widget

11 Jan 2012

Anak- anak Indonesia dan Ketidakadilan

 “ANAK- ANAK  PENJUAL KORAN DAN SEKOLAH BILIK BAMBU”
( Sebuah Cerpen Tentang Kehidupan Anak- anak Penjual Koran Dalam Meraih Pendidikan yang Layak)

Hari ini seperti biasa aku sebagai seorang Guru bersiap- siap memulai aktivitasku sebagai seorang pengajar. Dengan hati senang karena segera bertemu dengan anak- anak muridku, kukayuh sepeda onthelku dari kost- kostanku berjalan melewati setiap jalanan protokol di kota Yogyakarta. Dalam perjalanan menuju sekolah aku melihat beberapa anak- anak penjual Koran yang berada disepanjang perempatan lampu merah gedung kantor pos lama, ya memang sekolah tempatku mengajar tidak jauh dari perempatan gedung kantor pos lama. Melihat beberapa anak- anak penjual Koran ini membuat hatiku sebagai seorang pengajar merasa terenyuh. Sempat terpikir di dalam hatiku siapa orang tua mereka yang sampai tega menyuruh anaknya bejualan Koran dipinggir jalan, yang semestinya mereka dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah, tetapi malah berjualan Koran di pinggir jalan, memang sungguh sangat miris sekali melihat perkembangan pendidikan anak- anak Indonesia pada saat ini, begitulah yang sempat terpikir dalam benakku sejenak ketika aku melihat anak- anak penjual Koran itu.
Setelah mengamati mereka dari jauh tiba- tiba salah satu dari beberapa anak penjual Koran tersebut menghampiri aku, dengan wajah kusut dan kusam anak ini menawarkan korannya kepadaku “beli korannya Om” lalu aku menjawab, “ya beli satu dek”, sambil menunggu lampu merah yang macet karena pagi itu jalan perempatan kantor pos benar- benar padat. Lalu aku memberikan secarik uang kertas ribuan kepada anak penjual Koran tersebut.    Setelah melihat- lihat Koran dan berita yang ada di halaman pertama Koran tersebut, betapa terkejutnya aku ternyata masih ada sebagian atau hampir setengah dari rakyat miskin tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak dari pemerintah. Dan ada beberapa berita yang aku lihat di dalam Koran tersebut yang membahas tentang isu- isu kerakyataan, seperti kenaikan Tarif Dasar Listrik yang semakin membunuh rakyat bahkan sampai berita tentang kelayakan upah buruh, jika aku melihat dan merenung sejenak sungguh “Miris sekali” di negara indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alamnya ini ternyata masih ada rakyat yang menderita, bahkan sangat- sangat tidak berkecukupan. Terdiam dalam lamunan dan renungkanku aku tersadar bahwa jalan perempatan kantor pos lama sudah mulai lancar kembali dan aku kembali mengayuh sepeda onthelku menuju kesekolah untuk mengajar.
Sesampainya di sekolah aku pun mulai merenungkan apa yang ku alami tadi pagi dengan melihat realita yang ada saat ini tentang nasib rakyat yang mulai terbelakang dan pemerintah yang semakin memperkaya diri dengan hasil keringat rakyat, sungguh miris, lagi- lagi kuulangi kata- kata yang tidak menenangkan hatiku ini. Dalam hatiku sebenarnya tidak tega melihat nasib anak- anak penjual koran tadi yang harus mengais rejeki di tengah kemewahan dan kekayaan pemerintah itu sendiri, lalu aku berpikir sejenak di sela- sela istirahatku mengajar aku mencoba menyendiri di ruang guru untuk merenungkan kembali, apa yang harus ku lakukan dengan kondisi rakyat saat ini. Aku pun mempunyai ide untuk membuat sebuah sekolah rakyat yang memotivasikan rakyat untuk mendapat pendidikan yang layak tanpa harus melibatkan campur tangan pemerintah yang otoriter dan semena- mena terhadap rakyat kecil. Tanpa tersadar bel masuk pun berdering, dan aku pun harus segera kembali mengajar, dan aku berlalu menuju kelas untuk mengajar sambil memikirkan tentang konsep sekolah rakyat yang akan aku buat nantinya.

Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 12.00 WIB dan tugas mengajarku disekolah telah usai. Aku bersiap- siap mengayuh sepeda onthelku kembali menuju rumah kost- kostan ku. Dalam perjalanan kembali aku melewati perempatan kantor pos lama dan aku berhenti sejenak di dekat benteng vredeburg untuk melepas lelah setelah mengayuh sepeda sekitar 5 Km dari daerah Jalan bantul. Dalam istirahatku melepas lelah tiba- tiba ada dua sosok yang membuyarkan lamunanku saat melepas lelah. “om- om” sambil memegang lengan kananku kedua anak ini mencoba menegurku yang sedang beristirahat. Ia ada apa dek? Sapaku kepada kedua anak tersebut. Ini om, kami berdua yang menjual koran tadi pagi itu om, “e’hm oh ya hampir saja om lupa” “jangan panggil om lah dek”, panggil mas Ditro aja, nama adik berdua ini siapa? “Kalau saya Bowo mas, nah teman saya ini namanya Amien, kita berdua ini jauh- jauh jualan koran dari bantul, lho mas”, memangnya orang tua kalian kerja jadi apa di bantul dek? “kedua orang tua kami kerjanya jadi buruh di daerah Kasihan mas, “oh ya mas Ditro rumahnya dimana? Kerja jadi apa mas? Kayanya tadi pagi buru- buru banget mas” , rumahku jauh dek di daerah jalan bantul dekat dengan gereja pugeran itu lho dek! Ya, tempatnya kecil sih, dek maklum mas Ditro cuma ngekost, bapak dan ibu mas Ditro sudah lama meninggal dek, ya jadi mas Ditro sekarang hidup mandiri sendiri. Mau main ketempat mas Ditro ndak dek, nanti mas ajari pelajaran- pelajaran yang ada di sekolah. Spontan aku pun mencoba mengajak kedua anak penjual koran ini untuk main ke kost- kostanku. “Mau banget mas”, jawab Bowo dan Amien dengan lantang kepadaku, “ya sudah, kalau begitu sini boncengan naik sepeda aja ya” kami bertiga berboncengan naik sepeda onthelku, si Amien duduk di depan sedangkan si Bowo berbonceng di belakang. Panas semakin menyengat tubuh, di siang ini, tidak terasa aku dan anak- anak penjual koran sudah sampai di depan kost- kostanku. “ini lho dek  kost- kostannya mas Ditro, ya biarpun kecil, tapi kalian jangan sungkan- sungkan ya, anggap aja kaya rumah sendiri”, “Ia mas Ditro, jawab Amien dan Bowo secara serentak”. Aku pun pergi ke belakang membuatkan minum untuk Amien dan Bowo, kasihan mereka berdua pasti kelelahan dan haus setelah seharian berjualan koran di pinggir jalan. Sambil menyugguhkan dua gelas es teh, aku pun ,melanjutkan obrolanku dengan Amien dan Bowo. Obrolan pun semakin akrab dan aku mencoba mengutarakan tentang gambaran sekolah bilik bambu bagi anak- anak jalanan yang lain. Dan ternyata Amien dan Bowo sangat senang jika aku mendirikan sekolah bilik bambu untuk anak- anak jalanan yang lain. “ia mas kami seneng banget kalau bisa sekolah lagi, nanti kami ajak temen- temen kami yang ada di deket malioboro sama yang ada di bantul buat ikut belajar di sekolahnya mas Ditro”.
Betapa senangnya aku melihat semangat belajar dari kedua anak jalanan ini, walaupun usia mereka berdua belum genap 10 tahun tetapi semangat mereka untuk memajukan pendidikan bagi rakyat kecil dapat memotivasiku untuk mendirikan sekolah bilik bambu ini. “okelah kalau begitu dek, kalian berdua ajak teman- teman kalian semua ya dek, nanti untuk soal tempat dan persiapannya mas Ditro aja yang ngurus, mungkin mas mau ijin dengan pak Rt dulu untuk menentukan tempat dimana dapat didirikan sekolah bilik bambu itu, ya dek”. Tanpa terasa sore hari telah menjelang, dan raja siang pun ingin kembali keperaduannya, dan aku bertanya kepada Amien dan Bowo, “dek kalian mau mas antarkan pulang atau mau tidur disini dek? Antar pulang aja mas Ditro kami sudah dua hari ndak pulang je, ya sudah yuk mas antar pulang ke bantul, nanti ndak keburu malam dek”.
Menjelang malam hari aku, Bowo dan Amien tiba di bantul. Setibanya di rumah orang tua Amien dan Bowo, aku mencoba mengutarakan tentang pendirian sekolah Bilik Bambu bagi anak- anak jalanan dan anak- anak buruh di daerah Bantul. Dan kedua orang tua Amien dan Bowo pun setuju dengan pendirian sekolah Bilik Bambu bagi anak- anak yang kurang mampu di daerah Bantul dan sekitar kota Yogyakarta. Karena waktu sudah larut malam, aku pun berpamitan kepada orang tua Amien dan Bowo untuk kembali pulang. Dalam perajalanan pulang, aku semakin bersemangat untuk segera merealisasikan pendirian sekolah rakyat dengan sebutan sekolah “Bilik Bambu” ini.
