Tim Pawai Kebudayaan Pendidikan Sejarah

Atas : Loppias, Yudi, Roy, Adit, Suryo, Brurry | Bawah : Ade, Nova, Dimas, Ignatius, Cahyo, Yoshi

widget

17 Jan 2012

Gaya Konsumtif Ala Wakil Rakyat Indonesia

“Sepertinya slogan bahwa wakil rakyat dapat dijadikan sebagai teladan, sebagai contoh bagi rakyat Indonesia mulai tak nampak lagi, ketika kelakuan- kelakuan elit- elit politik ini sudah dinilai terlalu berlebihan dan membawa pengaruh buruk bagi kemunduran bangsa Indonesia. Betapa tidak ketika permasalahan yang terjadi di daerah- daerah Indonesia, seperti kerusuhan di Mesuji, Lampung belum selesai, Tragedi kemanusiaan di Bima, NTB belum bisa diselesaikan kini bertambah lagi ketika wakil rakyat hanya bisa membuat masalah tanpa mau mempedulikan kondisi yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Sangatlah pantas ketika rakyat marah, rakyat berhak bersuara ketika muncul wacana dari Sekjen DPR untuk merenovasi Ruang Banggar Rapat dengan total anggaran 20 Milliar, belum lagi wacana sebelumnya tentang renovasi Toilet yang menghabiskan dana sebesar 2 Milliar yang mendapat kecaman dari masyarakat kecil di berbagai daerah di Indonesia yang menuntut kesejahteraan dan Reform Agraria tentang masalah kepimilikan tanah bagi para petani dan buruh perkebunan untuk pengelolaannya. Masih banyak tuntutan- tuntutan rakyat yang belum mau di dengar oleh para wakil rakyat yang merasa tuli mendengar keluhan- keluhan rakyat dan tidak mau melepaskan gaya Konsumtif mereka sebagai penguasa yang suka berbual dan mengumbar janji palsu kepada rakyat Indonesia…………..”

Wajah Bopeng Para Wakil Rakyat
            “Rezim yang dzalim sudah mengkhianati kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya, dan pemerintah yang terus membunuh rakyatnya dengan keji dan tanpa ampun”,  mungkin ini yang dapat digambarkan dari apa yang terjadi pada pemerintahan SBY- Boediono saat ini, ketika permasalahan demi permasalahan terus datang menghampiri Indonesia di masa pemerintahan SBY. Ketika melihat realita yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini, kemiskinan, ketidakberdayaan akan pendidikan bagi anak- anak yang ada di beberapa daerah di Indonesia, penanganan terhadap beberapa bencana alam yang terjadi menjelang terjadinya musim penghujan, kerusuhan-  kerusuhan di berbagai daerah yang mengisyaratkan kepada masyarakat bahwa rezim SBY- Boediono telah mendzalimi kesejahteraan rakyat Indonesia. Betapa tidak ketika wajah- wajah mereka yang tiada memiliki salah dan tidak tahu menahu tentang permasalahan- permasalahan yang terjadi di Tanah Air, seenaknya wakil rakyat di gedung DPR/MPR meminta sebuah fasilitas yang layak dan diperbaharui dengan tingkat kemewahan diatas rata- rata. Apakah mungkin dengan begitu kinerja wakil rakyat akan maksimal sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia, yang benar- benar berjuang dengan kesucian bagi perubahan Indonesia ke depannya, toh dengan kondisi yang seperti sekarang ini di Sidang Paripurna saja masih banyak wakil rakyat yang menambah libur setelah liburan panjang akhir tahun kemarin, sebagai dalih untuk membolos tidak mengikuti sidang, padahal sidang tersebut membicarakan tentang permasalahan rakyat Indonesia, tapi apalah daya, mereka yang telah mengimingi- imingi sebuah janji palsu kepada rakyat Indonesia, sebaiknya harus bertanggung jawab terhadap apa yang mereka suarakan kepada rakyat, agar rakyat tidak menganggap tanggung jawab yang sudah diberikan kepada wakil rakyat bukan sebuah tanggung jawab yang kecil dan dianggap sepele ketika pada realitanya wakil rakyatlah yang semestinya menjadi garda terdepan daripada kesejahteraan rakyat Indonesia.
            Menilik dari beberapa persoalan yang terjadi inilah dari etos kerja seorang wakil rakyat, yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat dan penyelenggaraan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, justru menimbulkan polemik ketika melihat kebijakan untuk merenovasi ruang banggar rapat DPR yang menghabiskan anggaran sebanyak 20 Milliar untuk keperluan tata ruangan dan pembelian beberapa perlengkapan pelengkap rapat bagi para wakil rakyat di gedung DPR/MPR. Bagaimana tidak miris keputusan atau kebijakan ini dikeluarkan ketika kondisi bangsa Indonesia masih dihantui beberapa permasalahan diberbagai daerah di Indonesia tentang keberpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia. Tentu pada kebijakan ini seluruh lapisan dan element masyarakat turut ambil bicara mengenai keterkaitan renovasi ruang banggar rapat para wakil rakyat ini, banyak yang bertanya sebegitukah konsumtifnya para wakil rakyat saat ini ketika tujuan mereka berada di kursi pemerintahan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi kini yang sejahtera adalah mereka sendiri, seperti yang diketahui bahwa sebelumnya ada wacana untuk merenovasi toilet yang ada di gedung DPR/MPR, Senayan, yang menghabiskan anggaran dana sebanyak 2 Milliar, dibayangan masyarakat umumnya mungkin toilet ini sangatlah mewah dibandingkan toilet umum pada biasanya, tetapi apakah dengan kemewahan yang dimiliki dari fasilitas toilet 2 Milliar ini membangkitkan kinerja yang lebih baik dari para wakil rakyat sebagai penyambung lidah masyarakat Indonesia. Sama halnya dengan keberadaan wacana untuk merenovasi ruang banggar rapat di gedung DPR/MPR, hal ini pun menuai banyak kontroversi dari yang menyoroti perihal gaya Konsumtif yang dimiliki oleh para wakil rakyat hingga jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk pembiayaan renovasi ruang banggar yang baru. Sehingga masyarakat Indonesia pun menanyakan etos kerja yang dimiliki oleh para wakil rakyat, apakah selama ini sudah berjalan dengan semestinya.   
Perihal tentang tingkah laku Konsumtif dari para wakil rakyat ini Didi Syamsudin selaku ketua Departemen Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi ikut berkomentar terkait dengan anggaran renovasi banggar rapat yang mencapai 20 Milliar. “Harusnya disebutkan satu persatu itemnya, misalnya harga kursi, karpet, ac, wallpaper, TV dan sebagainya, sehingga ada transparasi dari keuangan yang dikucurkan oleh pemerintah Indonesia terhadap pengadaan fasilitas bagi wakil rakyat di gedung DPR/MPR(12/01/2012). Menuru Didi, sebagai anggota dewan dirinya sangat sulit untuk menjawab pertanyaan publik dan konstituen yang menanyakan anggaran renovasi tersebut, renovasi ruang rapat yang menelan anggaran hingga 20 Milliar dianggapnya sangat tidak wajar. “Kalau hanya sekedar renovasi ruangan kok sangat besar sekali, maka dari itu Sekjen DPR harus menjelaskan rinciannya agar publik tahu dan dapat menilai sendiri, terang anggota komisi III DPR ini.
Perlu adanya sebuah transparasi yang harus dilakukan oleh Sekjen DPR yang mengurusi perihal keterkaitan renovasi ruangan bahkan beberapa perihal yang terkait dengan perbaikan bangunan gedung wakil rakyat di Senayan, sehingga apa yang dibicarakan masyarakat mengenai wajah bopeng dari wakil rakyat saat ini ada benarnya ketika transparasi anggaran kebutuhan fasilitas yang menjadi sangat penting diperlihatkan kepada masyarakat, pada intinya bukan menjadi hal yang penting bagi Sekjen DPR untuk mengungkapkannya kepada masyarakat Indonesia, tentu saja ada sebuah permainan terselubung yang coba ditutupi mengenai pengeluaran anggaran sebesar itu untuk merenovasi ruangan beserta beberapa fasilitas lain yang terdapat di gedung DPR/MPR, dan hanya orang- orang yang berada diataslah yang mengetahui persoalan ini, salah satunya adalah Sekjen DPR, Nining IndraSaleh.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Dipo Alam selaku Sekertaris Kabinet dalam menyikapi permasalahan yang mempergunjingkan anggota wakil rakyat, menurutnya dari pihaknya siap memfasilitasi pimpinan DPR jika ingin mengganti Nining Indra Saleh dari jabatannya sebagai Sekjen DPR. “Kalau Sekjen DPR kurang menunjukkan kinerja politik yang bagus, DPR sering menjadi bulan- bulanan, oleh karena itu untuk memperbaiki citra buruk dari keberadaan DPR dan para wakil rakyat yang bernaung dibawahnya Dipo memberikan tawaran untuk memberikan usulan pengganti bagi Sekjen DPR yang baru”. “Ajukan saja penggantinya kepada Presiden, Seskab siap memfasilitasi”, kata Dipo (12/01/2012).           
Dari pernyataan Dipo inilah dilihat ada sebuah wacana yang digerakan oleh beberapa anggota DPR (wakil rakyat) untuk melakukan pergantian Sekjen yang baru sebagaimana terlihat dengan pemenuhan- pemenuhan fasilitas yang anggarannya melambung tinggi melebihi kewajaran dan sebagai wakil rakyat semestinya mereka memiliki kesadaran bahwa ini merupakan sebuah kinerja yang sangat menyimpang dan melanggar etos kerja para anggota DPR sebagai penyalura dan penyambung lidah rakyat kepada pemerintah pusat, maka usulan dari Dipo merupakan bagian pemecahan untuk segera menghentikan segala permainan yang terjadi dibelakang anggaran pemenuhan fasilitas anggota DPR.

Semestinya Mereka Malu!
            Menyikapi permasalahan yang terjadi dari gaya Konsumtif para wakil rakyat di pemerintahan, ada satu alasan yang mengapa perbaikan toilet dan banggar rapat para anggota wakil rakyat ini menjadi sebuah polemik yang selalu dibicarakan. Ketika ada suatu keluhan dari salah seorang anggota DPR dari komisi IX yang mengeluhkan tentang fasilitas toilet yang membuatnya basah kuyup ketika harus buang air di toilet Nusantara I tersebut, dan ketika diwawancarai oleh detiknews, anggota DPR ini menyampaikan unek- uneknya untuk merenovasi toilet agar lebih bersih dan lebih higienis, menurut dokter muda ini ia sangat mendambakan toilet yang beradab, toilet haruslah bersih dan bebas kotoran. Lalu yang menjadi pertanyaan ketika toilet bersih dan bebas kotoran apakah dengan begini kinerja dari para anggota DPR ini akan menjadi lebih baik kedepannya, bahkan ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa toilet di DPR terutama di gedung Nusantara I sudah baik, dan bersih mungkin hanya perlu dilakukan pembersihan secara berkala dan rutin agar lebih terlihat bersih, begitu kata Roy Suryo anggota DPR dari FPD.
            Berbicara tentang banyak suara- suara yang pro maupun kontra ini semestinya para anggota DPR yang katanya wakil rakyat ini, seharusnya mereka malu dengan kondisi yang ada saat ini, disaat mereka sedang sibuk mengurusi toilet yang kurang higienis, kurang bersih bahkan terkesan banyak kotoran, disatu sisi dalam berbagai bidang sendi kemasyarakatan di Indonesia masih perlu banyak dorongan dan kontribusi dari para wakil rakyat yang duduk di dalam kursi pemerintahan. Ketika membicarakan toilet yang anggarannya mencapai 2 Milliar, sungguh sangat miris ketika melihat anak- anak di SDN Tajur 7 harus bersekolah beratapkan atap- atap yang telah rapuh, bahkan sebagian besar kelasnya sudah tak layak pakai dan berbagai fasilitas yang ada di sekolah tersebut sudah tidak memenuhi kata layak. Ironis memang ketika para wakil rakyat ini menginginkan suatu yang lebih untuk menunjang kinerja mereka sebagai wakil rakyat, tetapi di satu sisi masih saja banyak anak- anak di berbagai daerah di Indonesia yang belum bisa sepenuhnya mendapat kemudahan untuk akses pendidikan yang lebih baik, apakah mungkin wakil rakyat menginginkan sebuah kemudahan, kenyamanan, dan ketentraman pada dirinya sendiri tanpa mempedulikan keadaan, kesejahteraan dan keamanan rakyat Indonesia, hal inilah yang menjadi pertimbangan penting kenapa wakil rakyat harus benar- benar menanggung malu akibat perbuatannya yang mendzalimi kewajibannya sendiri sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia.
            Ketika melihat permasalahan yang terjadi di SDN Tajur 7 hampir sama yang dialami dengan keberpihakan para anggota DPR kepada produk- produk luar negeri yang lebih terjamin kualitasnya dibandingkan dengan produk dalam negeri yang dicipatakan oleh para putra- putri bangsa Indonesia sendiri dan menjadi sebuah kebanggan dalam prestasinya untuk menciptakan produksi dalam negeri yang berkualitas. Seperti yang dialami oleh produksi mobil dari anak- anak SMK di kota Solo yang berhasil menghasilkan mobil Kiat Esemka dan kemudian diapresiasi dengan baik oleh pemerintahan kota Surakarta yang langsung memakai mobil buatan anak- anak negeri ini sebagai kendaraan pribadinya, namun ketika prestasi ini disampaikan kepada pemerintah pusat salah satunya adalah anggota DPR, banyak yang tidak memberikan apresiasi positif terhadap keberadaan mobil Kiat Esemka ini bahkan dari beberapa menteri dan anggota DPR yang mendengar kabar ini meragukan tentang unsur- unsur keselamatan yang ada pada mobil Kiat Esemka ini. Dengan adanya hal ini pemerintah secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk berpikir negatif  terhadap hasil karya anak bangsa, hasil produksi dalam negeri, bahkan lebih terkesan pesimis terhadap perkembangan mobil Kiat Esemka ini kedepannya. Hal ini menjadi permasalahan penting ketika para wakil rakyat lebih memilih produksi yang terjamin mutunya dan lebih mahal harganya dari produksi lokal untuk memenuhi hasrat Konsumtivisme dibandingkan harus  benar- benar berpihak pada masyarakat yang memiliki sejuta kreativitas dalam menciptakan suatu bentuk lapangan kerja baru dan keuntungan bagi negara, semestinya mereka malu akan keadaan ini, borok yang coba ditutup- tutupi dengan berbagai alasan demi kepentingan rakyat!!!...........
            Dua permasalahan yang dibahas diatas hanya sebuah segelintir fakta yang memang terbukti tentang kapasitas dari para anggota DPR yang sudah mulai tidak memiliki keberpihakan terhadap perubahan bangsa dan masyarakat Indonesia, semestinya mereka menjadi orang- orang yang paling tidak dapat hidup nyaman karena telah mendzalimi tugas beserta tanggung jawabnya sebagai penyambung lidah rakyat seperti janji- janjinya dulu.

