“Banyak yang tidak mengerti akan sosoknya, suka merenung, menyendiri tetapi sangatlah pemberani. Soe Hok Gie diambang batas gerakan Mahasiswa adalah Sosok yang Idealis, Kritis dan juga pemberani, masih adakah saat ini Soe Hok Gie baru yang berani dan seidealis Soe Hok Gie 36 tahun yang lalu. Apakah kematiannya hanya sia- sia tanpa memiliki makna apapun bagi kaum intelektual saat ini? Lalu seperti kebahagiannya untuk tetap merenung dan menyendiri di tempat tertinggi, tempat persinggahan para dewa. Masih banyak mimpi yang ingin ia torehkan dan ia wujudkan bagi perubahan bangsa ini”
“Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth” salah satu kutipan dari catatan Soe Hok Gie ketika dirinya memimpin pendakian ke Gunung Slamet, dengan mengutip kata- kata Walt Whitman, Gie mendapatkan sesuatu yang berbeda ketika harus melihat alam sekali lagi, di dalam renungannya bersama kawan- kawan Mapala UI, memperlihatkan kecintaannya terhadap bangsa dan alam tempat dimana ia tinggal.
Gie yang lahir dari sebuah keluarga sederhana saat Perang sedang berkecamuk di wilayah Pasifik (1942), lahir dari pasangan Soe Lie Piet dan Nio Hoe An, Gie tumbuh menjadi remaja yang teramat sulit ditebak, dia sangat berbeda dengan anak- anak sepantarannya yang lain, ketika di dalam usia remaja anak sepantarannya lebih suka bermain, sedangkan Gie lebih banyak melewatkan waktunya untuk membaca buku dan menuliskan segala kegiatan yang dialaminya pada sebuah Catatan Harian. Jiwa menulis pun tidak lepas dari dalam dirinya yang di dapat dari sosok ayahnya yang seorang Novelis. Sungguh luar biasa ketika Gie masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Gie sudah mampu memahami karya sastra serius seperti karangan Pramoedya Ananta Toer ataupun puisi- puisi dari Gandhi Tagore, yang memang orang dewasa pun harus berbulan- bulan untuk mempelajari karya sastra tersebut namun Gie di usianya yang masih relatif muda mampu menguasai karya sastra tersebut dalam waktu yang teramat singkat. Setelah lulus SD kakak beradik Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin (Arief Budiman) masuk ke sekolah yang berbeda Gie masuk SMP Strada, sedangkan Djin masuk SMP Kanisius. Ada satu cerita yang menarik dari Soe Hok Gie selama bersekolah di SMP Strada, Gie sempat mengulang di SMP ini namun Gie merasa diperlakukan tidak adil oleh Gurunya, dia menolak untuk mengulang dan lebih memlih untuk pindah sekolah, dan masuk ke sekolah Kristen Protestan tanpa mengulang. Menjelang SMA Gie masuk ke SMA Kolese Kanisius satu sekolah dengan Djin kakaknya, namun Gie lebih memilih dunia satra sebagai dunia yang digelutinya sedangkan Djin lebih memilih jurusan ilmu alam. Di masa SMA ketertarikan Gie terhadap sastra dan Sejarah mulai terlihat dimana pada masa itu merupakan Soekarno menetapkan apa yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin dan Gie dengan keras mengatakan demikian terhadap Demokrasi Terpimpin bentukan Soekarno: “Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”.
Setelah lulus SMA Gie masuk ke FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia) Jurusan Ilmu Sejarah. Dimasa menjadi Mahasiswa Gie menjadi seorang aktivis yang secara terang- terangan berani mengkritik pemerintah orde lama bahkan nantinya Soe Hok Gie menjadi orang yang terdepan dalam memimpin aksi Gerakan Mahasiswa yang menumbangkan rezim Soekarno yang dinilai mulai otoriter dalam memerintah.
