya tersisa bangunan- bangunan baru hasil rampasan pemerintah Orde Baru yang sengaja melenyapkan bangunan- bangunan bersejarah hasil karya para seniman rakjat.
            Namun tidak selamanya orang- orang yang dianggap sebagai eks anggota Lekra bahkan yang masih selamat hingga sampai saat ini hanya tetap berdiam diri saja, melainkan tetap selalu menghidupkan kesenian bagi rakjat yang tetap jalannya untuk menempuh kemerdekaan. Tidak semua anggota Lekra tertangkap pada masa Geger 1965, masih ada eks anggota Lekra yang masih tetap menghidupkan jiwa berkeseniannya di beberapa kota di Jawa, seperti Yogyakarta, Semarang, Solo dan Bandung karena di Jakarta sendiri menjadi pusat kekuatan militer yang mematikan aktifitas berkesenian anggota Lekra, sehingga pergerakan beralih ke luar kota Jakarta. Dari Tjinudiran inilah kesenian rakjat hidup yang tetap membawa nama Lekra tetap dikenang bagi para seniman tanah air. Kemerdekaan Tjindurian memang telah dirampas oleh Orde Baru, namun semangat revolusi akan tetap terus lahir dari para penerus- penerus Lekra yang tetap ingin berkarya dan bersuara bagi kemerdekaan Indonesia.


Sumber:
 Majalah Tempo Edisi Khusus Lekra dan Geger 1965   tanggal 30 September 2013 -6 Oktober 2013 hal. 54-62 

Penulis                   : Angga Riyon Nugroho
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma
Angkatan 2009