Pejabat yang Tidak Loyal Sebaiknya Dipecat Saja!!!
            Betul saja dengan apa yang dibicarakan oleh banyak orang, keberadaan pejabat yang sering duduk diruang sidang, atau bahkan sering membolos dari sidang paripurna, dengan pakaian rapi, “bak seorang intelektual muda tapi kelakuan bak orang tidak berpendidikan”, duduk diruang dingin ber-ac, dengan jamuan makan yang cukup mewah, dan fasilitas penunjang Sidang dengan menggunakan teknologi yang cukup canggih, namun apa yang mereka alami semestinya sama yang dialami oleh rakyat Indonesia saat ini diberbagai pelosok daerah, yang mengalami konflik, keterbatasan akses pendidikan, bencana alam, kurangnya jaringan listrik untuk masuk kedaerahnya, tapi apalah daya, rakyat hanya bisa berpasrah dan terus berharap tanpa ada kepastian dari pemerintah yang suka berleha- leha di kursi kebesarannya.
            Melihat pola Konsumtif yang begitu menjijikan dari para anggota DPR semakin mengisyaratkan sudah tidak ada harapan lagi bagi rakyat Indonesia untuk benar- benar menerima realisasi dari janji- janji para anggota DPR ini, bahkan para wakil rakyat ini pun memiliki dalih pemanfaatan fasilitas yang berada di gedung DPR/MPR ini semata- mata untuk perubahan dan kepentingan masyarakat Indonesia. “jika memang tidak loyal lakukan pemecatan segera dan ketua DPR selaku pemimpin tertinggi bagi para wakil rakyat, semestinya dapat bertindak tegas dengan keadaan ini dengan membicarakan permasalahan yang terjadi pada tingkat anggota dewan kepada Presiden ataupun MPR sebagai lembaga yang bekerjasama dalam melakukan perubahan bagi Indonesia. Hal yang sangat keras dikatakan oleh Ketua DPR, yang mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak tahu mengetahui bahwa banggar rapat anggota DPR sudah selesai di renovasi dan menghabiskan anggaran hingga sampai 20 Milliar, hal ini sangat mengejutkan dirinya, dan akan segera memanggil Nining Indra Saleh perihal anggaran yang sangat fantastis tersebut, pihaknya akan segera melakukan pemecatan kepada Nining yang bermilliar- milliard menghabiskan uang anggaran untuk keperluan fasilitas yang semestinya tidak menghabiskan dana sebanyak itu. harapan yang kedepan segera ada pergantian sekjen DPR agar segala keperluan yang berkaitan dengan keperluan anggota dewan dapat segera di transparasikan dan tidak perlu hingga menghambur- hamburkan dana yang sangat fantastis hanya untuk melengkapi fasilitas agar terlihat mewah.
            Dalam hal ini semoga kedepannya menjadi sebuah pelajaran yang sungguh- sungguh menguji mental para anggota DPR yang rasa- rasanya sudah mulai kurang dicintai dan diperhatikan oleh masyarakat Indonesia, ketika nama wakil rakyat hanya menjadi icon yang hanya bisa menghabiskan uang negara tanpa menjadi penyambung aspirasi masyarakat Indonesia, Nining sebenarnya adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap hal ini terkait dengan penggunaan dana renovasi hingga bermilliar- milliard untuk sekedar mengganti fasilitas mewah di dalam gedung DPR/MPR, bisa- bisa nanti gedung DPR/MPR bukan menjadi gedung rakyat lagi melainkan gedung tempat para orang kaya berkumpul yang tentunya tidak memiliki otak sebagaimana mestinya seorang intelektual dapat mampu berpikir dan  pemimpin jalannya pemerintahan Indonesia. Daripada nasib rakyat semakin sengsara, sebaiknya segera lakukan pemecatan kepada anggota DPR yang sudah tidak loyal dalam bekerja kalau perlu memang terjadi kejanggalan, pengusutan dan transparasi secara tuntas yang harus dijalankan, agar tidak muncul kembali orang- orang pintar palsu yang menindas rakyatnya sendiri. 

Masih Ada Memperhatikan dan Mengayomi Masyarakat
            Ditengah kejamnya politik yang dijalankan oleh orang- orang yang berada di gedung kerakyatan ternyata masih saja ada bagian dari anggota DPR yang masih benar- benar berjuang demi perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kesejahteraan sosial, namun ditengah kontroversial masalah- masalah yang selalu dibuat oleh para wakil rakyat ini tak sedikit juga mereka yang berada di kursi dewan legislatif ini, banyak yang mengundurkan diri, karena aura kepalsuan yang selalu ditebar oleh para wakil rakyat di Senayan ini. “Ngakunya bukan Koruptor, toh ternyata masih saja ada skandal- skandal terselubung dibalik proyek yang dijalankan pemerintah”. Selain tidak kuat dalam menghadapi permainan- permainan kotor, anggota DPR yang mengundurkan diri pun sebenarnya tidak mau masuk dalam perangkap dari permainan para anggota dewan yang memiliki skandal terselubung terkait pendanaan uang negara, dan proyek- proyek pemerintah untuk pemanfaatan perkembangan masyarakat Indonesia di beberapa daerah. Di balik itu semua ada beberapa tokoh yang juga berada di pemerintahan yang masih benar- benar memperjuangkan apa yang dimau oleh rakyat dan apa yang diingini oleh rakyat, salah satunya anggota DPR yang cukup vocal dalam memperjuangkan RUU BPJS, Rieke Diah Pitaloka yang benar- benar merupakan sosok dari banyaknya anggota dewan yang masih benar- benar menjalankan etos kerjanya sebagai wakil rakyat dengan baik, bahkan kapan pun rakyat membutuhkan dirinya siap mengadvokasi perihal tentang ditetapkan RUU BPJS bagi rakyat yang kurang mampu dan berada dibawah garis kemiskinan.
            Berbeda dengan apa yang dialami oleh Rieke tentu sangat jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Joko Widodo Walikota Surakarta yang benar- benar dipandang masyarakat Surakarta sebagai tokoh yang benar- benar mengayomi wong cilik beserta kebudayaan yang ada di kota Surakarta. Dapat dilihat dengan berhasilnya Joko Widodo sebagai Walikota Surakarta dalam memberikan pandangan positif bagi para Satpol- PP yang selalu bertindak kasar kepada para pedagang kaki lima dalam proses penertiban untuk direlokasi, tentu sangat berbeda yang dilakukan oleh Joko Widodo yang melakukan pendekatan kemanusiaan kepada para pedagang kaki lima di kota Surakarta. Sehingga dengan saling berdialog dan tidak ada batasan antara pemimpin dan rakyatnya membuat para pedagang pun sama sekali tidak melakukan perlawanan yang anarkis kepada petugas Satpol- PP, melainkan kedekatan dan kehangatan yang selalu terjaga ketika antara pedagang kaki lima dan pemerintah terwujud suatu rasa kepercayaan, dan disinilah sosok pemimpin yang sebenarnya, mampu mengayomi, memanusiakan sesamanya, dan bertindak secara nyata, tentunya sangat inspiratif dan perlu dicontoh oleh para wakil rakyat yang sukanya hanya memperkaya diri, tetapi mengecilkan hati, bahkan suka- suka berlagak sok pintar tanpa ada tindakan apa- apa.
            Ternyata apa yang dialami tentang gonjang- ganjing permasalahan anggaran renovasi toilet dan renovasi ruang banggar rapat hingga menghabiskan dana bermilliar- milliard, dapat terobati dengan sebuah tindakan nyata yang dilakukan beberapa pemimpin di daerah ataupun beberapa anggota DPR yang masih benar- benar ingin menjadi penyambung lidah rakyat yang sesungguhnya, sehingga bangsa Indonesia memperoleh sosok seorang pemimpin yang benar- benar berpihak kepada wong cilik, dan masih ada harapan untuk Indonesia lebih baik kedepannya.


Gaya Konsumtif Wakil Rakyat di Gedung Kerakyatan
            Indonesia termasuk salah satu negara yang mencoba untuk masuk dalam arus pasar Global dengan politik pasar terbuka membuat segala pengaruh budaya- budaya asing sangatlah mudah masuk ke Indonesia. Perubahan perkembangan zaman dengan mulai masuknya budaya asing dengan mengenalkan produk- produk dari luar negeri yang kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan produksi dalam negeri. Sama halnya ketika melihat para wakil rakyat yang juga masuk dalam pengaruh arus pasar bebas. Secara tidak langsung wakil rakyat mencoba mengikuti perkembangan arus global yang masih sangat premature ketika perkembangan produk- produk dalam negeri dan ekonomi Indonesia yang masih jauh melebihi batas dalam perkembangan produk- produk luar negeri tetapi secara tidak langsung para wakil rakyat tetap saja lebih memilih untuk membeli produk- produk asing dengan harga yang lebih mahal dan kualitas yang lebih baik pula dibandingkan dengan barang- barang produksi dalam negeri. Gaya konsumtif yang berorientasi pada pasar bebas ini sebenarnya merupakan warisan dari pemerintahan era orde baru yang mulai memproduksi barang- barang asing di dalam Indonesia, salah satunya yang masih dapat dilihat saat ini adalah kendaraan bermotor yang makin diminati oleh sebagian lapisan masyarakat Indonesia. Sebenarnya pengaruh dari gaya konsumtif ini pun juga tidak sepenuhnya dapat dihilangkan karena bagaimana pun arus pasar global sudah lama masuk ke Indonesia, sehingga pengaruhnya pun lebih mendominasi ketika ingin mengembangkan barang- barang produksi dalam negeri hasil karya anak negeri sendiri.
            Melihat pengaruh arus pasar bebas ini  tidak sepenuhnya wakil rakyat menjadi sorotan dari public karena pengaruh dari dorongan gaya konsumtif ini sudah merasuk bahkan mendarah daging dari para generasi muda Indonesia bahkan hampir masuk keseluruh lapisan masyarakat Indonesia, sehingga sangatlah wajar ketika banyak pemanfaatan barang- barang IT lebih beralih kepada barang- barang produksi luar negeri, bahkan tidak hanya dalam produksi IT yang lebih mengandalkan produksi luar negeri melainkan produksi- produksi sembako sekalipun sudah mulai mengandalkan produksi asing yang di import ke Indonesia, sungguh miris memang ketika janji dari pemerintah untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan namun masih saja barang- barang kebutuhan pokok, seperti beras dan sayur mayor masih mengandalkan produksi dalam negeri yang akhirnya membuat petani harus memutar otak agar tetap tidak merugi akbiat monopoli perdagangan yang dilakukan oleh pihak asing. Dengan begini Indonesia hanya menjadi negara yang tergantung dari keberadaan negara- negara lain, dengan mengandalkan produksi- produksi asing yang semakin membuat rakyat kecil kehilangan orientasi perekonomiaannya, semestinya sebagai wakil rakyat harus mampu memberikan solusi dari semakin berkembangnya arus pasar bebas yang semakin menggila ini, jangan sampai terleha masuk ke dalam pengaruh dari arus perdagangan bebas, gaya konsumerisme yang berlebihan dengan barang- barang hasil produksi asing membuat Indonesia kembali kehilangan orientasi perekonomiaannya, karena hanya dapat dikendalikan oleh negara- negara investor yang memproduksi barang- barang asing dari luar Indonesia. Tidak usah perlu membeli barang- barang untuk fasilitas di gedung DPR/MPR dengan barang- barang produksi dari luar negeri, hingga bermilliar- milliard, perhatikanlah rakyat yang masih berjuang keras dalam hal pendidikan, kesejahteraan sosial, dan ekonominya, sebaiknya wakil rakyat bisa tetap pada pendiriannya bukan hanya sekedar ikut arus gaya konsumtif pasar bebas yang berorientasi pada perdagangan kaum kapitalis yang semakin memeras rakyat dan menindas rakyat, “Indonesia bisa berkembang dengan ekonomi Kerakyatannya, tanpa harus mengandalkan Pasar Bebas sebagai orientasi ekonomi kerakyatan” ini impian Soekarno pada bangsa Indonesia pada masa pemerintahannya dulu sebelum masuknya pengaruh pasar bebas pada era orde baru, dapatkah wakil rakyat mewujudkan apa yang di cita- citakan oleh para Founder bangsa Indonesia, ataukah hanya tetap menjadi pembawa masalah bagi rakyat? Harapan lebih baik bagi Indonesia kedepannya dan para wakil rakyatnya.
Disusun oleh; Angga Riyon Nugroho
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma
(http://www.detiknews.com “Sekjen DPR Diminta Buka Rincian Anggaran Ruang Renovasi Banggar DPR”)

