Di tahun 1965
ketika jatuhnya rezim orde lama oleh peristiwa G30S, banyak orang berpendapat
bahwa dalang yang patut dipersalahkan dalam peristiwa ini adalah PKI (Partai
Komunis Indonesia). Mereka dianggap ingin melakukan kudeta menjatuhkan
pemerintahan Soekarno dengan menculik serta membunuh para jenderal Angkatan
Darat yang kemudian jenazahnya sebagian ditemukan di desa Lubang Buaya,
Jakarta. Dari peristiwa inilah mulai terdengar gencar isu- isu terhadap organ-
organ yang memiliki keterkaitan dengan PKI seperti, Surat Harian Rakjat yang
kemudian di bredel dari peredarannya, kemudian organisasi Gerwani yang seluruh
anggotanya kemudian ditangkap lalu diperkosa secara bergantian secara biadab
oleh oknum- oknum Angkatan Darat, dan salah satunya yang kemudian selalu dipertanyakan
terlibat di dalam unsur PKI adalah LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Mengapa
kemudian organisasi yang terakhir disebutkan ini menjadi salah satu organisasi
yang memiliki kedekatan dengan PKI tentu akan memunculkan sebuah pertanyaan
besar bagi masyarakat Indonesia yang masih percaya akan pelurusan sejarah
Indonesia sebagai sebuah skenario orde baru. Mengapa demikian? Mungkin
dikarenakan masyarakat Indonesia saat ini hanya mempercayai skenario sejarah
buatan orde baru yang selalu mengatakan bahwa G30S merupakan aksi kudeta yang
dilakukan oleh PKI beserta organ- organ yang bersentuhan langsung dengan
mereka, kemudian banyak yang mempercayai bahwa PKI melakukan pengerusakan
terhadap tempat- tempat ibadat dan pembakaran terhadap kitab- kitab suci yang menandakan
kekejaman PKI bahkan identik dengan istilah tidak bertuhan. Kemudian seolah-
olah PKI hanya dianggap sebagai setan- setan yang mengerikan di masa orde baru
yang harus dijauhi dan harus dimusnahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang Pancasilais.
Namun apakah
masih banyak bukti yang menguatkan bahwa PKI itu bersalah? Apalagi yang ikut
melibatkan orang- orang Lekra di dalamnya, yang murni masuk ke dalam
keanggotaan Lekra untuk menyalurkan bakat seni serta budayanya sebagai media
untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan. Hal ini sungguh tidak masuk akal
dan banyak persepsi yang kemudian memandang Lekra negatif, ikut serta di dalam
aksi kudeta serta menjadi bulan- bulanan Angkatan Darat yang sudah terlanjur
mempercayai Lekra masuk kedalam struktural PKI.
Merasa Jatuh Serta Dipermainkan Oleh Zaman yang Kejam
Di bentuk pada masa
Revolusi Kemerdekaan bukan menjadi perjuangan yang mudah bagi Lekra yang
berusaha menyatukan seluruh para seniman dan budayawan untuk tetap mendukung
kemerdekaan bagi rakyat Indonesia, salah satunya melalui kesenian. Lekra di
bentuk di Jakarta, 17 Agustus 1950. Tepat lima tahun setelah pecah Revolusi
Agustus 1945. Terbentuk dari inisiatif para senimanyang berkumpul di ibu Kota
yang kemudian mendirikan Lekra sebagai wadah perjuangan mereka sebagai seniman
yang mendukung kemerdekaan Indonesia dari penjajahan melalui jalur Seni.
Seperti yang diungkapkan
oleh Hersri Setiawan, Sekertaris Umum Lekra Jawa Tengah yang mengatakan bahwa
pembentukan Lekra tak dapat dilepaskan dari situasi politik Tanah Air kala itu.
Setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 1949, Indoensia tidak
dapat dikatakan merdeka seratus persen. “Jadi
pembentukan Lekra bertujuan membebaskan diri dari ketergantungan pada negeri
penjajah”, ujar Hersri, pada pertengahan bulan September lalu kepada
redaksi Majalah Tempo.
Hal yang serupa juga
diungkapkan oleh Rhoma Dwi Aria salah satu dosen Sejarah dari Universitas
Negeri Yogyakarta dalam tulisannya Lekra
Tak Membakar Buku, Lekra muncul untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut
dari garis revolusi. Artinya tugas revolusi bukan hanya diemban oleh para
pemimpin bangsa Indonesia melainkan juga menjadi tanggung jawab para pekerja
kebudayaan.
