“ANAK- ANAK PENJUAL KORAN DAN SEKOLAH BILIK BAMBU”
( Sebuah Cerpen Tentang Kehidupan Anak- anak Penjual Koran Dalam Meraih Pendidikan yang Layak)
Hari ini seperti biasa aku sebagai seorang Guru bersiap- siap memulai
aktivitasku sebagai seorang pengajar. Dengan hati senang karena segera
bertemu dengan anak- anak muridku, kukayuh sepeda onthelku dari kost-
kostanku berjalan melewati setiap jalanan protokol di kota Yogyakarta.
Dalam perjalanan menuju sekolah aku melihat beberapa anak- anak penjual
Koran yang berada disepanjang perempatan lampu merah gedung kantor pos
lama, ya memang sekolah tempatku mengajar tidak jauh dari perempatan
gedung kantor pos lama. Melihat beberapa anak- anak penjual Koran ini
membuat hatiku sebagai seorang pengajar merasa terenyuh. Sempat terpikir
di dalam hatiku siapa orang tua mereka yang sampai tega menyuruh
anaknya bejualan Koran dipinggir jalan, yang semestinya mereka dapat
mengenyam pendidikan di bangku sekolah, tetapi malah berjualan Koran di
pinggir jalan, memang sungguh sangat miris sekali melihat perkembangan
pendidikan anak- anak Indonesia pada saat ini, begitulah yang sempat
terpikir dalam benakku sejenak ketika aku melihat anak- anak penjual
Koran itu.
Setelah mengamati mereka dari jauh tiba- tiba salah
satu dari beberapa anak penjual Koran tersebut menghampiri aku, dengan
wajah kusut dan kusam anak ini menawarkan korannya kepadaku “beli
korannya Om” lalu aku menjawab, “ya beli satu dek”, sambil menunggu
lampu merah yang macet karena pagi itu jalan perempatan kantor pos
benar- benar padat. Lalu aku memberikan secarik uang kertas ribuan
kepada anak penjual Koran tersebut. Setelah melihat- lihat Koran dan
berita yang ada di halaman pertama Koran tersebut, betapa terkejutnya
aku ternyata masih ada sebagian atau hampir setengah dari rakyat miskin
tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak dari pemerintah. Dan ada
beberapa berita yang aku lihat di dalam Koran tersebut yang membahas
tentang isu- isu kerakyataan, seperti kenaikan Tarif Dasar Listrik yang
semakin membunuh rakyat bahkan sampai berita tentang kelayakan upah
buruh, jika aku melihat dan merenung sejenak sungguh “Miris sekali”
di negara indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alamnya ini
ternyata masih ada rakyat yang menderita, bahkan sangat- sangat tidak
berkecukupan. Terdiam dalam lamunan dan renungkanku aku tersadar bahwa
jalan perempatan kantor pos lama sudah mulai lancar kembali dan aku
kembali mengayuh sepeda onthelku menuju kesekolah untuk mengajar.
Sesampainya
di sekolah aku pun mulai merenungkan apa yang ku alami tadi pagi dengan
melihat realita yang ada saat ini tentang nasib rakyat yang mulai
terbelakang dan pemerintah yang semakin memperkaya diri dengan hasil
keringat rakyat, sungguh miris, lagi- lagi kuulangi kata- kata yang
tidak menenangkan hatiku ini. Dalam hatiku sebenarnya tidak tega melihat
nasib anak- anak penjual koran tadi yang harus mengais rejeki di tengah
kemewahan dan kekayaan pemerintah itu sendiri, lalu aku berpikir
sejenak di sela- sela istirahatku mengajar aku mencoba menyendiri di
ruang guru untuk merenungkan kembali, apa yang harus ku lakukan dengan
kondisi rakyat saat ini. Aku pun mempunyai ide untuk membuat sebuah
sekolah rakyat yang memotivasikan rakyat untuk mendapat pendidikan yang
layak tanpa harus melibatkan campur tangan pemerintah yang otoriter dan
semena- mena terhadap rakyat kecil. Tanpa tersadar bel masuk pun
berdering, dan aku pun harus segera kembali mengajar, dan aku berlalu
menuju kelas untuk mengajar sambil memikirkan tentang konsep sekolah
rakyat yang akan aku buat nantinya.
Tidak terasa waktu sudah
menunjukan pukul 12.00 WIB dan tugas mengajarku disekolah telah usai.
Aku bersiap- siap mengayuh sepeda onthelku kembali menuju rumah kost-
kostan ku. Dalam perjalanan kembali aku melewati perempatan kantor pos
lama dan aku berhenti sejenak di dekat benteng vredeburg untuk melepas
lelah setelah mengayuh sepeda sekitar 5 Km dari daerah Jalan bantul.