11 Jan 2012

Anak- anak Indonesia dan Ketidakadilan

 “ANAK- ANAK  PENJUAL KORAN DAN SEKOLAH BILIK BAMBU”
( Sebuah Cerpen Tentang Kehidupan Anak- anak Penjual Koran Dalam Meraih Pendidikan yang Layak)

Hari ini seperti biasa aku sebagai seorang Guru bersiap- siap memulai aktivitasku sebagai seorang pengajar. Dengan hati senang karena segera bertemu dengan anak- anak muridku, kukayuh sepeda onthelku dari kost- kostanku berjalan melewati setiap jalanan protokol di kota Yogyakarta. Dalam perjalanan menuju sekolah aku melihat beberapa anak- anak penjual Koran yang berada disepanjang perempatan lampu merah gedung kantor pos lama, ya memang sekolah tempatku mengajar tidak jauh dari perempatan gedung kantor pos lama. Melihat beberapa anak- anak penjual Koran ini membuat hatiku sebagai seorang pengajar merasa terenyuh. Sempat terpikir di dalam hatiku siapa orang tua mereka yang sampai tega menyuruh anaknya bejualan Koran dipinggir jalan, yang semestinya mereka dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah, tetapi malah berjualan Koran di pinggir jalan, memang sungguh sangat miris sekali melihat perkembangan pendidikan anak- anak Indonesia pada saat ini, begitulah yang sempat terpikir dalam benakku sejenak ketika aku melihat anak- anak penjual Koran itu.
Setelah mengamati mereka dari jauh tiba- tiba salah satu dari beberapa anak penjual Koran tersebut menghampiri aku, dengan wajah kusut dan kusam anak ini menawarkan korannya kepadaku “beli korannya Om” lalu aku menjawab, “ya beli satu dek”, sambil menunggu lampu merah yang macet karena pagi itu jalan perempatan kantor pos benar- benar padat. Lalu aku memberikan secarik uang kertas ribuan kepada anak penjual Koran tersebut.    Setelah melihat- lihat Koran dan berita yang ada di halaman pertama Koran tersebut, betapa terkejutnya aku ternyata masih ada sebagian atau hampir setengah dari rakyat miskin tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak dari pemerintah. Dan ada beberapa berita yang aku lihat di dalam Koran tersebut yang membahas tentang isu- isu kerakyataan, seperti kenaikan Tarif Dasar Listrik yang semakin membunuh rakyat bahkan sampai berita tentang kelayakan upah buruh, jika aku melihat dan merenung sejenak sungguh “Miris sekali” di negara indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alamnya ini ternyata masih ada rakyat yang menderita, bahkan sangat- sangat tidak berkecukupan. Terdiam dalam lamunan dan renungkanku aku tersadar bahwa jalan perempatan kantor pos lama sudah mulai lancar kembali dan aku kembali mengayuh sepeda onthelku menuju kesekolah untuk mengajar.
Sesampainya di sekolah aku pun mulai merenungkan apa yang ku alami tadi pagi dengan melihat realita yang ada saat ini tentang nasib rakyat yang mulai terbelakang dan pemerintah yang semakin memperkaya diri dengan hasil keringat rakyat, sungguh miris, lagi- lagi kuulangi kata- kata yang tidak menenangkan hatiku ini. Dalam hatiku sebenarnya tidak tega melihat nasib anak- anak penjual koran tadi yang harus mengais rejeki di tengah kemewahan dan kekayaan pemerintah itu sendiri, lalu aku berpikir sejenak di sela- sela istirahatku mengajar aku mencoba menyendiri di ruang guru untuk merenungkan kembali, apa yang harus ku lakukan dengan kondisi rakyat saat ini. Aku pun mempunyai ide untuk membuat sebuah sekolah rakyat yang memotivasikan rakyat untuk mendapat pendidikan yang layak tanpa harus melibatkan campur tangan pemerintah yang otoriter dan semena- mena terhadap rakyat kecil. Tanpa tersadar bel masuk pun berdering, dan aku pun harus segera kembali mengajar, dan aku berlalu menuju kelas untuk mengajar sambil memikirkan tentang konsep sekolah rakyat yang akan aku buat nantinya.

Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 12.00 WIB dan tugas mengajarku disekolah telah usai. Aku bersiap- siap mengayuh sepeda onthelku kembali menuju rumah kost- kostan ku. Dalam perjalanan kembali aku melewati perempatan kantor pos lama dan aku berhenti sejenak di dekat benteng vredeburg untuk melepas lelah setelah mengayuh sepeda sekitar 5 Km dari daerah Jalan bantul. Dalam istirahatku melepas lelah tiba- tiba ada dua sosok yang membuyarkan lamunanku saat melepas lelah. “om- om” sambil memegang lengan kananku kedua anak ini mencoba menegurku yang sedang beristirahat. Ia ada apa dek? Sapaku kepada kedua anak tersebut. Ini om, kami berdua yang menjual koran tadi pagi itu om, “e’hm oh ya hampir saja om lupa” “jangan panggil om lah dek”, panggil mas Ditro aja, nama adik berdua ini siapa? “Kalau saya Bowo mas, nah teman saya ini namanya Amien, kita berdua ini jauh- jauh jualan koran dari bantul, lho mas”, memangnya orang tua kalian kerja jadi apa di bantul dek? “kedua orang tua kami kerjanya jadi buruh di daerah Kasihan mas, “oh ya mas Ditro rumahnya dimana? Kerja jadi apa mas? Kayanya tadi pagi buru- buru banget mas” , rumahku jauh dek di daerah jalan bantul dekat dengan gereja pugeran itu lho dek! Ya, tempatnya kecil sih, dek maklum mas Ditro cuma ngekost, bapak dan ibu mas Ditro sudah lama meninggal dek, ya jadi mas Ditro sekarang hidup mandiri sendiri. Mau main ketempat mas Ditro ndak dek, nanti mas ajari pelajaran- pelajaran yang ada di sekolah. Spontan aku pun mencoba mengajak kedua anak penjual koran ini untuk main ke kost- kostanku. “Mau banget mas”, jawab Bowo dan Amien dengan lantang kepadaku, “ya sudah, kalau begitu sini boncengan naik sepeda aja ya” kami bertiga berboncengan naik sepeda onthelku, si Amien duduk di depan sedangkan si Bowo berbonceng di belakang. Panas semakin menyengat tubuh, di siang ini, tidak terasa aku dan anak- anak penjual koran sudah sampai di depan kost- kostanku. “ini lho dek  kost- kostannya mas Ditro, ya biarpun kecil, tapi kalian jangan sungkan- sungkan ya, anggap aja kaya rumah sendiri”, “Ia mas Ditro, jawab Amien dan Bowo secara serentak”. Aku pun pergi ke belakang membuatkan minum untuk Amien dan Bowo, kasihan mereka berdua pasti kelelahan dan haus setelah seharian berjualan koran di pinggir jalan. Sambil menyugguhkan dua gelas es teh, aku pun ,melanjutkan obrolanku dengan Amien dan Bowo. Obrolan pun semakin akrab dan aku mencoba mengutarakan tentang gambaran sekolah bilik bambu bagi anak- anak jalanan yang lain. Dan ternyata Amien dan Bowo sangat senang jika aku mendirikan sekolah bilik bambu untuk anak- anak jalanan yang lain. “ia mas kami seneng banget kalau bisa sekolah lagi, nanti kami ajak temen- temen kami yang ada di deket malioboro sama yang ada di bantul buat ikut belajar di sekolahnya mas Ditro”.
Betapa senangnya aku melihat semangat belajar dari kedua anak jalanan ini, walaupun usia mereka berdua belum genap 10 tahun tetapi semangat mereka untuk memajukan pendidikan bagi rakyat kecil dapat memotivasiku untuk mendirikan sekolah bilik bambu ini. “okelah kalau begitu dek, kalian berdua ajak teman- teman kalian semua ya dek, nanti untuk soal tempat dan persiapannya mas Ditro aja yang ngurus, mungkin mas mau ijin dengan pak Rt dulu untuk menentukan tempat dimana dapat didirikan sekolah bilik bambu itu, ya dek”. Tanpa terasa sore hari telah menjelang, dan raja siang pun ingin kembali keperaduannya, dan aku bertanya kepada Amien dan Bowo, “dek kalian mau mas antarkan pulang atau mau tidur disini dek? Antar pulang aja mas Ditro kami sudah dua hari ndak pulang je, ya sudah yuk mas antar pulang ke bantul, nanti ndak keburu malam dek”.
Menjelang malam hari aku, Bowo dan Amien tiba di bantul. Setibanya di rumah orang tua Amien dan Bowo, aku mencoba mengutarakan tentang pendirian sekolah Bilik Bambu bagi anak- anak jalanan dan anak- anak buruh di daerah Bantul. Dan kedua orang tua Amien dan Bowo pun setuju dengan pendirian sekolah Bilik Bambu bagi anak- anak yang kurang mampu di daerah Bantul dan sekitar kota Yogyakarta. Karena waktu sudah larut malam, aku pun berpamitan kepada orang tua Amien dan Bowo untuk kembali pulang. Dalam perajalanan pulang, aku semakin bersemangat untuk segera merealisasikan pendirian sekolah rakyat dengan sebutan sekolah “Bilik Bambu” ini.
Keesokan harinya aku seperti biasa melanjutkan aktivitasku mengajar dan setelah pulang mengajar aku mencoba merealisasikan konsep tentang sekolah Bilik Bambu yang telah kurencanakan dengan Amien dan Bowo setelah mencari tempat yang cocok untuk mendirikan sekolah kami bertiga pun meminta ijin kepada ketua Rt setempat untuk menyewa tempat tersebut untuk dijadikan sebuah sekolah rakyat untuk anak- anak buruh di Bantul dan anak- anak jalanan di kota Yogyakarta. Dan pak Rt daerah kasihan, Bantul sangat mendukung dengan konsep sekolah rakyat yang ingin aku buat dan dengan Cuma- cuma, pak Rt dan seluruh warga kasihan menyumbangkan tanah tersebut untuk didirikan sekolah rakyat. Sangat senang sekali hatiku bahwa ternyata masih banyak orang yang masih mendapatkan ketidakadilan dari pemerintah terutama dalam pendidikan bagi rakyat miskin. Sungguh hal yang sangat miris sekali aku lihat di negara ini yang sangat kaya sekali dengan berbagai sumber daya alam yang dapat di ekploitasi dengan begitu besar, ternyata sebagian besar masyarakat belum dapat merasakan kekayaan yang ada di indonesia ini, terutama dalam hal pemerhati pendidikan, ya memang peran pemerintah dalam mencerdaskan generasi muda sangat penting, hampir 32 tahun bangsa ini dibodohi dengan keotoriteran pemerintahan Soeharto yang semena- mena, hampir setengah abad kita dijajah oleh Belanda dan di ambil kekayaannya oleh pihak VOC. Kapan lagi bangsa ini ingin maju jika bukan dari generasi mudanya sebagai generasi penerus bangsa. Dan dengan terealisasinya sekolah Bilik Bambu ini dapat mengetuk hati pemerintah yang telah lama mati suri oleh segala kekayaan yang telah dimiliki pemerintah yang sebagian kekayaan tersebut adalah milik rakyat miskin di Indonesia. Sehingga sekolah rakyat yang akan ku bangun ini adalah sebuah bentuk tindakan praksis dari setiap kegundahan rakyat Indonesia terutama dalam bidang pendidikan murah bagi rakyat kecil.
Setelah segala persiapannya selesai, akhirnya tiba hari yang ku tunggu- tunggu. yaitu dimana sekolah Bilik Bambuku dapat teralisasikan. Hari itu hari sabtu, dimana merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Amien dan Bowo, bukan! Tidak hanya Amien dan Bowo yang berbahagia melainkan seluruh anak jalanan dan anak- anak buruh di sekitar kota Yogyakarta yang dapat merasakan kelayakan hidup dengan adanya sekolah Bilik Bambu yang bersifat pro rakyat kecil.
Hari pertama berdirinya sekolah Bilik Bambu di dusun Brajan, Bantul, membuat Amien dan Bowo beserta puluhan anak- anak jalanan yang lain semakin bersemangat untuk belajar dan menimba ilmu, meskipun bukan di taraf sekolah formal, tapi semangat anak- anak jalanan ini menjadi sebuah semangat tersendiri bagiku. Aku mulai mengajar berhitung matematika dengan anak- anak jalanan yang masih kelas satu SD, dan bahasa Inggris kepada anak- anak kelas empat SD. Amien dan Bowo mulai bertanya tentang perhitungan penambahan dan pengurangan karena Bowo dan Amien sebenarnya masih duduk di kelas dua dan kelas tiga SD. Tentu saja pendirian sekolah Bilik Bambu ini tidak lepas dengan bantuan- bantuan dari teman- teman seperjuanganku, yang juga mengajar di sekolah lamaku, seperti Adi, Iman, Emil, yang juga dulu adalah teman- teman kuliahku di perguruan tinggi. Mereka memliki satu tujuan yang sama sepertiku, yang ingin memajukan rakyat melalui pendidikan yang bersifat pro rakyat. Dari sinilah aku dan seluruh teman- teman mulai berharap resistensi pendidikan ini dapat berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh masyarakat.
“Mas Ditro kok bisa ya mobil dan motor itu bisa bergerak, Tanya salah satu anak jalanan kepadaku”. “Lalu aku menjawab, oh ya dek begini lho, mobil dan motor dapat bergerak karena adanya pengaruh gaya dari tekanan bahan bakar minyak yang terdapat di dalam mobil dan motor tersebut, yang melakukan proses filerisasi dan pembuangan yang menimbulkan sebuah gaya gerak”. Begitu jawabku kepada salah satu muridku, yang merupakan salah satu teman dari Bowo dan Amien pada saat mengajar mata pelajaran IPA, tentang gaya gerak. Sungguh menyenangkan melihat anak- anak di daerah Kasihan ini mulai menapaki dunia pendidikan kembali, terutama kepada anak- anak yang ada di sekitar kota Yogyakarta, yang disinyalir sangat kurang terperhatikan oleh pemerintah Yogyakarta. Besar harapan banyak generasi penerusku nanti yang mau meneruskan sekolah Bilik Bambuku ini, untuk menciptakan sebuah pendidikan yang pro rakyat dan menanamkan nilai- nilai kehumanisan di dalamnya. Semoga ceritaku ini menjadi sebuah inspirasi bagi para generasi penerus bangsa ini untuk dapat membebaskan masyarakat Indonesia dari kebodohan.