Pembentukannya
di awal revolusi kemerdekaan Indonesia tidak sebanding dengan kisah
perjalanannya, Lekra kemudian dihadapkan dengan permasalahan yang pelik, dari
persaingannya dengan Manikebu hingga tuduhan ikut terlibat dalam peristiwa G30S
menjadi bagian dari sejarah kelam Lekra di akhir- akhir tahun 1965-1966.
Pembunuhan 7 Jenderal Angkatan Darat di Jakarta yang diikuti dengan pembantain
massal orang- orang yang dianggap serta dituduh PKI membawa Lekra jatuh kedalam
lingkaran pembantaian karena dianggap ikut tergabung ke dalam PKI seperti
organisasi- organisasi massa yang lainnya seperti BTI, Gerwani dan Harian Suara
Rakjat.
Sejauh mana
kedekatan antara Lekra dengan PKI mungkin tidak banyak orang yang tahu, bahkan
banyak dari organisasi kelembagaan yang lainnya yang dituduh ikut dalam
kegiatan PKI tidak tahu menahu sama sekali dengan konflik yang terjadi antara
tahun 1965-1966 yang puncaknya terjadi pada pembersihan seluruh antek- antek
PKI beserta organ- organ yang ikut terlibat di dalamnya. Pertanyaannya apakah
Lekra menjadi bagian dari PKI? Lalu sejauh mana para Lekra mengetahui seluk
beluk terjadinya pembunuhan para Jenderal di tahun 1965?
Pertanyaan-
pertanyaan ini akan terjawab ketika melihat hubungan Lekra dan PKI ataupun
anggapan orang selama ini yang selalu mengatasnamakan Lekra sebagai onderbouw
dari PKI. Pada intinya banyak para anggota Lekra yang menolak organisasi Lekra
menginduk pada pada PKI. Njoto salah satu pendiri Lekra sekaligus Pki selalu melawan
keinginan ketua CC PKI D.N. Aidit untuk menjadikan Lekra sebagai organisasi
resmi PKI. Salah seorang eks anggota Lekra secara bergurau pernah mengatakan,
“Aidit gagal mem-PKI-kan Lekra, tapi Soeharto justru berhasil mewujudkannya”.
Meskipun dianggap sebagai sebuah gurauan namun ada makna tertentu yang
dimunculkan dalam gurauan ini, mungkin dapat dikatakan bahwa Soehartolah yang
justru menjadi akar dari permasalahan ini, yang kemudian menjadikan Lekra
sebagai tertuduh serta merasa dipermainkan oleh konspirasi politik dalam
perpindahan zaman yang kejam dan pelakunya seolah- olah mengarahkan pada sosok
Soeharto. Asumsi yang kedua terkait seberapa dekat Lekra dengan PKI, dapat
terjawab pada awal pendirian Lekra banyak petinggi- petinggi PKI seperti Njoto
maupun Aidit yang ikut terlibat di dalam proses pembentukannya namun dapat
dikatakan orang semacam Aidit tidak pernah rutin datang pada saat pertemuan
Lekra berlangsung, sehingga dapat dikatakan Aidit bukan anggota aktif Lekra,
dia lebih condong ke PKI. Lalu kemudian asumsi yang ketiga ialah disaat PKI
menjadi salah satu partai pemenang Pemilu tahun 1955, di dalam memperoleh suara
Aidit yang saat itu menjabat sebagai ketua CC PKI harus mencari dukungan
sebanyak- banyaknya bahkan dengan organ- organ diluar dari PKI, seperti BTI,
Gerwani maupun Lekra sendiri, hal ini murni politik untuk kembali mengangkat
nama PKI yang telah lama hilang kepermukaan dan perkancahan politik Indonesia
saat itu.
Namun dari ketiga pandangan ini ada satu hal
yang terkadang jarang diangkat ke dalam permukaan yaitu ketertarikan pribadi
Aidit selaku ketua CC PKI terhadap seni terutama seni musik, yang kemudian
membawanya pada organisasi Lekra yang dirasa cukup mempunyai kapasitas massa
besar dalam skala nasional yang dapat dimanfaatkan Aidit sebagai ajang
pengangkatan namanya di dalam dunia politik dan dapat mengapresiasikan
kesenangan pribadinya di dalam bidang seni. Berbagai asumsi yang sudah
dipaparkan tersebut tentu tidak akan membuat pandangan orang terhadap Lekra
akan langsung berubah, tetap pandangan terhadap organisasi ini selalu
dihubungkan sebagai Onderbouw PKI. Setelah peristiwa 65 terjadi para pemimpin
Lekra dihabisi: ditangkap, dibunuh, dipenjarakan. Mereka kemudian diasingkan di
Eropa, di negeri- negeri dingin sampai mati kesepian, bahkan makam salah satu
tokoh Lekra Utuy Tatang sampai saat ini tidak diketahui dimana rimbanya setelah
kematiannya pada tahun 1979 di Moskow, sosok- sosok seniman ini seolah
menghilang ditelan zaman yang kejam. Bagi yang selamat hingga dapat diwawancarai
sampai saat ini tidak akan bisa melepas kepedihannya sebagai eks- tapol PKI,
merasa dipermainkan mungkin akan selalu terjadi, namun mereka hanya berharap
pemerintah saat ini tahu yang sebenarnya tentang Lekra dan tentang PKI agar
menjauhkan stigma- stigma negatif pada organisasi- organisasi ini.
Tjindurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas Kemerdekaannya
Setelah meletus peristiwa 65 segala aktifitas dari kegiatan Lekra bersama
anggotanya terancam begitupun dengan jalannya aktifitas kesekertariatan Lekra
di Jalan Tjindurian 19, Jakarta secara otomatis berhenti total. Kemudian
beberapa tokoh- tokoh Lekra di Jakarta dan sekitarnya ditangkap serta kemudian
diasingkan. Tjindurian 19 menjadi bagian dari kehidupan organisasi Lekra yang
berjalan terseok- seok oleh kejaran militer yang sudah terlanjur mengecap
mereka sebagai orang PKI. Kantor Lekra ini biasa digunakan untuk mempersiapkan
segala kebutuhan yang berkaitan dengan pementasan, pertunjukan bagi para
anggota Lekra yang ingin mengadakan pertunjukan seni maupun pementasan. Hampir
setiap hari kantor ini disibukan dengan pembuatan dekorasi pertunjukan maupun
untuk menyimpan perlengkapan- perlengkapan kesenian yang selesai digunakan
untuk pentas.
Seolah-
olah ingin menghilangkan pengaruh dari Komunisme di Indonesia, pemerintahan
masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto kemudian berusaha membangun opini
baru untuk meleburkan Lekra dan melenyapkannya dari sejarah Indonesia, dengan
merobohkan segala bangunan- bangunan yang dahulu pernah dijadikan kantor Lekra
seperti di Jalan Tjindurian 19, Menteng, Jakarta Pusat dan di kantor Lekra yang
terdapat di Jalan Salemba Raya kini beralih fungsi markas kepolisian Metro
Sawah Besar dan Balai Konservasi Sumber daya Alam DKI Jakarta.
Sungguh
segalanya telah hilang dalam sekejap karena dianggap sebagai Kudeta yang gagal
di tahun 1965, bangsa Indonesia kini harus merelakan sejarahnya dimanipulasi
hanya untuk kepentingan pemerintah Orde Baru. Bahkan yang sangat disayangkan
lagi berpuluh- puluh ribu jiwa tak bersalah harus dikorbankan karena peristiwa
ini. Kini Tjindurian 19 sepi tak ada lagi pertunjukan ketoprak, wayang, teater
maupun kegiatan melukis bagi para seniman kota Jakarta dalam mengapresiasikan
bakat seninya itu, hanya tersisa bangunan- bangunan baru hasil rampasan
pemerintah Orde Baru yang sengaja melenyapkan bangunan- bangunan bersejarah
hasil karya para seniman rakjat.
Namun
tidak selamanya orang- orang yang dianggap sebagai eks anggota Lekra bahkan
yang masih selamat hingga sampai saat ini hanya tetap berdiam diri saja,
melainkan tetap selalu menghidupkan kesenian bagi rakjat yang tetap jalannya
untuk menempuh kemerdekaan. Tidak semua anggota Lekra tertangkap pada masa
Geger 1965, masih ada eks anggota Lekra yang masih tetap menghidupkan jiwa
berkeseniannya di beberapa kota di Jawa, seperti Yogyakarta, Semarang, Solo dan
Bandung karena di Jakarta sendiri menjadi pusat kekuatan militer yang mematikan
aktifitas berkesenian anggota Lekra, sehingga pergerakan beralih ke luar kota
Jakarta. Dari Tjinudiran inilah kesenian rakjat hidup yang tetap membawa nama
Lekra tetap dikenang bagi para seniman tanah air. Kemerdekaan Tjindurian memang
telah dirampas oleh Orde Baru, namun semangat revolusi akan tetap terus lahir
dari para penerus- penerus Lekra yang tetap ingin berkarya dan bersuara bagi
kemerdekaan Indonesia.
Sumber:
Majalah Tempo Edisi Khusus Lekra dan Geger
1965 tanggal 30 September 2013 -6
Oktober 2013 hal. 54-62
Penulis :
Angga Riyon Nugroho
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma
Angkatan 2009
semangat mas angga..!!!
ReplyDeleteThanks and I have a keen supply: Whole Home Renovation Cost house renovation financing
ReplyDelete