widget

11 Jan 2012

“PENDIDIKAN BAGI SI MISKIN DAN SI KAYA”

(sebuah cerpen tentang realita pendidikan saat ini oleh H. Krsna Murti)

Siang ini terasa sangat menyengat, peluh mulai bergulir dipelipis mataku, namun ku terus melangkah. Jalan besar telah nampak dan ku tak ingin lagi menunggu angkot terlalu lama. Tepat saat ku sampai ke jalan besar angkot yang ku tunggu pun datang. Berdesak- desakan diantara para penumpang lain yang penuh sesak. Memang sudah menjadi hal yang biasa buatku. Angkot yang sudah penuh sesak ini, tak hentinya mencari penumpang, membuat penumpang- penumpang menggerutu, “ah, namanya juga orang cari makan, kataku dalam hati”.
Saat berhenti di lampu merah, ada seorang anak kecil berpakaian kumal dan kumuh meyodorkan amplop kepadaku saat itu yang sedang duduk berdesak- desakan dengan penumpang angkot yang lain. Kuambil amplop yang diberikan anak kecil tadi kepadaku dan kubaca tulisan diluar amplop tersebut, “Mohon Bantuan Buat Beli Buku, Om” begitu bunyi tulisan itu. Hatiku tergetar melihat anak yang kira- kira masih duduk di bangku sekolah dasar tersebut, maka kuambil uang dari kantong celanaku dan ku masukan ke dalam amplop tersebut. Begitu anak itu berlalu, bapak yang ada di sebelahku berkata, “mereka itu hanya di suruh mas, lain kali jangan dikasih”. Aku hanya mengangguk tersenyum, ini belum seberapa mas, “kalau di Jakarta hal yang seperti tadi sudah menjamur” kata bapak yang berada di sebelahku, dia rupanya tahu kalau aku memang bukan berasal dari Jakarta. Jujur banyak sekali pertanyaan yang melintas dibenakku, anak- anak tadi punya orang tua atau tidak? Apa mereka tidak sekolah? Pertanyaan- pertanyaanku ini mungkin sudah biasa bagi orang- orang di daerah Jakarta dan memang aku bukan asli Jakarta, aku baru beberapa bulan mengginjakan kaki di kota metropolitan yang penuh tantangan ini. Mungkin ini terasa asing bagiku yang biasanya di kota asalku Yogyakarta jarang melihat pemandangan yang baru saja aku lihat tadi, ya memang di Yogyakarta anak- anak lebih diperhatikan dalam sekolah dan  pendidikannya dibandingkan dengan di Jakarta yang kebanyakan anak- anak dibiarkan bekerja keluyuran di jalan pada hari- hari yang semestinya mereka berada di sekolah. Sungguh mengenaskan bagiku yang saat itu mulai merenung dan melamunkan tentang pendidikan bagi anak- anak tidak mampu yang mulai tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah.

Setelah beberpa saat aku merenung aku dikagetkan dengan teriakan  lantang dari kondektur angkot yang menyadarkanku dari lamunan panjangku tentang kejadian tadi di lampu merah. Setelah aku memberikan uang ribuan kepada kondektur angkot, aku  kemudian turun dari angkot dan mulai mencari alamat rumah budeku yang sudah lama tidak ku kunjungi selama aku berada di Jakarta, setelah bertanya- Tanya dengan beberapa orang dipinggir jalan, akhirnya aku menemukan alamat rumah bude dan pakdeku yang berada di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Dari depan  rumah aku lihat budeku sedang merapikan pot- pot bunganya, melihat kedatanganku yang tiba- tiba budeku sangat senang dan gembira karena sudah hampir selama 10 tahun selama aku berada di Jogja dan kini menetap di Jakarta aku baru pertama kali bertemu lagi dengan budeku. Sambil berpelukan bude berkata “Kamu Naik Angkot Ya Tadi”, kenapa ndak suruh jemput mbakmu aja to tadi, biar dia juga tahu kan tempat Kost- kostanmu, dek. “Sekali- kali bude nggak apa- apa kok, lagian mau sekalian  jalan juga tadi, jawabku”. Setelah minum dan bercerita- cerita banyak tentang pengalamanku selama di jogja dan pindah ke Jakarta, aku bergegas menuju kamar sepupuku, Toni. Ku buka pintu kamarnya, namun kosong. “Toni sedang pergi sama pakdemu”, dia tadi merengek terus minta dibelikan PS 2, kata budeku.
Ya, memang Toni sepupuku anak laki- laki satu- satunya, diantara 3 bersaudara dari keluarga budeku, sehingga membuat bude dan pakdeku terlalu memanjakannya, semua keinginannya selalu dituruti, sampai- sampai sudah dua kali Toni tidak naik kelas karena sering  di manja oleh ayah dan ibunya. Pikiranku kembali teringat dengan kejadian tadi siang pada saat di angkot, tentu aku merasakan sangat kontras sekali dengan realita pendidikan yang kurang di dapatkan oleh anak- anak yang meminta- meminta uang dipinggir lampu merah tadi hanya untuk membeli buku untuk sekolah. Sehingga siapa seharusnya yang harus disalahkan? Pemerintah kah? Atau karena biaya pendidikan yang terlalu mahal? Sungguh miris sekali aku rasakan sebagai seorang mahasiswa melihat realita dari pendidikan di Indonesia yang sesungguhnya. Padahal kalau aku lihat banyak iklan- iklan di media masa yang mengembor- gemborkan tentang sekolah dan pendidikan gratis, namun  dimana kenyataannya, ternyata masih banyak anak- anak diberbagai daerah yang belum mendapatkan pendidikan yang memadai seperti di sekolah formal pada umumnya, sangat memprihatinkan tentang realita pendidikan saat ini. Dengan lamunan yang mulai mengungkapkan realita pendidikan yang sesungguhnya aku  mulai sadar bahwa pendidikan memang penting bagi kita semua para generasi muda agar mendapatkan masa depan yang cerah dan membawa perubahan bagi bangsa Indonesia tercinta ini, Apalagi dengan adanya hari pendidikan yang jatuh pada tanggal 2 Mei, aku semakin bersemangat untuk memajukan pendidikan bagi kaum- kaum miskin agar mereka tidak semakin tertindas oleh kaum kaya yang mempunyai segalanya.
Setelah beberapa saat melamun panggilan budeku untuk makan siang membuyarkan lamunan dan renunganku, dan aku pun dipanggil menuju ruang makan untuk makan siang dengan Toni dan pakdeku yang baru saja datang dari jalan- jalan, aku pun mulai bercengkrama dengan Toni dan  pakdeku yang sudah lama tidak bertemu dan setelah istirahat sebentar di rumah pakde dan budeku aku pun pamit pulang karena hari sudah sore, keesokan harinya aku harus masuk kuliah. Banyak pelajaran yang aku dapat dalam seharian aku berkunjung ditempat pakde dan budeku, aku sadar bahwa “aku harus dapat berhasil memajukan pendidikan, karena dengan pendidikanlah perubahan nyata akan terjadi bagi negeri tercinta kita ini”. (Krsna/Pena Persadha).



(Dikutip, dari perjalanan seorang intelektual muda yang mengadu nasib dikota metropolitan dan melihat realita pendidikan yang sebenarnya di Indonesia ini)

0 comments:

Post a Comment