“PENDIDIKAN BAGI SI MISKIN DAN SI KAYA”

(sebuah cerpen tentang realita pendidikan saat ini oleh H. Krsna Murti)

Siang ini terasa sangat menyengat, peluh mulai bergulir dipelipis mataku, namun ku terus melangkah. Jalan besar telah nampak dan ku tak ingin lagi menunggu angkot terlalu lama. Tepat saat ku sampai ke jalan besar angkot yang ku tunggu pun datang. Berdesak- desakan diantara para penumpang lain yang penuh sesak. Memang sudah menjadi hal yang biasa buatku. Angkot yang sudah penuh sesak ini, tak hentinya mencari penumpang, membuat penumpang- penumpang menggerutu, “ah, namanya juga orang cari makan, kataku dalam hati”.
Saat berhenti di lampu merah, ada seorang anak kecil berpakaian kumal dan kumuh meyodorkan amplop kepadaku saat itu yang sedang duduk berdesak- desakan dengan penumpang angkot yang lain. Kuambil amplop yang diberikan anak kecil tadi kepadaku dan kubaca tulisan diluar amplop tersebut, “Mohon Bantuan Buat Beli Buku, Om” begitu bunyi tulisan itu. Hatiku tergetar melihat anak yang kira- kira masih duduk di bangku sekolah dasar tersebut, maka kuambil uang dari kantong celanaku dan ku masukan ke dalam amplop tersebut. Begitu anak itu berlalu, bapak yang ada di sebelahku berkata, “mereka itu hanya di suruh mas, lain kali jangan dikasih”. Aku hanya mengangguk tersenyum, ini belum seberapa mas, “kalau di Jakarta hal yang seperti tadi sudah menjamur” kata bapak yang berada di sebelahku, dia rupanya tahu kalau aku memang bukan berasal dari Jakarta. Jujur banyak sekali pertanyaan yang melintas dibenakku, anak- anak tadi punya orang tua atau tidak? Apa mereka tidak sekolah? Pertanyaan- pertanyaanku ini mungkin sudah biasa bagi orang- orang di daerah Jakarta dan memang aku bukan asli Jakarta, aku baru beberapa bulan mengginjakan kaki di kota metropolitan yang penuh tantangan ini. Mungkin ini terasa asing bagiku yang biasanya di kota asalku Yogyakarta jarang melihat pemandangan yang baru saja aku lihat tadi, ya memang di Yogyakarta anak- anak lebih diperhatikan dalam sekolah dan  pendidikannya dibandingkan dengan di Jakarta yang kebanyakan anak- anak dibiarkan bekerja keluyuran di jalan pada hari- hari yang semestinya mereka berada di sekolah. Sungguh mengenaskan bagiku yang saat itu mulai merenung dan melamunkan tentang pendidikan bagi anak- anak tidak mampu yang mulai tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah.

Setelah beberpa saat aku merenung aku dikagetkan dengan teriakan  lantang dari kondektur angkot yang menyadarkanku dari lamunan panjangku tentang kejadian tadi di lampu merah. Setelah aku memberikan uang ribuan kepada kondektur angkot, aku  kemudian turun dari angkot dan mulai mencari alamat rumah budeku yang sudah lama tidak ku kunjungi selama aku berada di Jakarta, setelah bertanya- Tanya dengan beberapa orang dipinggir jalan, akhirnya aku menemukan alamat rumah bude dan pakdeku yang berada di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Dari depan  rumah aku lihat budeku sedang merapikan pot- pot bunganya, melihat kedatanganku yang tiba- tiba budeku sangat senang dan gembira karena sudah hampir selama 10 tahun selama aku berada di Jogja dan kini menetap di Jakarta aku baru pertama kali bertemu lagi dengan budeku. Sambil berpelukan bude berkata “Kamu Naik Angkot Ya Tadi”, kenapa ndak suruh jemput mbakmu aja to tadi, biar dia juga tahu kan tempat Kost- kostanmu, dek. “Sekali- kali bude nggak apa- apa kok, lagian mau sekalian  jalan juga tadi, jawabku”. Setelah minum dan bercerita- cerita banyak tentang pengalamanku selama di jogja dan pindah ke Jakarta, aku bergegas menuju kamar sepupuku, Toni. Ku buka pintu kamarnya, namun kosong. “Toni sedang pergi sama pakdemu”, dia tadi merengek terus minta dibelikan PS 2, kata budeku.
Ya, memang Toni sepupuku anak laki- laki satu- satunya, diantara 3 bersaudara dari keluarga budeku, sehingga membuat bude dan pakdeku terlalu memanjakannya, semua keinginannya selalu dituruti, sampai- sampai sudah dua kali Toni tidak naik kelas karena sering  di manja oleh ayah dan ibunya. Pikiranku kembali teringat dengan kejadian tadi siang pada saat di angkot, tentu aku merasakan sangat kontras sekali dengan realita pendidikan yang kurang di dapatkan oleh anak- anak yang meminta- meminta uang dipinggir lampu merah tadi hanya untuk membeli buku untuk sekolah. Sehingga siapa seharusnya yang harus disalahkan? Pemerintah kah? Atau karena biaya pendidikan yang terlalu mahal? Sungguh miris sekali aku rasakan sebagai seorang mahasiswa melihat realita dari pendidikan di Indonesia yang sesungguhnya. Padahal kalau aku lihat banyak iklan- iklan di media masa yang mengembor- gemborkan tentang sekolah dan pendidikan gratis, namun  dimana kenyataannya, ternyata masih banyak anak- anak diberbagai daerah yang belum mendapatkan pendidikan yang memadai seperti di sekolah formal pada umumnya, sangat memprihatinkan tentang realita pendidikan saat ini. Dengan lamunan yang mulai mengungkapkan realita pendidikan yang sesungguhnya aku  mulai sadar bahwa pendidikan memang penting bagi kita semua para generasi muda agar mendapatkan masa depan yang cerah dan membawa perubahan bagi bangsa Indonesia tercinta ini, Apalagi dengan adanya hari pendidikan yang jatuh pada tanggal 2 Mei, aku semakin bersemangat untuk memajukan pendidikan bagi kaum- kaum miskin agar mereka tidak semakin tertindas oleh kaum kaya yang mempunyai segalanya.
Setelah beberapa saat melamun panggilan budeku untuk makan siang membuyarkan lamunan dan renunganku, dan aku pun dipanggil menuju ruang makan untuk makan siang dengan Toni dan pakdeku yang baru saja datang dari jalan- jalan, aku pun mulai bercengkrama dengan Toni dan  pakdeku yang sudah lama tidak bertemu dan setelah istirahat sebentar di rumah pakde dan budeku aku pun pamit pulang karena hari sudah sore, keesokan harinya aku harus masuk kuliah. Banyak pelajaran yang aku dapat dalam seharian aku berkunjung ditempat pakde dan budeku, aku sadar bahwa “aku harus dapat berhasil memajukan pendidikan, karena dengan pendidikanlah perubahan nyata akan terjadi bagi negeri tercinta kita ini”. (Krsna/Pena Persadha).



(Dikutip, dari perjalanan seorang intelektual muda yang mengadu nasib dikota metropolitan dan melihat realita pendidikan yang sebenarnya di Indonesia ini)

9 Jan 2012

KAPITALIS VS KOMUNIS: SISI LAIN DARI PERJALANAN POLITIK KEBANGSAAN

“Berani, berani, sekali lagi………..Berani” kata- kata yang dilontarkan Dipa Nusantara Aidit Ketua CC PKI  disaat berpidato di depan simpatisan massa PKI yang pada waktu itu merayakan hari jadinya ke- 45. Sebuah kata- kata yang seolah- olah membawa kita kedalam kenangan Sejarah masa lalu, disaat kekuasaan Komunis mulai mengancam keberadaan Indonesia sebagai negara Pancasilais yang kini menjadi bahaya laten bagi perkembangan bangsa Indonesia pada saat ini. Hal yang berlainan justru ditunjukan oleh tokoh- tokoh kaum Intelektual Indonesia pada saat itu Mahasiswa Angakatan “66, yang berteriak atas nama rakyat, dan berjalan diatas kata- kata kebohongannya sebagai pelaku pergerakan moral bagi bangsa Indonesia, “Bahaya Laten Komunis, harus kita Basmi” begitu yang dilontarkan beberapa Aktivis Gerakan KAMI saat menuntut pembubaran PKI sebagai momok dalam perjuangan Mahasiswa, lalu siapakah kaum Kapitalis itu……..? apakah Mahasiswa yang Oppurtunis dan menindas rakyat Indonesia demi kepentingan organisasinya, ataukah orang- orang Kanan yang berpihak kekuasaan militer………..?