Dalam istirahatku melepas lelah tiba- tiba ada dua sosok yang
membuyarkan lamunanku saat melepas lelah. “om- om” sambil memegang
lengan kananku kedua anak ini mencoba menegurku yang sedang
beristirahat. Ia ada apa dek? Sapaku kepada kedua anak tersebut. Ini om,
kami berdua yang menjual koran tadi pagi itu om, “e’hm oh ya hampir
saja om lupa” “jangan panggil om lah dek”, panggil mas Ditro aja, nama
adik berdua ini siapa? “Kalau saya Bowo mas, nah teman saya ini namanya
Amien, kita berdua ini jauh- jauh jualan koran dari bantul, lho mas”,
memangnya orang tua kalian kerja jadi apa di bantul dek? “kedua orang
tua kami kerjanya jadi buruh di daerah Kasihan mas, “oh ya mas Ditro
rumahnya dimana? Kerja jadi apa mas? Kayanya tadi pagi buru- buru banget
mas” , rumahku jauh dek di daerah jalan bantul dekat dengan gereja
pugeran itu lho dek! Ya, tempatnya kecil sih, dek maklum mas Ditro cuma
ngekost, bapak dan ibu mas Ditro sudah lama meninggal dek, ya jadi mas
Ditro sekarang hidup mandiri sendiri. Mau main ketempat mas Ditro ndak
dek, nanti mas ajari pelajaran- pelajaran yang ada di sekolah. Spontan
aku pun mencoba mengajak kedua anak penjual koran ini untuk main ke
kost- kostanku. “Mau banget mas”, jawab Bowo dan Amien dengan lantang
kepadaku, “ya sudah, kalau begitu sini boncengan naik sepeda aja ya”
kami bertiga berboncengan naik sepeda onthelku, si Amien duduk di depan
sedangkan si Bowo berbonceng di belakang. Panas semakin menyengat tubuh,
di siang ini, tidak terasa aku dan anak- anak penjual koran sudah
sampai di depan kost- kostanku. “ini lho dek kost- kostannya mas Ditro,
ya biarpun kecil, tapi kalian jangan sungkan- sungkan ya, anggap aja
kaya rumah sendiri”, “Ia mas Ditro, jawab Amien dan Bowo secara
serentak”. Aku pun pergi ke belakang membuatkan minum untuk Amien dan
Bowo, kasihan mereka berdua pasti kelelahan dan haus setelah seharian
berjualan koran di pinggir jalan. Sambil menyugguhkan dua gelas es teh,
aku pun ,melanjutkan obrolanku dengan Amien dan Bowo. Obrolan pun
semakin akrab dan aku mencoba mengutarakan tentang gambaran sekolah
bilik bambu bagi anak- anak jalanan yang lain. Dan ternyata Amien dan
Bowo sangat senang jika aku mendirikan sekolah bilik bambu untuk anak-
anak jalanan yang lain. “ia mas kami seneng banget kalau bisa sekolah
lagi, nanti kami ajak temen- temen kami yang ada di deket malioboro sama
yang ada di bantul buat ikut belajar di sekolahnya mas Ditro”.
Betapa
senangnya aku melihat semangat belajar dari kedua anak jalanan ini,
walaupun usia mereka berdua belum genap 10 tahun tetapi semangat mereka
untuk memajukan pendidikan bagi rakyat kecil dapat memotivasiku untuk
mendirikan sekolah bilik bambu ini. “okelah kalau begitu dek, kalian
berdua ajak teman- teman kalian semua ya dek, nanti untuk soal tempat
dan persiapannya mas Ditro aja yang ngurus, mungkin mas mau ijin dengan
pak Rt dulu untuk menentukan tempat dimana dapat didirikan sekolah bilik
bambu itu, ya dek”. Tanpa terasa sore hari telah menjelang, dan raja
siang pun ingin kembali keperaduannya, dan aku bertanya kepada Amien dan
Bowo, “dek kalian mau mas antarkan pulang atau mau tidur disini dek?
Antar pulang aja mas Ditro kami sudah dua hari ndak pulang je, ya sudah
yuk mas antar pulang ke bantul, nanti ndak keburu malam dek”.
Menjelang
malam hari aku, Bowo dan Amien tiba di bantul. Setibanya di rumah orang
tua Amien dan Bowo, aku mencoba mengutarakan tentang pendirian sekolah
Bilik Bambu bagi anak- anak jalanan dan anak- anak buruh di daerah
Bantul. Dan kedua orang tua Amien dan Bowo pun setuju dengan pendirian
sekolah Bilik Bambu bagi anak- anak yang kurang mampu di daerah Bantul
dan sekitar kota Yogyakarta. Karena waktu sudah larut malam, aku pun
berpamitan kepada orang tua Amien dan Bowo untuk kembali pulang. Dalam
perajalanan pulang, aku semakin bersemangat untuk segera merealisasikan
pendirian sekolah rakyat dengan sebutan sekolah “Bilik Bambu” ini.