Ada sedikit kenangan yang tak mungkin dapat dilupakan dari orang- orang terdekat Soe Hok Gie, dari kegemarannya membaca ternyata memiliki kenangan tersendiri bagi kakaknya Arief Budiman yang dulu juga merupakan teman seperjuangan Gie dalam melakukan aksi- aksinya mengkritik pemerintah, memiliki kenangan tersendiri terhadap sosok adiknya ini. Gie menurut Arief Budiman merupakan sosok yang bersahaja, sangat kritis dengan realita yang terjadi pada saat itu (tahun 1966). Arief sering melihat adiknya termenung sendiri diatas genting rumah entah apa yang dipikirkan dan direnungkan Gie pada saat itu, mungkin rasa kritisnya terhadap bangsa ini, yang mulai terlihat sejak usia 14 tahun Gie sudah mulai membaca buku- buku sastra (buku- buku Gandhi Tagore) yang menurutnya sangat mengelitik dalam menumbuhkan rasa nasionalismenya dan memang bakat dalam bidang sastra yang di dapatinya dari sang ayah, yang juga seorang penulis dan jurnalis pada pemerintahan rezim Soekarno tahun 1960. Begitu tanggapan “Arief Budiman”, beberapa saat setelah mengenang kepergian adiknya tersebut, kenangan yang berbeda pun dirasakan oleh kakak perempuan Gie, “Dian Pranata” yang sangat terkagum dengan Gie, yang di masa mudanya ia lebih memilih untuk lebih menyelami berbagai macam buku- buku sastra yang dibacanya dibandingkan ikut bermain dengan anak- anak sebayanya pada masa itu. Memang sungguh terkesan sekali terhadap kenangan yang tidak dapat dilupakan tentang sikap kritis dan perjuangan adik bungsunya tersebut, kenang Dian.
Ada sebuah kenangan tersendiri bagi saya ketika melihat sosok profil dari pribadi Soe Hok Gie, salah satunya ketika begitu tergeraknya hatinya melihat korban- korban penindasan pada masa PKI 1965, dimana rakyat mengalami krisis ekonomi, mau mencari minyak tanah saja harus dibatasi bahkan ada yang tidak segan- segan berlaku kasar kepada rakyat yang kelaparan dan mengalami krisis ekonomi untuk membeli kebutuhan pokok bagi kehidupan mereka sehari- hari, disinilah sosok keintelektualan Soe Hok Gie mulai terlihat, sehingga dia mengutip salah satu catatan hariannya:
“Sejarah Dunia adalah Sejarah Pemerasan, Apakah tanpa pemerasan Sejarah tidak aka ada? Apakah tanpa kesedihan tanpa pengkhianatan Sejarah tidak akan lahir?”
Salah satu keluh kesah dari kutipan catatan harian Gie tentang penderitaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia ketika mereka kembali mengulang Sejarah, penindasan dimana- mana, pengkhiantan dan kesedihan tiada akhir di dalam diri masyarakat Indonesia ketika melihat Sejarah yang sedang berlangsung pada saat itu. Gie yang hidup dalam masanya merasa bahwa penindasan haruslah berakhir, Sejarah bukanlah tempat untuk melakukan penindasan atau pengkhianatan terhadap sesama manusia, melainkan sebuah perjalanan waktu dimana sosok generasi muda mulai mencintai Tanah Airnya.
Gie mulai mengkritik pemerintah pada tahun 1966-1969 dimana pada saat itu kampus menjadi ajang pertarungan intelektual untuk menentang atau mendukung pemerintahan rezim Soekarno pada saat itu. KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menjadi motor dari gerakan Mahasiswa yang ingin menjatuhkan rezim Soekarno, tetapi Gie lebih berpegang pada prinsipnya untuk tetap menyendiri diatas Gunung daripada harus berperang di dalam kelaliman politik Kampus yang semakin membawa Mahasiswa pada jurang kemunafikan, hingga pada akhir tahun 1966 teman- teman Mahasiswa dari UI dan beberapa Mahasiswa yang tergabung dalam kami sedang sibuk berbenah di dalam pemerintahan Gie tetaplah lebih memilih untuk berdiam diri, menyendiri diatas Gunung sambil menikmati keindahan bunga- bunga Endelwies daripada harus menikmati kemunafikan ditengah kotornya lumpur politik yang semakin membawa jauh Mahasiswa dari arti penting pergerakan Mahasiswa selama ini.