            Peristiwa demi peristiwa telah dilalui oleh bangsa Indonesia, disaat catatan pahit mulai tertulis pada sebuah ingatan kelam akan masa lalu, dimana penemuan dari sisi lain bangsa ini mencapai titik puncaknya pada perpindahan orde lama menuju orde baru, kebusukan demi kebusukan mulai ditorehkan lagi- lagi yang dilihat hanya sebagai sebuah kepentingan politik maupun pribadi dari para pemimpin bangsa ini. sisi lain dari segala peristiwa yang terjadi menjelang berakhirnya masa Orde Lama digantikan oleh Orde Baru dapat terlihat dari pengaruh dan pertarungan dua ideologi yang saling berlawanan, yaitu Ideologi Kapitalis VS Ideologi Komunis yang lebih Radikal dan Revolusioner. Hal ini dapat terlihat ketika paham Komunis itu mulai dihancurkan semenjak meletusnya peristiwa berdarah 30 September 1965 (Gestapu), pengaruh penguasaan kaum Kapital di Indonesia semakin kuat bahkan hingga berjalannya waktu pada akhir tahun 1998 pengaruh kaum Kapital yang menindas rakyat semakin kuat dengan adanya para Investor- investor asing yang merauk keuntungan yang sebesar- besarnya dan masyarakat Indonesia kembali kedalam penjajahan yang lebih menyakitkan daripada harus menjadi budak pada pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia pada saat itu. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh yang sangat kontras akan perlawanan Radikal dari Kaum Komunis yang menentang ideologi Kapitalis yang secara merambat masuk ke Indonesia setelah peristiwa berdarah tahun 1965. Manifesto politik yang mulai kembali melibatkan beberapa organisasi- organisasi pemuda yang berhaluan kiri yang sangat anti dengan pengaruh Kapitalis barat yang terlihat dalam sikap Revolusioner PKI dengan kalimat bersayap pembakar semangat “…..Inggris kita linggis, Amerika kita Setrika” adanya kata- kata penggerak yang selalu dikobarkan oleh PKI, dapat dilihat bahwa penentangan PKI terhadap pengaruh Kapitalisime barat sangatlah kuat sebagaimana yang selalu dikemukakan oleh Karl Marx tentang perlawanannya terhadap kaum Kapitalis.
Sebuah sorot politik yang teramat tajam dan sangat menjatuhkan lawan- lawan yang berhaluan kiri pada awal masa orde baru, ketika pergerakan Revolusioner diberedel, organ- organ pemuda yang bersuara atas nama rakyat tidak diberikan tempat untuk bersauara , masyarakat kembali terbelenggu dengan kekangan sistem kepura-puraan pemerintahan orde baru.  Apalagi kalau bukan demi sebuah politik dan kekayaan pribadi petinggi negara. Sehingga secara tidak langsung kemakmuran yang diberikan oleh para petinggi orde baru terhadap masyarakat merupakan Kemakmuran pura- pura, Demokratisasi pura- pura dan politik Kepalsuan yang digunakan pemerintah untuk menjajah dan mengkolonisasi Indonesia dengan sistem penjajahan Kapital. Begitu pentingnya pengaruh semangat Radikalisme dimiliki untuk melawan segala pengaruh kaum Kapital yang selalu menghadang di depan perlawanan kaum Intelektual Muda, PKI ternyata telah salah dalam  tindakannya sehingga masuk ke dalam perangkapnya sendiri pada peristiwa 30 September 1965, sebagaimana telah diketahui keberpihakan PKI terhadap Petani dan Buruh sangatlah kuat yang merupakan strategi untuk melakukan Revolusi di dalam pemerintahan orde lama sehingga banyak masyarakat yang melihat isu- isu kudeta yang akan dilancarkan PKI melihat dominasi militer semakin kuat di dalam pemerintahan orde lama.
            Dengan adanya hal ini pengaruh Eufaria yang sangat besar dari permainan politik dari kaum Kapitalis VS Komunis membawa perkembangan politik Indonesia pada titik balik perjuangan bangsa dimana sekali lagi peran Mahasiswa, Pemuda dan Masyarakat  sangatlah penting, “Bukan menganggap haluan Kiri, ataupun Kanan, melainkan memperjuangkan pergerakan moral menjadi hal yang sangat penting ketika kaum muda memaknai Sejarah, apa itu Sejarah dan bagaimana sisi lain dari Sejarah, yang di dalamnya selalu diwarnai intrik dan strategi untuk saling menjatuhkan yang dapat dikatakan sebagai sebuah  sisi lain dari politik kebangsaan yang ada………dimana kaum muda yang  bergerak menentukan nasib bangsanya, Kapitalis VS Komunis: sebuah realita permainan politik yang tiada habisnya”

Sumber: Pour, Julius:”Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan, dan Petualang”.Kompas, Jakarta:2011 

PEMUDA- PEMUDI DI TENGAH ARUS PERKEMBANGAN ZAMAN

 “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia” kata- kata mutiara yang dikatakan oleh Bung Karno ini membuktikan betapa kuatnya sosok pemuda yang mampu mengguncangkan dunia. Bukanlah hal yang mustahil jika melihat kembali, Jong Java, Jong Ambon, Volksraad, PNI yang bersatu dalam kumandangan  Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Para pemuda yang menyatukan suara dalam satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu bahasa, bahasa persatuan Indonesia menjadi sebuah awal bersatunya Pemuda- Pemudi Indonesia untuk bangkit dan menyuarakan kebenaran demi kemerdekaan Indonesia. Lalu bagaimana mimpi kaum muda saat ini terhadap cita- cita yang dibangkitkan oleh para Foundernya terdahulu………………….
    Sumpah Pemuda, bukanlah menjadi hal yang tabu dalam diri bangsa Indonesia, yang menjadi separuh nafas bagi kehidupan Pemuda  saat itu ketika harus merentas perbedaan yang ada dan menggantikan perbedaan itu dengan persatuan. Mimpi dari sosok seperti Soekarno, Muhammad Yamin, WR. Supratman, dan para Founder yang lainnya ketika melihat bangsa Indonesia semakin dijajah oleh pemerintahan kolonial Belanda sehingga harus ada tindakan nyata bagi pemuda untuk bertindak dan bersatu melawan kolonialisme yang dipegang oleh pemerintahan Belanda selama di Indonesia. Sumpah Pemuda sendiri merupakan gabungan dari seluruh organisasi pemuda yang ada di Indonesia dari sabang hingga merauke yang menggabungkan diri sebagai bentuk kekuatan dalam melawan pemerintahan kolonial, ada Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Java, Jong Sumatra, dan beberapa organisasi kepemudaan yang lain yang ikut bergabung dalam Kongres Sumpah pemuda pada bulan Oktober 1928. Soekarno dengan PNInya, Ki Hajar Dewantara dengan pendidikan Taman Siswanya, beserta perkumpulan kaum- kaum terpelajar Indonesia dari perkumpulan pelajar Minangkabau, Batak, Jawa, Kristen dan Muslim ikut dalam Kongres Pemuda yang menghasilkan butir- butir mimpi bagi pergerakan Nasional Pemuda dalam melawan pihak kolonial Belanda.
    Disini kembali catatan Sejarah terulang, catatan Sejarah yang begitu penting yang harapannya tidak pernah akan terlupakan dari diri pemuda- pemudi Indonesia saat ini di tengah perkembangan arus modernisasi berkembang di dalam kalangan pemuda- pemudi saat ini. Nilai- nilai Filososfis yang terkandung di dalam Sumpah Pemuda mengingatkan kita saat ini dalam diri Pemuda- Pemudi yang terkena arus perkembangan zaman dan Sejarah. Seperti yang diimpi- impikan oleh Mohammad Yamin dalam sebuah sajak yang dikumandangkan bertepatan pada saat Kongres Sumpah Pemuda saat itu di Batavia, dengan judul “Indonesia Tumpah Darahku”, ketika Pemuda- Pemudi saat ini mengalami degradasi pengaruh perkembangan zaman, apakah masih ada Pemuda- Pemudi yang memiliki idealisme menyatukan suara, menyatukan tanah air, dan menyatukan bahasa, bahasa persatuan Indonesia, sekali lagi kita di tantang untuk mengulang Sejarah, di tengah keterpurukan bangsa ini, mampukah pemuda bangkit memberikan pembaharuan bagi bangsa ini, Pemuda yang karena keberaniannya mampu membawa bangsa ini pada kebebasan dan kemerdekaan..
“Sejarah Indonesia Modern”, MC. Ricklefs, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

“SARI PETOJO KU KINI YANG TERLUPAKAN”

“Mbali Ndeso, Mbangun Ndeso, inilah kata- kata yang sering saya dengar ketika orang- orang desa mau untuk  membangun kembali desanya, tapi apa jadinya kalau istilah yang ada menjadi Mbali Ndeso, Mbangun Mall, ketika bangsa Indonesia tidak mengenal lagi budaya bangsanya dan hanya memilih membangun Mall sebagai tuntutan dari Kaum Kapitalis semata……………..”
    Banyak hal yang dapat dikatakan ketika seseorang mulai lupa akan Sejarah, yaitu akan melupakan masa lalu dan akan meninggalkan benda- benda peninggalannya, walupun di dalam kehidupan seseorang tersebut secara tidak langsung selalu mengkaitkan dengan peristiwa- peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Hal yang serupa dapat dikatakan dengan keberadaan Pabrik Es Sari Petojo, Purwosari, Solo. Memang belum banyak masyarakat yang tahu bahwa Pabrik Es yang sudah berdiri sejak zaman pemerintahan Belanda(1919) di kota Solo ini, tetapi yang dapat dilihat ialah nilai Historis dari bangunan Pabrik Es Sari Petojo ini yang semestinya masih dapat dilestarikan sebagai benda Cagar Budaya di kota Solo.
    Sari Petojo yang dapat dikatakan sebagai Cagar Budaya nampaknya sudah tidak memiliki nilai historis lagi bagi pemerintah propinsi Jawa Tengah, karena menyusul dikeluarkannya kebijakan dari Gurbenur Jawa Tengah Bibit Waluyo untuk melakukan pembongkaran beberapa kawasan bersejarah di provinsi Jawa Tengah dan salah satunya adalah Pabrik Es Sari Petojo ini. Sangat disayangkan memang bagaimana kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berdalih bahwa Perusda selalu saja merugi dengan keberadaan bangunan Sari Petojo yang bukan melihat sebagai sebuah peninggalan Sejarah yang harus dilestarikan melainkan melihat nilai- nilai keindahan tata kota Solo dengan keberadaan reruntuhan bangunan Pabrik Es Sari Petojo, mengenaskannya lagi pemanfaatan ruang sisa reruntuhan bangunan Pabrik Es Sari Petojo ini akan dibangun sebuah Mall.
     Bagaimana pun dalih Pemerintah Provinsi mengenai keberadaan Sari Petojo yang semestinya dilestarikan  merupakan tindakan yang salah dan merugikan aspek kesejarahan yang ada di dalam bangunan Sari Petojo ini, bangunan Sari Petojo yang dulunya merupakan Pabrik Es Purwosari yang beralamat di Poerwosariweg (Jalan Purwosari) memiliki jasa yang amat besar dalam perkembangan Pabrik Es di Jawa pada saat itu (1919), dapat dikatakan juga Pabrik Es Sari Purwosari (sekarang Sari Petojo) ini merupakan Pabrik Es pertama yang dibangun di kota Solo dan pertama kalinya juga Es mulai dikenalkan oleh orang- orang Belanda di kota Solo.(djawatempodoeloe.com)
    Untuk saat ini sengekta pengalihgunaan lahan Pabrik Es Sari Petojo ini diserahkan kepada tim ahli yang merupakan bentukan dari pemerintahan kota Solo. Tim ahli nantinya hanya akan mengkaji dari bangunan Pabrik Es Sari Petojo, memang sejak awal kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan membongkar bangunan Sari Petojo ada beberapa bangunan yang memang semestinya tidak dibongkar karena memiliki nilai- nilai Sejarah yang dilindungi dan dilestarikan. Sehingga Inventarisasi menjadi sebuah solusi yang diberikan oleh pemerintah kota Solo berdasarkan UU No.11/2010, namun hal ini pada nyatanya merupakan sebuah dalih untuk tetap melakukan pembongkaran pada Pabrik Es Sari Petojo, karena bagaimanapun kondisi Pabrik Es sari Petojo yang sebagian hanya tinggal reruntuhan sudah semestinya mampu direhabilitasi kembali dan dilakukan pemugaran untuk merekontruksi kembali nilai- nilai Sejarah yang terdapat di dalam bangunan Pabrik Es Sari Petojo. Pada intinya jalan tengah yang dilakukan oleh Tim ahli dapat dikatakan tidak memecahkan permasalahan dari keberadaan Sari Petojo sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB), dan peran politik pemerintah provinsi Jawa Tengah sangatlah kuat dengan pembentukan Tim ahli dan pembongkaran benda bersejarah demi kepentingan kaum penanam modal, sudah semestinya Sari Petojo ku Kini Menjadi Sari Petojo yang tetap dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai Sejarah, Sekarang Tinggal Kita Bagaimana Mampu Menjaga dan Melestarikan Sejarah Bagi Generasi Muda Berikutnya”

Angga Riyon-

Sumber: Media Indonesia.com “Pembongkaran Pabrik Es sari Petojo

8 Jan 2012

SONDANG HUTAGALUNG DAN HEROISME MAHASISWA SAAT INI

  “Setelah melihat pemuda- pemudi di arus globalisasi ini yang sudah tak mempedulikan kepentingan bangsanya atau bahkan terjerumus kepada pengaruh modernisasi, ternyata masih ada Pemuda yang sebegitu beraninya sampai mempertaruhkan nyawanya hanya demi sebuah perubahan sosial bagi masyarakat Indonesia”.  Dia adalah Sondang Hutagalung seorang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno yang pada hari Rabu sore (7/12). Melakukan aksi bakar diri di depan Istana Negara. Pada awalnya belum ada yang mengetahui tentang identitas pelaku yang dengan sengaja membakar dirinya di depan Istana Negara, namun setelah dilakukan penyelidikan ternyata pelaku yang membakar diri ini adalah seorang Mahasiswa yang bernama Sondang Hutagalung. Entah apa yang dipikirikan Sondang saat itu sehingga tepikirkan untuk melakukan aksibakar diri ini, yang terpenting ketika Sondang sebagai Mahasiswa Marhaenis Radikal Kiri ingin mengukir Sejarah kembali tentang Heroisme dari Mahasiswa sebagai Agent of Change, banyak Mahasiswa yang sudah tidak mengerti tentang makna Heroisme yang diperjuangkan Sondang dengan pemikiran Utopisnya. Kekecewaannya terhadap pemerintahan SBY- Boediono inilah yang membuatnya harus ada Martir yang berani mempercikan api Revolusi di dalam diri para Pemuda- Pemudi saat ini. Walaupun jangan menjadikan tindakan yang dilakukan Sondang menjadi sebuah inspirasi bagi Mahasiswa lain untuk mati Syahid kembali tetapi anggaplah apa yang dilakukan Sondang ini sebagai kegagalan dari pemerintahan SBY- Boediono selama 2 periode berturut- turut sampai saat ini.