Keesokan harinya aku seperti biasa melanjutkan aktivitasku mengajar dan setelah pulang mengajar aku mencoba merealisasikan konsep tentang sekolah Bilik Bambu yang telah kurencanakan dengan Amien dan Bowo setelah mencari tempat yang cocok untuk mendirikan sekolah kami bertiga pun meminta ijin kepada ketua Rt setempat untuk menyewa tempat tersebut untuk dijadikan sebuah sekolah rakyat untuk anak- anak buruh di Bantul dan anak- anak jalanan di kota Yogyakarta. Dan pak Rt daerah kasihan, Bantul sangat mendukung dengan konsep sekolah rakyat yang ingin aku buat dan dengan Cuma- cuma, pak Rt dan seluruh warga kasihan menyumbangkan tanah tersebut untuk didirikan sekolah rakyat. Sangat senang sekali hatiku bahwa ternyata masih banyak orang yang masih mendapatkan ketidakadilan dari pemerintah terutama dalam pendidikan bagi rakyat miskin. Sungguh hal yang sangat miris sekali aku lihat di negara ini yang sangat kaya sekali dengan berbagai sumber daya alam yang dapat di ekploitasi dengan begitu besar, ternyata sebagian besar masyarakat belum dapat merasakan kekayaan yang ada di indonesia ini, terutama dalam hal pemerhati pendidikan, ya memang peran pemerintah dalam mencerdaskan generasi muda sangat penting, hampir 32 tahun bangsa ini dibodohi dengan keotoriteran pemerintahan Soeharto yang semena- mena, hampir setengah abad kita dijajah oleh Belanda dan di ambil kekayaannya oleh pihak VOC. Kapan lagi bangsa ini ingin maju jika bukan dari generasi mudanya sebagai generasi penerus bangsa. Dan dengan terealisasinya sekolah Bilik Bambu ini dapat mengetuk hati pemerintah yang telah lama mati suri oleh segala kekayaan yang telah dimiliki pemerintah yang sebagian kekayaan tersebut adalah milik rakyat miskin di Indonesia. Sehingga sekolah rakyat yang akan ku bangun ini adalah sebuah bentuk tindakan praksis dari setiap kegundahan rakyat Indonesia terutama dalam bidang pendidikan murah bagi rakyat kecil.
Setelah segala persiapannya selesai, akhirnya tiba hari yang ku tunggu- tunggu. yaitu dimana sekolah Bilik Bambuku dapat teralisasikan. Hari itu hari sabtu, dimana merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Amien dan Bowo, bukan! Tidak hanya Amien dan Bowo yang berbahagia melainkan seluruh anak jalanan dan anak- anak buruh di sekitar kota Yogyakarta yang dapat merasakan kelayakan hidup dengan adanya sekolah Bilik Bambu yang bersifat pro rakyat kecil.
Hari pertama berdirinya sekolah Bilik Bambu di dusun Brajan, Bantul, membuat Amien dan Bowo beserta puluhan anak- anak jalanan yang lain semakin bersemangat untuk belajar dan menimba ilmu, meskipun bukan di taraf sekolah formal, tapi semangat anak- anak jalanan ini menjadi sebuah semangat tersendiri bagiku. Aku mulai mengajar berhitung matematika dengan anak- anak jalanan yang masih kelas satu SD, dan bahasa Inggris kepada anak- anak kelas empat SD. Amien dan Bowo mulai bertanya tentang perhitungan penambahan dan pengurangan karena Bowo dan Amien sebenarnya masih duduk di kelas dua dan kelas tiga SD. Tentu saja pendirian sekolah Bilik Bambu ini tidak lepas dengan bantuan- bantuan dari teman- teman seperjuanganku, yang juga mengajar di sekolah lamaku, seperti Adi, Iman, Emil, yang juga dulu adalah teman- teman kuliahku di perguruan tinggi. Mereka memliki satu tujuan yang sama sepertiku, yang ingin memajukan rakyat melalui pendidikan yang bersifat pro rakyat. Dari sinilah aku dan seluruh teman- teman mulai berharap resistensi pendidikan ini dapat berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh masyarakat.
“Mas Ditro kok bisa ya mobil dan motor itu bisa bergerak, Tanya salah satu anak jalanan kepadaku”. “Lalu aku menjawab, oh ya dek begini lho, mobil dan motor dapat bergerak karena adanya pengaruh gaya dari tekanan bahan bakar minyak yang terdapat di dalam mobil dan motor tersebut, yang melakukan proses filerisasi dan pembuangan yang menimbulkan sebuah gaya gerak”. Begitu jawabku kepada salah satu muridku, yang merupakan salah satu teman dari Bowo dan Amien pada saat mengajar mata pelajaran IPA, tentang gaya gerak. Sungguh menyenangkan melihat anak- anak di daerah Kasihan ini mulai menapaki dunia pendidikan kembali, terutama kepada anak- anak yang ada di sekitar kota Yogyakarta, yang disinyalir sangat kurang terperhatikan oleh pemerintah Yogyakarta. Besar harapan banyak generasi penerusku nanti yang mau meneruskan sekolah Bilik Bambuku ini, untuk menciptakan sebuah pendidikan yang pro rakyat dan menanamkan nilai- nilai kehumanisan di dalamnya. Semoga ceritaku ini menjadi sebuah inspirasi bagi para generasi penerus bangsa ini untuk dapat membebaskan masyarakat Indonesia dari kebodohan.


0 comments:

Post a Comment