Gerakan KAMI yang mulai melakukan aksi- aksi demonstrasi pada awal tahun 1965- hingga pertengahan tahun 1966 menuntut Soekarno turun dari tahta kepresidenan, dengan juga menyertakan sebuah rumusan Tritura (tiga tuntutan Rakyat) yang salah satu isinya adalah membubarkan PKI sebagai bahaya Laten bagi rakyat Indonesia. Arus- arus Demonstrasi menjelang tumbangnya pemerintahan Soekarno semakin besar, hingga bulan Februari 1966, kondisi Cheos sempat terjadi, penyerangan beberapa oknum militer terhadap beberapa Mahasiswa yang melakukan aksi Demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan penurunan harga- harga kebutuhan pokok yang masih belum dapat di tindaklanjuti oleh pemerintahan Soekarno. Akhirnya Soekarno jatuh pada Maret 1966, seluruh massa PKI di bantai habis hampir 8000 juta jiwa menjadi korban pembunuhan massal di Bali. Dengan kondisi seperti posisi militer di dalam pemerintahan semakin kuat dan Gie tak pernah akan bisa diam dengan semuanya itu, Gie memberikan kritik- kritik tajamnya terhadap militer, terhadap teman- temannya yang menjadi anggota DPR-GR yang tidak memiliki dedikasi dengan menghambur- hamburkan uang negara untuk pulang pergi ke luar negeri. Akibat berbagai macam tulisan- tulisannya ini Gie semakin merasa diasingkan dan tidak dipedulikan oleh banyak pihak salah satunya di alamamaternya sendiri FSUI (Fakultas Sastra Uinversitas Indonesia) bahkan teman- teman seperjuangannya dahulu pada masa Demonstrasi menjauhi dia, Gie memang sosok yang cukup berani sehingga dia pun harus mengambil resiko yang cukup berat ketika harus menerima perlakuan yang mungkin secara langsung menderita batinnya, namun ada sebuah kata- kata yang mengungkapkan betapa dia tetap berpegang teguh terhadap prinsipnya: “Lebih Baik Diasingkan Daripada Menyerah Pada Kemunafikan”. Hal ini membuat Gie semakin lelah akan kondisi yang menderanya hingga bayang- bayang kematian selalu menghantuinya, dengan melihat apa yang dialami oleh Kian Fong, “Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat akan kematian saya ingin mengobrol- ngobrol sebelum pamit ke Semeru dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara intim dengan Sunarti. Saya kira ini merupakan pengaruh dari kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat”. Gie sangat merindukan teman- temannya ada rencana untuk menaklukan Semeru bersama Aristides Kattopo, Herman Lantang, dan Idhan Dhvantari Lubis yang tidak dikira ternyata menjadi perjalanan terakhir mereka dengan “Sang Patriotisme” pemberani ini. Gie meninggal ketika mendaki Gunung Semeru/Puncak Mahameru di tengah kawah Jonggring Seloko di dekapan sahabat karibnya Herman Lantang, Gie menghirup gas beracun yang keluar dari kawah Jonggring Seloko puncak Mahameru, bersama temannya Idhan Dhavantari Lubis. Ia meninggal selagi harapannya terhadap perubahan bagi bangsa ini belum terwujud, andaikan ia tidak mati muda tentu masih banyak yang ia berikan bagi bangsa ini, sehingga apa yang ia perjuangkan tentang nilai- nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat dapatlah terwujud. Ada satu kata- kata yang ia kutipkan beberapa saat sebelum ia menghirup gas beracun di puncak Mahameru dan catatan ini sempat dikirimkan kepada beberapa teman terdekatnya, “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”. Gie hanya segelintir orang di dalam Sejarah Pergerakan Indonesia yang menginginkan adanya sebuah perubahan bagi bangsanya mungkin sama seperti apa yang dikatakan oleh John Maxwell yang menganggap Gie adalah orang yang memiliki kemauan untuk terlibat dalam pergerakan, ia selalu ingin tahu apa yang dialami oleh bangsanya, dan dirinya kini menjadi batu tapal dari pergerakan nasional Mahasiswa Indonesia, yang menginspirasi bagi pergerakan Mahasiswa saat ini.
Angga Rion-
0 comments:
Post a Comment