Sondang Sang Martir Keadilan
                Sungguh memprihatinkan, ketika kondisi bangsa Indonesia seperti ini masih saja ada sosok yang begitu berani dalam menyuarakan kekecewaan masyarakat kepada pemerintah. Sosok Sondang Hutagalung bukanlah satu dari kesekian Mahasiswa yang mati Martir hanya untuk memperjuangkan perubahan sosial bagi masyarakat Indonesia. Ada sebuah kutipan yang menceritakan keluh kesah yang sama terhadap pemerintah sama yang dilakukan seperti Sondang saat ini……….“Satu putra bangsa, pahlawan sejati, dengan sadar bakar diri di depan Istana. Kematian bukanlah hal yang menakutkan, yang lebih menakutkan adalah jiwa yang mati dalam jasad hidup seperti SBY. Karena itu membahayakan kemanusiaan dan peradaban”. Hal ini menandakan betapa bobroknya  rezim SBY- Boediono yang selama ini ternyata bukanlah hanya Sondang yang telah mati melainkan hati dan nurani para pemimpin- pemimpin seperti SBY- Boediono inilah yang telah terbutakan oleh kematian jiwa- jiwa rakyatnya yang terkubur di dalam jasad hidup SBY. Dengan begitu kepercayaan rakyat terhadap rezim yang sudah mati ini mulai luntur dengan kebiasaan pemerintah yang berfoya dengan uang hasil Korupsinya tetapi masyarakat masih belum mendapatkan kesejahteraan, baik dalam pendidikan maupun dalam bidang ekonomi, ketika ada sosok pembela rakyat yang mati martir seperti Sondang tentu dia akan menjadi tonggak pergerakan rakyat pada rezim SBY- Boediono ini.
                Ketika melihat apa yang terjadi di dalam diri Sondang Hutagalung ini mengingatkanku pada sosok Munir yang juga menjadi pejuang dalam permasalahan HAM di Indonesia yang harus mati karena banyak musuh- musuh politik yang tak senang dengan sepak terjangnya yang cukup vocal dalam mengkritik pemerintah terkait tentang permasalahan keadilan dan HAM. Begitupun dengan Sondang tak banyak yang mengenalnya sebelum dia melakukan aksi bakar diri ini, namun dalam kegiatan kemahasiswaan dan organisasi Gerakan Radikal Kiri, Sondang seorang aktivis gerakan Mahasiswa yang cukup vocal dalam menyikapi permasalahan pada pemerintahan SBY- Boediono ini juga banyak berbicara mengenai keresahan yang terjadi pada masyarakat mengenai beberapa kasus yang semakin menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan sosial dan nilai- nilai perikemanusiaan yang semakin hilang di dalam diri pemimpin- pemimpin bangsa Indonesia saat ini. Namun dalam hal ini jangan samakan Sondang seperti Munir yang berjuang puluhan tahun dan dibunuh oleh rezim yang Dzalim melainkan lihat makna dari segala keberanian Sondang sebagai martir untuk keadilan masyarakat Indonesia. Sondang memang dapat dikatakan sebagai ujung tombak dari organisasi Himpunan Mahasiswa Marhaenis Untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi Justice) yang Sondang adalah ketua dari himpunan ini, harapan yang besar dari sosok martir seperti Sondang ketika ia mampu mededikasikan hidupnya untuk memperjuangkan HAM, tindakan yang dilakukannya saat ini tak lain hanya ingin membangunkan gerakan rakyat dari tidur panjangnya.      

Kelaliman Para Elit Politik Ditengah Suara Rakyat
                Peristiwa yang dialami oleh Sondang Hutagalung tidak lepas dari adanya pengaruh politik yang terjadi pada saat ini. selang satu hari dari meninggalnya Sondang Hutagalung, ada berita yang menghebohkan terkait dengan tertangkapnya Nunun Nurbaeti di Thailand dan diterbangkan ke Jakarta pada hari minggu (11/12). Nunun Nurbaeti tersangka kasus suap cek pelawat beritanya sudah mencuat beberapa bulan yang lalu ketika kasus suapnya mulai menjadi incaran KPK untuk melakukan pemeriksaan pada dirinya, dari sinilah terjadi sebuah Manajemen Konflik yang bentuk aksinya dilakukan oleh Sondang Hutagalung, karena kekecewaannya terhadap perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh elit politik yang semakin berpesta dengan kemewahannya beserta keluarganya menggunakan uang hasil Korupsi yang mereka dapat dari uang suap atau rekening gendut yang mereka dapatkan dari uang rakyat.
                Bukan hanya melihat dari kasus- kasus yang dialami oleh para elit politik yang ternyata ketahuan menjadi tahanan Koruptor dari KPK ataupun pihak yang berwajib, permasalahan- permasalahan yang lain juga menjadi pemicu ketika Sondang Hutagalung ingin kembali meyakinkan rakyat Indonesia untuk kembali bersuara dan kembali bergerak melakukan sebuah pembaharuan dari masa Reformasi yang sudah diimpi- impikan oleh rakyat Indonesia terdahulu. Kasus seperti bermunculannya rekening gendut para Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi sebuah daftar dimana semuanya memiliki hubungan yang klimaks dari kasus- kasus kejahatan dari para elit politik dan pegawai- pegawai negara. PNS golongan 2 atau golongan 3 yang gajinya tidak mencapai 5 Juta perbulan ternyata di dapati memiliki rekening- rekening gendut yang isinya jauh lebih besar dari jatah tunjangan dan gaji pokok PNS tiap bulannya, bahkan lebih hebohnya lagi rekening- rekening gendut yang di dapat dari data kantor- kantor pemerintah daerah dapat dilihat masuk ke dalam rekening pribadi para PNS beserta keluarganya. Bukanlah tidak mungkin orang- orang busuk seperti PNS- PNS tersebut mengikuti kasus dan jejak Gayus yang notabene merupakan PNS berpangkat rendahan, tetapi sungguh rendahan lagi jika uang- uang yang berada di dalam rekening para PNS- PNS ini adalah uang milik rakyat, mau ditaruh dimana muka pemerintah jika PNS- PNSnya saja tidak bisa menunjukan sikap yang baik sebagai warga negara, wajarlah jika masih banyak teman- teman Mahasiswa yang lain juga berpikiran demikian seperti Sondang dengan kebusukan- kebusukan dan kelaliman para elit politik yang berfoya tanpa henti di tengah bungkamnya suara rakyat akan ketidakadilan ini.  
                Maih banyak kasus- kasus yang lain yang kurang lebih menjadi seruan hati dari rakyat Indonesia, terlebih ketika orang- orang yang berada di panggung kekuasaan politik sudah tidak dapat diharapkan lagi, apalagi ketika pengangkatan Abraham Samad sebagai ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang baru ada intrik tersendiri dengan berbagai kontroversi seputar pengangkatannya sebagai ketua KPK yang baru, kira- kira seminggu yang lalu. Hal ini bukanlah menjadi sebuah ketidakpercayaan dari masyarakat Indonesia melainkan dari kinerja- kinerja yang telah dilakukan oleh KPK dalam masalah pemberantasan Korupsi, yang masih menjadi tanda tanya besar apakah KPK dengan pemimpin yang baru akan mampu dan sanggup menyelesaikan permasalahan Korupsi di kalangan elit politik pemerintahan? Sama ketika Sondang bertanya tentang arah bangsa ini kedepannya, mau di bawa kemana bangsa ini dengan sikap yang lalim dari kalangan elit politik dan petinggi bangsa ini? apakah mereka tidak melihat realita yang terjadi ketika penuntasan buta huruf di wilayah Jawa Barat belum dapat diatasi itu baru di wilayah Jawa belum berapa juta penduduk di wilayah Indonesia bagian Timur yang masih berada di bawah garis kemiskinan dan buta huruf, apakah ini tidak menjadi sebuah torehan permasalahan yang harus segera diatasi oleh pemerintah bukan hanya sekedar sibuk akan kepentingan dirinya sendiri dan mulai melupakan tugas mulianya sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia melainkan sebagai elit politik dengan pekerjaan rendahan, yaitu memakan uang rakyat, dimana hati elit politik di tengah bungkamnya suara rakyat Indonesia?





“Sondang  Sang Martir ” Reformasi Gaya Baru, Rezim SBY- Boediono
                Banyak sudut pandang yang disampaikan oleh beberapa rekan- rekan seperjuangan Sondang Hutagalung dan masyarakat terkait dengan aksi yang dilakukan Sondang Hutagalung terkait dengan beberapa permasalahan yang terjadi di pemerintahan SBY- Boediono selama ini. ada beberapa tanggapan dari beberapa penulis Blog di Internet yang mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan Sondang bukanlah sebuah tindakan yang patut dikatakan sebagai sebuah Heroisme di dalam diri Mahasiswa melainkan sebuah aksi yang akan mengakibatkan Mahasiswa- mahasiswa yang lain menjadikan tindakannya sebagai sebuah rasa Heroik terhadap sesama atau bahkan dapat disebut Martir. Hal ini dapat terlihat ketika setelah peristiwa kejadian pembakaran diri Sondang Hutagalung beberapa elemen Mahasiswa yang mengaku simpati terhadap tindakan Sondang melakukan sebuah aksi solidaritas di beberapa tempat di Jakarta, seperti aksi solidaritas Mahasiswa dengan menyalakan lilin dan tabur bunga merupakan simbol dari rasa simpati mereka terhadap Sondang yang menjadi Martir perubahan.
                Dengan adanya ini kita mencoba melihat layakkah Sondang Hutagalung dikatakan sebagai Martir ataupun pahlawan jika kita melihat beberapa perspektif dari latar belakang Sondang Hutagalung itu sendiri. Pertama: kita melihat ketika Sondang melakukan pelecehan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan kehidupan kepadanya namun dengan sengaja dia melakukan percobaan bunuh diri dengan membakar dirinya di depan Istana Negara, Kedua: ada pepatah yang mengatakan sebaik- baik manusia adalah manusia yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Bukankah tindakan Sondang ini menularkan kebencian mendalam? Tidak ada manfaat apapun yang di dapat dari kebencian. Aksi bunuh diri juga hanya akan merepotkan atau bahkan mengecewakan sanak saudaranya. Ketiga: dimana Sondang merupakan anak kesayangan mamanya, bagaimana perasaan seorang ibu ditinggal anaknya dengan cara yang tidak terpuji, apakah ia akan melewatkan detik demi detik, tahun demi tahun yang dilewatkan oleh sang ibu ketika membesarkan Sondang sampai saat ini dan dia pergi meninggalkan ibunya dengan cara yang mengenaskan dan tidak terpuji (bunuh diri). Keempat: Sondang Hutagalung adalah Mahasiswa yang cukup pintar di kampusnya sehingga ia mendapatkan kesempatan untuk meraih beasiswa di kampusnya, namun hal ini ia sia- siakan dan lebih memilih untuk mati Martir daripada memanfaatkan sebaik- baiknya beasiswa yang sudah ia dapat, betapa sedihnya ketika melihat anak- anak di Indonesia yang masih berjuang untuk mendapatkan beasiswa, ataupun berjuang untuk memperoleh pendidikan, namun Sondang menyia- nyiakannya. Kelima: Sondang kurang mensyukuri dengan keadaan fisik yang telah ia dapat dari Tuhan yang Maha Esa, dia diberi hadiah oleh sang pencipta fisik yang bagus, dan wajah yang tampan tapi ia sia- siakan hanya untuk membawa dirinya sebagai pahlawan perubahan.
                Dari kelima analisis inilah dapat dilihat apa yang diharapkan dari aksi Sondang bukanlah menjadi sebuah inspirasi yang langsung melekat di dalam diri para Mahasiswa, melainkan kita melihat bahwa Sondang Hutagalung ingin mencatat sebuah Sejarah baru dalam memercik api gerakan sosial bagi masyarakat Indonesia, namun masih banyak cara dan jalan yang bisa ia lakukan ketika ia merasa prihatin akan kondisi yang terjadi pada bangsanya, pada rakyat Indonesia. Lagi- lagi sangkalan yang sangat kuat ketika peristiwa yang dialami oleh Sondang ini selalu dikaitkan dengan keberadaan Rezim SBY- Boediono yang diarasa telah gagal menjalankan pemerintahan oleh sebagian Mahasiswa yang melakukan aksi solidaritas bagi kematian Sondang Hutagalung. Keluarlah motif politis karena peristiwa pembakaran diri Sondang Hutagalung terjadi di dekat Istana Negara. Dikatakan oleh andi Arief, Staf Khusus Presiden, dikatakan bahwa motif yang dilakukan oleh pelaku pembakaran diri bisa dikatakan hampir memiliki motif politis yang kuat, namun Andi tidak berani memastikan karena Sondang Hutagalung adalah pelaku tunggal dari aksi yang terjadi pada rabu lalu. Menurutnya jika aksi yang dilakukan Sondang ini memang dilatarbelakangi oleh keresahan politis yang terjadi di Indonesia saat ini, biarlah ini menjadi refleksi diri bersama, apa yang menjadi kekurangan dalam pemerintahan SBY- Boediono saat ini. Andi juga menambahkan jika memang aksi pembakaran diri yang dilakukan oleh Sondang ini memiliki motif politis berarti ada saluran yang macet di eksekutif, legislatif, serta hukum dan peradilan, sehingga pemerintah akan segera melakukan pembenahan di dalam fungsi- fungsi yang mengalami kemacetan tersebut, sehingga apa yang terjadi dengan adanya aksi dari Sondang Hutagalung ini menjadi sebuah refleksi besar bagi pemerintah serta masyarakat, agar apa yang diinginkan dari perubahan bagi bangsa bukanlah sekedar isapan jempol belaka.