Keesokan
harinya aku seperti biasa melanjutkan aktivitasku mengajar dan setelah
pulang mengajar aku mencoba merealisasikan konsep tentang sekolah Bilik
Bambu yang telah kurencanakan dengan Amien dan Bowo setelah mencari
tempat yang cocok untuk mendirikan sekolah kami bertiga pun meminta ijin
kepada ketua Rt setempat untuk menyewa tempat tersebut untuk dijadikan
sebuah sekolah rakyat untuk anak- anak buruh di Bantul dan anak- anak
jalanan di kota Yogyakarta. Dan pak Rt daerah kasihan, Bantul sangat
mendukung dengan konsep sekolah rakyat yang ingin aku buat dan dengan
Cuma- cuma, pak Rt dan seluruh warga kasihan menyumbangkan tanah
tersebut untuk didirikan sekolah rakyat. Sangat senang sekali hatiku
bahwa ternyata masih banyak orang yang masih mendapatkan ketidakadilan
dari pemerintah terutama dalam pendidikan bagi rakyat miskin. Sungguh
hal yang sangat miris sekali aku lihat di negara ini yang sangat kaya
sekali dengan berbagai sumber daya alam yang dapat di ekploitasi dengan
begitu besar, ternyata sebagian besar masyarakat belum dapat merasakan
kekayaan yang ada di indonesia ini, terutama dalam hal pemerhati
pendidikan, ya memang peran pemerintah dalam mencerdaskan generasi muda
sangat penting, hampir 32 tahun bangsa ini dibodohi dengan keotoriteran
pemerintahan Soeharto yang semena- mena, hampir setengah abad kita
dijajah oleh Belanda dan di ambil kekayaannya oleh pihak VOC. Kapan lagi
bangsa ini ingin maju jika bukan dari generasi mudanya sebagai generasi
penerus bangsa. Dan dengan terealisasinya sekolah Bilik Bambu ini dapat
mengetuk hati pemerintah yang telah lama mati suri oleh segala kekayaan
yang telah dimiliki pemerintah yang sebagian kekayaan tersebut adalah
milik rakyat miskin di Indonesia. Sehingga sekolah rakyat yang akan ku
bangun ini adalah sebuah bentuk tindakan praksis dari setiap kegundahan
rakyat Indonesia terutama dalam bidang pendidikan murah bagi rakyat
kecil.
Setelah segala persiapannya selesai, akhirnya tiba hari
yang ku tunggu- tunggu. yaitu dimana sekolah Bilik Bambuku dapat
teralisasikan. Hari itu hari sabtu, dimana merupakan hari yang sangat
bersejarah bagi Amien dan Bowo, bukan! Tidak hanya Amien dan Bowo yang
berbahagia melainkan seluruh anak jalanan dan anak- anak buruh di
sekitar kota Yogyakarta yang dapat merasakan kelayakan hidup dengan
adanya sekolah Bilik Bambu yang bersifat pro rakyat kecil.
Hari
pertama berdirinya sekolah Bilik Bambu di dusun Brajan, Bantul, membuat
Amien dan Bowo beserta puluhan anak- anak jalanan yang lain semakin
bersemangat untuk belajar dan menimba ilmu, meskipun bukan di taraf
sekolah formal, tapi semangat anak- anak jalanan ini menjadi sebuah
semangat tersendiri bagiku. Aku mulai mengajar berhitung matematika
dengan anak- anak jalanan yang masih kelas satu SD, dan bahasa Inggris
kepada anak- anak kelas empat SD. Amien dan Bowo mulai bertanya tentang
perhitungan penambahan dan pengurangan karena Bowo dan Amien sebenarnya
masih duduk di kelas dua dan kelas tiga SD. Tentu saja pendirian sekolah
Bilik Bambu ini tidak lepas dengan bantuan- bantuan dari teman- teman
seperjuanganku, yang juga mengajar di sekolah lamaku, seperti Adi, Iman,
Emil, yang juga dulu adalah teman- teman kuliahku di perguruan tinggi.
Mereka memliki satu tujuan yang sama sepertiku, yang ingin memajukan
rakyat melalui pendidikan yang bersifat pro rakyat. Dari sinilah aku dan
seluruh teman- teman mulai berharap resistensi pendidikan ini dapat
berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh masyarakat.
“Mas
Ditro kok bisa ya mobil dan motor itu bisa bergerak, Tanya salah satu
anak jalanan kepadaku”. “Lalu aku menjawab, oh ya dek begini lho, mobil
dan motor dapat bergerak karena adanya pengaruh gaya dari tekanan bahan
bakar minyak yang terdapat di dalam mobil dan motor tersebut, yang
melakukan proses filerisasi dan pembuangan yang menimbulkan sebuah gaya
gerak”. Begitu jawabku kepada salah satu muridku, yang merupakan salah
satu teman dari Bowo dan Amien pada saat mengajar mata pelajaran IPA,
tentang gaya gerak. Sungguh menyenangkan melihat anak- anak di daerah
Kasihan ini mulai menapaki dunia pendidikan kembali, terutama kepada
anak- anak yang ada di sekitar kota Yogyakarta, yang disinyalir sangat
kurang terperhatikan oleh pemerintah Yogyakarta. Besar harapan banyak
generasi penerusku nanti yang mau meneruskan sekolah Bilik Bambuku ini,
untuk menciptakan sebuah pendidikan yang pro rakyat dan menanamkan
nilai- nilai kehumanisan di dalamnya. Semoga ceritaku ini menjadi sebuah
inspirasi bagi para generasi penerus bangsa ini untuk dapat membebaskan
masyarakat Indonesia dari kebodohan.
0 comments:
Post a Comment