(sebuah cerpen tentang realita pendidikan saat ini oleh H. Krsna Murti)
Siang ini terasa sangat menyengat, peluh mulai bergulir dipelipis
mataku, namun ku terus melangkah. Jalan besar telah nampak dan ku tak
ingin lagi menunggu angkot terlalu lama. Tepat saat ku sampai ke jalan
besar angkot yang ku tunggu pun datang. Berdesak- desakan diantara para
penumpang lain yang penuh sesak. Memang sudah menjadi hal yang biasa
buatku. Angkot yang sudah penuh sesak ini, tak hentinya mencari
penumpang, membuat penumpang- penumpang menggerutu, “ah, namanya juga orang cari makan, kataku dalam hati”.
Saat
berhenti di lampu merah, ada seorang anak kecil berpakaian kumal dan
kumuh meyodorkan amplop kepadaku saat itu yang sedang duduk berdesak-
desakan dengan penumpang angkot yang lain. Kuambil amplop yang diberikan
anak kecil tadi kepadaku dan kubaca tulisan diluar amplop tersebut, “Mohon Bantuan Buat Beli Buku, Om”
begitu bunyi tulisan itu. Hatiku tergetar melihat anak yang kira- kira
masih duduk di bangku sekolah dasar tersebut, maka kuambil uang dari
kantong celanaku dan ku masukan ke dalam amplop tersebut. Begitu anak
itu berlalu, bapak yang ada di sebelahku berkata, “mereka itu hanya di suruh mas, lain kali jangan dikasih”. Aku hanya mengangguk tersenyum, ini belum seberapa mas, “kalau di Jakarta hal yang seperti tadi sudah menjamur”
kata bapak yang berada di sebelahku, dia rupanya tahu kalau aku memang
bukan berasal dari Jakarta. Jujur banyak sekali pertanyaan yang melintas
dibenakku, anak- anak tadi punya orang tua atau tidak? Apa mereka tidak
sekolah? Pertanyaan- pertanyaanku ini mungkin sudah biasa bagi orang-
orang di daerah Jakarta dan memang aku bukan asli Jakarta, aku baru
beberapa bulan mengginjakan kaki di kota metropolitan yang penuh
tantangan ini. Mungkin ini terasa asing bagiku yang biasanya di kota
asalku Yogyakarta jarang melihat pemandangan yang baru saja aku lihat
tadi, ya memang di Yogyakarta anak- anak lebih diperhatikan dalam
sekolah dan pendidikannya dibandingkan dengan di Jakarta yang
kebanyakan anak- anak dibiarkan bekerja keluyuran di jalan pada hari-
hari yang semestinya mereka berada di sekolah. Sungguh mengenaskan
bagiku yang saat itu mulai merenung dan melamunkan tentang pendidikan
bagi anak- anak tidak mampu yang mulai tidak pernah diperhatikan oleh
pemerintah.
Setelah beberpa saat aku merenung aku
dikagetkan dengan teriakan lantang dari kondektur angkot yang
menyadarkanku dari lamunan panjangku tentang kejadian tadi di lampu
merah. Setelah aku memberikan uang ribuan kepada kondektur angkot, aku
kemudian turun dari angkot dan mulai mencari alamat rumah budeku yang
sudah lama tidak ku kunjungi selama aku berada di Jakarta, setelah
bertanya- Tanya dengan beberapa orang dipinggir jalan, akhirnya aku
menemukan alamat rumah bude dan pakdeku yang berada di daerah
Rawamangun, Jakarta Timur. Dari depan rumah aku lihat budeku sedang
merapikan pot- pot bunganya, melihat kedatanganku yang tiba- tiba budeku
sangat senang dan gembira karena sudah hampir selama 10 tahun selama
aku berada di Jogja dan kini menetap di Jakarta aku baru pertama kali
bertemu lagi dengan budeku. Sambil berpelukan bude berkata “Kamu Naik
Angkot Ya Tadi”, kenapa ndak suruh jemput mbakmu aja to tadi, biar dia
juga tahu kan tempat Kost- kostanmu, dek. “Sekali- kali bude nggak apa-
apa kok, lagian mau sekalian jalan juga tadi, jawabku”. Setelah minum
dan bercerita- cerita banyak tentang pengalamanku selama di jogja dan
pindah ke Jakarta, aku bergegas menuju kamar sepupuku, Toni. Ku buka
pintu kamarnya, namun kosong. “Toni sedang pergi sama pakdemu”, dia tadi
merengek terus minta dibelikan PS 2, kata budeku.
Ya, memang Toni
sepupuku anak laki- laki satu- satunya, diantara 3 bersaudara dari
keluarga budeku, sehingga membuat bude dan pakdeku terlalu
memanjakannya, semua keinginannya selalu dituruti, sampai- sampai sudah
dua kali Toni tidak naik kelas karena sering di manja oleh ayah dan
ibunya. Pikiranku kembali teringat dengan kejadian tadi siang pada saat
di angkot, tentu aku merasakan sangat kontras sekali dengan realita
pendidikan yang kurang di dapatkan oleh anak- anak yang meminta- meminta
uang dipinggir lampu merah tadi hanya untuk membeli buku untuk sekolah.
Sehingga siapa seharusnya yang harus disalahkan? Pemerintah kah? Atau
karena biaya pendidikan yang terlalu mahal? Sungguh miris sekali aku
rasakan sebagai seorang mahasiswa melihat realita dari pendidikan di
Indonesia yang sesungguhnya. Padahal kalau aku lihat banyak iklan- iklan
di media masa yang mengembor- gemborkan tentang sekolah dan pendidikan
gratis, namun dimana kenyataannya, ternyata masih banyak anak- anak
diberbagai daerah yang belum mendapatkan pendidikan yang memadai seperti
di sekolah formal pada umumnya, sangat memprihatinkan tentang realita
pendidikan saat ini. Dengan lamunan yang mulai mengungkapkan realita
pendidikan yang sesungguhnya aku mulai sadar bahwa pendidikan memang
penting bagi kita semua para generasi muda agar mendapatkan masa depan
yang cerah dan membawa perubahan bagi bangsa Indonesia tercinta ini,
Apalagi dengan adanya hari pendidikan yang jatuh pada tanggal 2 Mei, aku
semakin bersemangat untuk memajukan pendidikan bagi kaum- kaum miskin
agar mereka tidak semakin tertindas oleh kaum kaya yang mempunyai
segalanya.
Setelah beberapa saat melamun panggilan budeku untuk
makan siang membuyarkan lamunan dan renunganku, dan aku pun dipanggil
menuju ruang makan untuk makan siang dengan Toni dan pakdeku yang baru
saja datang dari jalan- jalan, aku pun mulai bercengkrama dengan Toni
dan pakdeku yang sudah lama tidak bertemu dan setelah istirahat
sebentar di rumah pakde dan budeku aku pun pamit pulang karena hari
sudah sore, keesokan harinya aku harus masuk kuliah. Banyak pelajaran
yang aku dapat dalam seharian aku berkunjung ditempat pakde dan budeku,
aku sadar bahwa “aku harus dapat berhasil memajukan pendidikan, karena
dengan pendidikanlah perubahan nyata akan terjadi bagi negeri tercinta
kita ini”. (Krsna/Pena Persadha).
(Dikutip,
dari perjalanan seorang intelektual muda yang mengadu nasib dikota
metropolitan dan melihat realita pendidikan yang sebenarnya di Indonesia
ini)
0 comments:
Post a Comment