Seandainya Kamu Masih Ada!
                Hal yang dialami Sondang tak terlebih besar dari peristiwa- peristiwa yang dialami oleh beberapa Mahasiswa dari gerakan- gerakan Mahasiswa era orde lama dan orde baru ketika melakukan sebuah perlawanan terhadap pemerintahan, demi sepercik harapan perubahan pada rakyat Indonesia. Tidak seperti yang dialami Elang Mahasiswa Trisakti yang mati akibat kerusuhan tahun 1998, ataupun Soe Hok Gie aktivis Mahasiswa 1966 yang mati karena terkena gas beracun ketika berada di puncak Semeru. Kedua aktivis Mahasiswa ini hanya dari segelintir Mahasiswa yang mati muda karena keberaniannya melawan kesewenang- wenangan dan ketidakadilan di pemerintahan Indonesia pada masa itu. Namun menjadi keunikan tersendiri dari aksi yang dilakukan oleh Sondang Hutagalung, yang berani menciptakan Sejarah baru dalam duni Gerakan Mahasiswa yang menentang Tirani Rezim SBY- Boediono. Memang tidak ada salahnya ketika ia mengetuk hati Mahasiswa yang masih tertidur dengan pulasnya diatas jeritan hati rakyat dan kebodohan yang selalu merajam di negeri Indonesia ini. Namun apakah ini menjadi sebuah jalan yang terbaik bagi Mahasiswa yang mati ditengah kesia- siaan dirinya, “seandainya Sondang tidak mati tentu banyak yang akan dia lakukan untuk negeri ini, untuk perubahan bangsa ini”, hal yang serupa ketika teman- teman Soe Hok Gie, merindukan sosok Gie yang begitu idealis dan berani menentang pemerintah, “Seandainya dia tidak Mati Muda tentu masih banyak hal yang dapat dia lakukan untuk bangsa ini”, mungkin banyak yang bisa dilakukan Sondang ditengah keprihatinannya terhadap kondisi pemerintahan SBY- Boediono saat ini, kalau Sondang dianggap kritis tentunya dia mampu langsung terjun ke masyarakat dan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kelayakan hidup rakyat yang menjadi korban kedzaliman pemerintah, tentunya dengan tindakan seperti itu ada sosok kebanggaan tersendiri dalam diri Sondang, yang tak ada habisnya untuk melakukan sebuah realisasi dari keprihatinannya terhadap kondisi bangsa saat ini.
                Namun yang menjadi keprihatinan kenapa Sondang malah lebih memilih jalan untuk melakukan aksi bakar diri, apakah bentuk kekecewaannya hanya diakhiri dengan kesia- siaan hidupnya sebagai Agent of Change, sungguh aku tak bersimpati dengan segala keputusannya yang ia ambil, walaupun banyak kini yang menganggap Sondang sebagai “Hero” namun bukanlah sebuah jalan keluar ketika Rezim yang lalim ini masih berkuasa dan rakyat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Bukanlah lebih berarti bermanfaat bagi orang lain daripada harus merepotkan orang lain. Bukanlah Mahasiswa ketika apa yang dia tempuh dan cara yang dia pakai juga harus memperhatikan keselamtan jiwanya, yang sangat berbeda dengan kisah perjalanan Gie ataupun Elang di Era- era tidak mengenakan bagi bangsa ini, namun Sondang hidup di era Rezim SBY- Boediono, rezim dimana sebuah kediktaktoran semacam Sokearno dan Soeharto tidak terlihat lagi di dalamnya, ini menjadi lebih mudah ketika Mahasiswa dapat melakukan sebuah tindakan nyata untuk perubahan bukan malah untuk membakar diri sebagai sebuah bentuk pengorbanan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan Sondang jika ia masih hidup dan jika ia tidak membakar diri, “Hidup ini akan dikatakan lebih bermanfaat dan beguna, jika kita melakukan sebuah perbuatan dan tindakan bagi sesama manusia”, sebuah kata- kata yang mengisnpirasi dan sebuah refleksi bagi kita Mahasiswa untuk dapat terus merenungkan tindakan, dan perbuatan apa yang telah kita perbuat bagi perubahan bangsa Indonesia, Sondang Hutagalung merupakan salah satu pemercik Gerakan Reformasi masa SBY- Boediono, yang mencatat Sejarah baru dari kebusukan- kebusukan pemerintah pada saat ini, dengan membuka suara rakyat untuk melakukan sebuah gerakan sosial bagi perubahan Indonesia kedepannya. (Angga, Psej’09)

(Sumber: http://Kompas.com “Stop Jangan Anggap Sondang Sebagai Pahlawan”.html)

SOE HOK GIE, SANG PATRIOT, BATU TAPAL DARI PERGERAKAN MAHASISWA INDONESIA

“Banyak yang tidak mengerti akan sosoknya, suka merenung, menyendiri tetapi sangatlah pemberani. Soe Hok Gie diambang batas gerakan Mahasiswa adalah Sosok yang Idealis, Kritis dan juga pemberani, masih adakah saat ini Soe Hok Gie baru yang berani dan seidealis Soe Hok Gie 36 tahun yang lalu. Apakah kematiannya hanya sia- sia tanpa memiliki makna apapun bagi kaum intelektual saat ini? Lalu seperti kebahagiannya untuk tetap merenung dan menyendiri di tempat tertinggi, tempat persinggahan para dewa. Masih banyak mimpi yang ingin ia torehkan dan ia wujudkan bagi perubahan bangsa ini”

“Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth” salah satu kutipan dari catatan Soe Hok Gie ketika dirinya memimpin pendakian ke Gunung Slamet, dengan mengutip kata- kata Walt Whitman, Gie mendapatkan sesuatu yang berbeda ketika harus melihat alam sekali lagi, di dalam renungannya bersama kawan- kawan Mapala UI, memperlihatkan kecintaannya terhadap bangsa dan alam tempat dimana ia tinggal.
Gie yang lahir dari sebuah keluarga sederhana saat Perang sedang berkecamuk di wilayah Pasifik (1942), lahir dari pasangan Soe Lie Piet dan Nio Hoe An, Gie tumbuh menjadi remaja yang teramat sulit ditebak, dia sangat berbeda dengan anak- anak sepantarannya yang lain, ketika di dalam usia remaja anak sepantarannya lebih suka bermain, sedangkan Gie lebih banyak melewatkan waktunya untuk membaca buku dan menuliskan segala kegiatan yang dialaminya pada sebuah Catatan Harian. Jiwa menulis pun tidak lepas dari dalam dirinya yang di dapat dari sosok ayahnya yang seorang Novelis. Sungguh luar biasa ketika Gie masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Gie sudah mampu memahami karya sastra serius seperti karangan Pramoedya Ananta Toer ataupun puisi- puisi dari Gandhi Tagore, yang memang orang dewasa pun harus berbulan- bulan untuk mempelajari karya sastra tersebut namun Gie di usianya yang masih relatif muda mampu menguasai karya sastra tersebut dalam waktu yang teramat singkat. Setelah lulus SD kakak beradik Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin (Arief Budiman) masuk ke sekolah yang berbeda Gie masuk SMP Strada, sedangkan Djin masuk SMP Kanisius. Ada satu cerita yang menarik dari Soe Hok Gie selama bersekolah di SMP Strada, Gie sempat mengulang di SMP ini namun Gie merasa diperlakukan tidak adil oleh Gurunya, dia menolak untuk mengulang dan lebih memlih untuk pindah sekolah, dan masuk ke sekolah Kristen Protestan tanpa mengulang. Menjelang SMA Gie masuk ke SMA Kolese Kanisius satu sekolah dengan Djin kakaknya, namun Gie lebih memilih dunia satra sebagai dunia yang digelutinya sedangkan Djin lebih memilih jurusan ilmu alam. Di masa SMA ketertarikan Gie terhadap sastra dan Sejarah mulai terlihat dimana pada masa itu merupakan Soekarno menetapkan apa yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin dan Gie dengan keras mengatakan demikian terhadap Demokrasi Terpimpin bentukan Soekarno: Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”.
Setelah lulus SMA Gie masuk ke FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia) Jurusan Ilmu Sejarah. Dimasa menjadi Mahasiswa Gie menjadi seorang aktivis yang secara terang- terangan berani mengkritik pemerintah orde lama bahkan nantinya Soe Hok Gie  menjadi orang yang terdepan dalam memimpin aksi Gerakan Mahasiswa yang menumbangkan rezim Soekarno yang dinilai mulai otoriter dalam memerintah.
Ada sedikit kenangan yang tak mungkin dapat dilupakan dari orang- orang terdekat Soe Hok Gie, dari kegemarannya membaca ternyata memiliki kenangan tersendiri bagi kakaknya Arief Budiman yang dulu juga merupakan teman seperjuangan Gie dalam melakukan aksi- aksinya mengkritik pemerintah, memiliki kenangan tersendiri terhadap sosok adiknya ini. Gie menurut Arief Budiman merupakan sosok yang bersahaja, sangat kritis dengan realita yang terjadi pada saat itu (tahun 1966). Arief sering melihat adiknya termenung sendiri diatas genting rumah entah apa yang dipikirkan dan direnungkan Gie pada saat itu, mungkin rasa kritisnya terhadap bangsa ini, yang mulai terlihat sejak usia 14 tahun Gie sudah mulai membaca buku- buku sastra (buku- buku Gandhi Tagore) yang menurutnya sangat mengelitik dalam menumbuhkan rasa nasionalismenya dan memang bakat dalam bidang sastra yang di dapatinya dari sang ayah, yang juga seorang penulis dan jurnalis pada pemerintahan rezim Soekarno tahun 1960. Begitu tanggapan “Arief Budiman”, beberapa saat setelah mengenang kepergian adiknya tersebut, kenangan yang berbeda pun dirasakan oleh kakak perempuan Gie, “Dian Pranata”  yang sangat terkagum dengan Gie, yang di masa mudanya ia lebih memilih untuk lebih menyelami berbagai macam buku- buku sastra yang dibacanya dibandingkan ikut bermain dengan anak- anak sebayanya pada masa itu. Memang sungguh terkesan sekali terhadap kenangan yang tidak dapat dilupakan tentang sikap kritis dan perjuangan adik bungsunya tersebut, kenang Dian.
Ada sebuah kenangan tersendiri bagi saya ketika melihat sosok profil dari pribadi Soe Hok Gie, salah satunya ketika begitu tergeraknya hatinya melihat korban- korban penindasan pada masa PKI 1965, dimana rakyat mengalami krisis ekonomi, mau mencari minyak tanah saja harus dibatasi bahkan ada yang tidak segan- segan berlaku kasar kepada rakyat yang kelaparan dan mengalami krisis ekonomi untuk membeli kebutuhan pokok bagi kehidupan mereka sehari- hari, disinilah sosok keintelektualan Soe Hok Gie mulai terlihat, sehingga dia mengutip salah satu catatan hariannya:
“Sejarah Dunia adalah Sejarah Pemerasan, Apakah tanpa pemerasan Sejarah tidak aka ada? Apakah tanpa kesedihan tanpa pengkhianatan Sejarah tidak akan lahir?”
Salah satu keluh kesah dari kutipan catatan harian Gie tentang penderitaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia ketika mereka kembali mengulang Sejarah, penindasan dimana- mana, pengkhiantan dan kesedihan tiada akhir di dalam diri masyarakat Indonesia ketika melihat Sejarah yang sedang berlangsung pada saat itu. Gie yang hidup dalam masanya merasa bahwa penindasan haruslah berakhir, Sejarah bukanlah tempat untuk melakukan penindasan atau pengkhianatan terhadap sesama manusia, melainkan sebuah perjalanan waktu dimana sosok generasi muda mulai mencintai Tanah Airnya.
Gie mulai mengkritik pemerintah pada tahun 1966-1969 dimana pada saat itu kampus menjadi ajang pertarungan intelektual untuk menentang atau mendukung pemerintahan rezim Soekarno pada saat itu. KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menjadi motor dari gerakan Mahasiswa yang ingin menjatuhkan rezim Soekarno, tetapi Gie lebih berpegang pada prinsipnya untuk tetap menyendiri diatas Gunung daripada harus berperang di dalam kelaliman politik Kampus yang semakin membawa Mahasiswa pada jurang kemunafikan, hingga pada akhir tahun 1966 teman- teman Mahasiswa dari UI dan beberapa Mahasiswa yang tergabung dalam kami sedang sibuk berbenah di dalam pemerintahan Gie tetaplah lebih memilih untuk berdiam diri, menyendiri diatas Gunung sambil menikmati keindahan bunga- bunga Endelwies daripada harus menikmati kemunafikan ditengah kotornya lumpur politik yang semakin membawa jauh Mahasiswa dari arti penting pergerakan Mahasiswa selama ini.
Gerakan KAMI yang mulai melakukan aksi- aksi demonstrasi pada awal tahun 1965- hingga pertengahan tahun 1966 menuntut Soekarno turun dari tahta kepresidenan, dengan juga menyertakan sebuah rumusan Tritura (tiga tuntutan Rakyat) yang salah satu isinya adalah membubarkan PKI sebagai bahaya Laten bagi rakyat Indonesia. Arus- arus Demonstrasi menjelang tumbangnya pemerintahan Soekarno semakin besar, hingga bulan Februari 1966, kondisi Cheos sempat terjadi, penyerangan beberapa oknum militer terhadap beberapa Mahasiswa yang melakukan aksi Demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan penurunan harga- harga kebutuhan pokok yang masih belum dapat di tindaklanjuti oleh pemerintahan Soekarno. Akhirnya Soekarno jatuh pada Maret 1966, seluruh massa PKI di bantai habis hampir 8000 juta jiwa menjadi korban pembunuhan massal di Bali. Dengan kondisi seperti posisi militer di dalam pemerintahan semakin kuat dan Gie tak pernah akan bisa diam dengan semuanya itu, Gie memberikan kritik- kritik tajamnya terhadap militer, terhadap teman- temannya yang menjadi anggota DPR-GR yang tidak memiliki dedikasi dengan menghambur- hamburkan uang negara untuk pulang pergi ke luar negeri. Akibat berbagai macam tulisan- tulisannya ini Gie semakin merasa diasingkan dan tidak dipedulikan oleh banyak pihak salah satunya di alamamaternya sendiri FSUI (Fakultas Sastra Uinversitas Indonesia) bahkan teman- teman seperjuangannya dahulu pada masa Demonstrasi menjauhi dia, Gie memang sosok yang cukup berani sehingga dia pun harus mengambil resiko yang cukup berat ketika harus menerima perlakuan yang mungkin secara langsung menderita batinnya, namun ada sebuah kata- kata yang mengungkapkan betapa dia tetap berpegang teguh terhadap prinsipnya: “Lebih Baik Diasingkan Daripada Menyerah Pada Kemunafikan”. Hal ini membuat Gie semakin lelah akan kondisi yang menderanya hingga bayang- bayang kematian selalu menghantuinya, dengan melihat apa yang dialami oleh Kian Fong, “Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat akan kematian saya ingin mengobrol- ngobrol sebelum pamit ke Semeru dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara intim dengan Sunarti. Saya kira ini merupakan pengaruh dari kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat”. Gie sangat merindukan teman- temannya ada rencana untuk menaklukan Semeru bersama Aristides Kattopo, Herman Lantang, dan Idhan Dhvantari Lubis yang tidak dikira ternyata menjadi perjalanan terakhir mereka dengan “Sang Patriotisme” pemberani ini. Gie meninggal ketika mendaki Gunung Semeru/Puncak Mahameru di tengah kawah Jonggring Seloko di dekapan sahabat karibnya Herman Lantang, Gie menghirup gas beracun yang keluar dari kawah Jonggring Seloko puncak Mahameru, bersama temannya Idhan Dhavantari Lubis. Ia meninggal selagi harapannya terhadap perubahan bagi bangsa ini belum terwujud, andaikan ia tidak mati muda tentu masih banyak yang ia berikan bagi bangsa ini, sehingga apa yang ia perjuangkan tentang nilai- nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat dapatlah terwujud. Ada satu kata- kata yang ia kutipkan beberapa saat sebelum ia menghirup gas beracun di puncak Mahameru dan catatan ini sempat dikirimkan kepada beberapa teman terdekatnya, Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”. Gie hanya segelintir orang di dalam Sejarah Pergerakan Indonesia yang menginginkan adanya sebuah perubahan bagi bangsanya mungkin sama seperti apa yang dikatakan oleh John Maxwell yang menganggap Gie adalah orang yang memiliki kemauan untuk terlibat dalam pergerakan, ia selalu ingin tahu apa yang dialami oleh bangsanya, dan dirinya kini menjadi batu tapal dari pergerakan nasional Mahasiswa Indonesia, yang menginspirasi bagi pergerakan Mahasiswa saat ini.

Angga Rion-

how about "Kebangkitan Nasional


"Hari ini 103 tahun Kebangkitan Nasional, apa yang sudah dilakukan oleh para pendahulu kita tentang arti dari sebuah persatuan, Budi Oetomo telah membuktikan tekadnya dengan sebuah keberanian menyatakan perlawanan terhadap sebuah penjajahan di negeri ini, Sebuah kebebasan dalam menentukan sikap perlu dimiliki oleh setiap kaum intelektual muda di dalam menyikapi perubahan zaman yang selalu saja mengikis arti dari sebuah kata persatuan. mendidik tentunya bagi kita kaum Intelektual Muda bagaimana kita mampu mengerti karakter yang ada di dalam diri kita sebagai kaum intelektual muda, yang tidak hanya berpegang teguh pada sebuah kemampuan intelektual tetapi mampu menyeimbangi kemampuan intelektual dengan sebuah tindakan nyata terhadap sesama disekitar kita, 103 tahun Budi Oetomo terlelap dalam tidur panjangnnya dan sudah saatnya kita membangun kembali semangat- semangat para pendahulu kita yang tak pernah padam, mungkin ini juga yang dipikirkan Soe Hok Gie saat ia merenung ditengah kegelisahan diatap rumahnya atau juga hasil kritikan Karl Marx tentang kaum- kaum kapitalis, mengertilah bahwa sebuah sejarah bukanlah sebuah penindasan tetapi bagaimana kita mampu berpikir tentang nilai- nilai apa yang mampu kita hayati dan lakukan demi terciptanya sebuah perubahan bagi bangsa ini, mungkin sebagian orang menganggap demikian tetapi banyak yang menganggap sejarah dunia adalah sebuah penindasan karena terjadi perang dimana- mana, apakah tanpa penindasan sejarah tidak akan ada? mungkin tidak karena dari sejarahlah kita mampu bertindak dan menghayati nilai- nilai penting sebagai pelaku perubahan" ingatlah teman2..........hari ini menjadi awal kebangkitan diri mahasiswa ditengah kegelisahannya akan perkembangan dunia yang semakin kejam akan penidasan..........................
oleh : Angga Riyon Nugroho

My Best Friend:

"sudah saatnya kita mulai melihat arti pendting dari Pendidikan, Kebodohan adalah Hal yang selalu kita perangi sebagai Agent of Change, Para Pelaku Pendidikan sudah sewajarnya merasakan ini, bagaimana disaat KI Hajar Dewantara jatuh bangun dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia pada masa kolonial, Bagaimana Paulo Fiere memerangi Pendidikan Gaya Bank yang hanya memunculkan kaum- kaum penindas baru di dalam dunia pendidikan, lalu Romo Mangun berbicara tentang Pendidikan bagi "Wong Cilik", sudah semestinya kita sadar Romo Driyarkara sebagai salah seorang tokoh pendidikan yang kita kenang sepanjang masa selalu berbicara bagaimana pendidikan itu tidak hanya sekedar memanusaiakan manusia tetapi ada unsusr- unsur terpenting di dalam pendidikan tersebut yang harus kita hayati "Pendidikan yang dialogis, Reflektif dan Evaluatif menjadi dasar bagaimana pembentukan manusia yang tidak hanya sekedar cerdas tetapi menanamkan nilai- nilai kemanusiaan terhadap sesama (Men For Others) mari kita bangkitkan hari Pendidikan ini sebagai hari yang sangat bersejarah terhadap perjuangan tokoh- tokoh pendidikan bangsa ini, Resistensi Pendidikan Nasional merupakan jalan terakhir dalam melakukan perubahan Pendidikan bagi bangsa ini "selamat Hari Pendidikan Teman2 Pendidikan Sejarah semangat perjuangan dimana seorang agent perubahan mampu menghargai para tokoh pendidikan nasional....



oleh Angga Riyon Nugroho

Refleksi Hari Pancasila

    Tanggal 1 Juni 1945, saat para pemimpin bangsa Indonesia berkumpul menentukan dasar negara menjelang kemerdekaan Indonesia. Saat itu sedang terjadi sidang BPUPKI yang dihadiri oleh beberapa para pemimpin bangsa ini mana kala merupakan saat yang tepat bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Hari ini 1 Juni 1945 kami kaum intelektual muda mengenang 66 tahun hari lahirnya Pancasila, banyak yang diinginkan oleh Mahasiswa dalam menyambut hari terpenting dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia. Yang menjadi pertanyaan bagi kami para Mahasiswa, sudah sejauh mana perubahan terjadi pada bangsa Indonesia di tengah peringatan 103 tahun hari kebangkitan nasional dan 66 tahun hari lahirnya Pancasila. Lalu dimana sebenarnya peran Mahasiswa sebagai Agent of Change dan Mean of Idea bagi bangsa Indonesia kedepan kelak? 
            Pertanyaan yang cukup rumit jika harus di jawab bahwa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mulai kehilangan nilai- nilai kebangsaan yang dulu sempat tertanam di dalam Pancsila sebagai landasan berdirinya bangsa ini, penurunan moral, budaya individual dari masing- masing masyarakat membuat bangsa ini semakin mengalami kemerosotan dalam kepribadian kebangsaan di setiap masyarakat Indonesia sendiri. Tetapi tidak sepenuhnya ini menjadi kesalahan masyarakat ataupun para Mahasiswa yang nantinya akan memberi semangat perjuangan bagi generasi- generasi muda yang lain untuk membawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Lalu apa sebenarnya Pancasila dapat membangun karakter kebangsaan? Kalau pada realitanya Pancasila bukanlah sebagai hal yang utama dalam penanaman karakter kebangsaan di diri masyarakat dan para Mahasiswa, misalnya seperti yang terjadi akhir- akhir ini banyak teman- teman Mahasiswa yang berbicara Nasionalisme, ada yang berbicara tentang rasa kebangsaan dan ada yang berbicara tentang pentingnya pendidikan karakter, tetapi teman- teman Mahasiswa tidak melihat betapa arti pentingnya Mahasiswa bagi kehidupan bangsa pada nantinya dan perubahan dari hal yang paling terkecil saja yang dilakukan oleh Mahasiswa dalam mengabdi pada masyarakat dan demi perubahan bangsa.
            Mahasiswa pada saat ini kurang melihat esensi yang ada di dalam nilai- nilai kebangsaan dan karakter yang diharapkan bagi bangsa ini kedepannya, sehingga seolah- olah kata- kata yang dilontarkan dari sosok Mahasiswa hanya lebih terkesan kata- kata yang teoritis tanpa melihat kembali sejauh mana para Mahasiswa sudah melakukan perubahan bagi dirinya dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Menjadi sangat benar jika organisasi- organisasi gerakan di kota Yogyakarta ini pada tanggal 20 Mei 2011 di dalam aksinya memperingati 103 tahun Hari Kebangkitan Nasional mengatakan bahwa “ini bukanlah sebuah kebangkitan nasional bagi bangsa ini, melainkan kemunduran nasional bagi bangsa ini” melihat sudah 103 tahun Hari Kebangkitan Nasional dan 66 tahun Hari Lahirnya Pancasila tetapi masih saja ada masyarakat Indonesia yang hidup dalam taraf kemiskinan bahkan ada yang harus mengalami keterpurukan karena kelaparan dan tak memiliki tempat tinggal yang layak. Apakah Mahasiswa sekali lagi melihat hal ini, yang dikatakan bahwa Mahasiswa sebagai ujung tombak dari perjuangan bangsa ini kedepan. Tetapi di semangat 66 tahun Lahirnya Pancasila ini diharapkan Mahasiswa mampu merefleksikan diri bahwa mereka adalah sosok pemimpin- pemimpin bangsa kelak yang nantinya akan menentukan langkah bangsa ini kedepan tentunya tidak lepas dari peran Pancasila sebagai pembangun karakter kebangsaan para Mahasiswa. Ini menjadi harapan bagi para Founding Fathers kita bagaimana Mahasiswa selayaknya sudah bangun dalam tidur panjangnya dan mulai bergerak melakukan kerja- kerja nyata bagi masyarakat. Seperti sosok Gie yang mengatakan “lebih baik diasingkan daripada terpuruk pada kemunafikan”, semangat Gie dan para Mahasiswa pendahulu kita yang nantinya mampu merasuk kedalam setiap hati para mahasiswa yang tetap membangun karakter kebangsaan yang tetap menanamkan nilai- nilai Pancasila disetiap diri Mahasiswa saat ini


oleh: Angga Riyon Nugroho


 Referensi:
http://id.smkn1bulakamba.shc.id “Sejarah Pancasila 1”:2010